Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Lampu-lampu berwarna merah dan ungu menyala di dalam Miracle Club, menembus kabut asap rokok yang memenuhi udara. Musik disko yang kencang terdengar hingga ke luar gedung, seakan menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang lewat. Klub ini adalah tempat orang-orang datang untuk melupakan masalah, atau mungkin, tempat mereka mencari masalah.
Bagas masuk dengan langkah tenang, diikuti Siti yang tampak kurang nyaman dalam balutan gaun malamnya. Bagi Siti, ini bukan tempat yang biasa ia kunjungi, tetapi sebagai asisten Bagas, ia sudah tahu bahwa di tempat-tempat seperti inilah Bagas sering mendapatkan jawaban.
“Aduh, Pak Bagas. Klub begini bikin saya merasa sedang main film layar lebar,” bisik Siti dengan nada setengah kesal.
Bagas hanya tersenyum tipis, mata tajamnya menyapu ruangan, mencari wajah yang sudah ia kenal. “Santai saja, Siti. Di sini, semakin kau terlihat tidak nyaman, semakin mereka tahu kau orang luar.”
Siti mendesah, lalu memperbaiki posisinya, mencoba terlihat lebih rileks. Mereka berjalan melewati kerumunan hingga tiba di pojok ruangan, tempat seorang pria berkumis tebal sedang merokok dengan santai, sambil menatap gelas minumannya. Pria itu mengenakan jaket kulit tua, dengan gaya yang hampir menyerupai seorang rockstar gagal.
“Ujang,” sapa Bagas, duduk di kursi di depannya tanpa basa-basi.
Ujang mendongak, sedikit terkejut, tetapi ia segera tersenyum ketika mengenali Bagas. “Wah, Pak Bagas! Tumben Anda main ke tempat yang ‘ceria’ begini.”
Bagas hanya mengangguk, lalu menyalakan rokoknya sendiri. Ia tahu Ujang tidak akan bicara banyak jika ia memulai dengan pertanyaan langsung, jadi ia memilih menunggu hingga Ujang merasa cukup nyaman untuk berbicara.
“Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Ujang akhirnya, matanya menyipit curiga. “Kalau saya sampai harus bertemu Anda di sini, pasti urusannya besar.”
Bagas mengeluarkan amplop merah tua dari saku jasnya, meletakkannya di meja di antara mereka. “Pernah lihat amplop ini?”
Ujang menatap amplop itu dengan tatapan aneh, lalu mengangguk pelan. “Ini… tanda peringatan. Mereka yang terima amplop ini, artinya sudah waktunya membayar.”
“Siapa yang mengirimnya?” tanya Siti yang tak sabar, mencondongkan tubuhnya ke arah Ujang.
Ujang menggeleng pelan. “Ah, nona, soal itu… saya tak bisa bicara terlalu banyak. Yang jelas, orang-orang ini sudah lama ada di sini. Mereka tidak suka utang yang tertunggak, terutama jika utang itu bukan sekadar uang.”
Bagas tersenyum tipis, seperti sudah menduga jawabannya. “Orang yang saya cari… Pak Ramelan. Apa kau tahu kenapa dia sampai dapat amplop ini?”
Ujang tampak sedikit ragu, tetapi akhirnya ia bicara. “Pak Ramelan… dia dulu terlibat dengan beberapa orang di sini. Pernah ada janji di antara mereka. Tapi entah kenapa, Pak Ramelan tiba-tiba menarik diri. Saya dengar, dia khianati teman-temannya di sini.”
Bagas mengangguk pelan, mencatat setiap kata dalam ingatannya. “Jadi, ada yang merasa dikhianati, lalu memburu Pak Ramelan sebagai balas dendam?”
Ujang tak menjawab langsung. Ia hanya tersenyum masam, lalu mengangkat gelasnya. “Di dunia ini, Pak Bagas, setiap orang punya harga. Dan ketika harga itu tak terbayar… yah, akibatnya bisa macam-macam.”
Siti melirik Bagas dengan ekspresi khawatir, lalu kembali menatap Ujang. “Jadi siapa yang sekarang memegang kendali?”
Ujang mendekat, berbicara pelan di antara suara musik yang berdentum. “Di sini, ada yang namanya ‘Si Hitam’. Kalau memang ada dendam dari masa lalu, mungkin dia yang tahu segalanya.”
Bagas mengangguk. Informasi tentang “Si Hitam” memberi arah baru pada penyelidikannya. Ia tahu, jika mereka berhasil menemukan Si Hitam, mungkin mereka bisa menguak lebih dalam siapa sebenarnya dalang di balik amplop merah itu.
“Di mana saya bisa menemukannya?” tanya Bagas tegas.
Ujang terkekeh pelan, lalu menggelengkan kepala. “Si Hitam itu orang yang suka bersembunyi di balik bayangan, Pak. Tapi kalau Anda beruntung… coba datang ke pelabuhan tua, tengah malam. Biasanya, orang-orang seperti dia suka bertemu di sana.”
Bagas menatapnya lama, lalu berdiri dari kursinya. “Baiklah, Ujang. Semoga kita bertemu lagi dalam kondisi lebih baik.”
Ujang hanya mengangguk, lalu melirik Siti yang mengikuti Bagas dengan langkah cepat. Ketika mereka keluar dari Miracle Club, angin malam yang dingin langsung menyapa wajah mereka.
Di Jalan Pulang
Di sepanjang perjalanan, Siti tampak berpikir keras. “Pak Bagas, kira-kira apa yang dimaksud Ujang dengan ‘utang’ selain uang? Kenapa Pak Ramelan sampai dapat amplop itu?”
Bagas menatap ke depan, matanya tajam, namun bibirnya hanya sedikit berkomentar. “Setiap utang punya harga, Siti. Kadang harga itu adalah sesuatu yang tidak kasat mata.”
Siti hanya menghela napas panjang, lalu menatap Bagas. “Jadi kita akan ke pelabuhan tua? Malam ini?”
Bagas mengangguk, sambil melihat ke langit malam yang gelap. “Tempat seperti pelabuhan adalah tempat yang paling tersembunyi, tapi paling berbahaya juga. Bersiaplah, Siti. Pertemuan kali ini mungkin lebih dari sekadar mencari jawaban.”
Siti hanya tersenyum kecil, meski wajahnya menyiratkan kecemasan. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan semakin membawa mereka ke kedalaman misteri yang lebih gelap.
Semangat.