Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengurai kenangan yang tersembunyi
"Melisa?" Lily bergumam tanpa sadar, suaranya hampir tak terdengar.
Namun, suara itu cukup untuk menarik perhatian Melisa. Gadis itu berbalik dan untuk sesaat hanya menatap Lily dengan mata yang penuh kejutan. Seperti Lily, Melisa tampaknya juga tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Lily?" suara Melisa terdengar, penuh dengan kebingungan dan kegembiraan yang tercampur jadi satu.
Dalam sekejap, mereka berdua saling mengenali dengan jelas. Meski sudah bertahun-tahun berlalu, ada sesuatu yang tak berubah dari mereka. Melisa langsung berlari ke arah Lily, dan sebelum Lily sempat bangkit dari tempat duduknya, Melisa sudah memeluknya erat.
"Ya ampun, ini benar-benar kamu, Lil!" teriak Melisa dengan nada riang, sementara Lily tertawa dalam pelukan sahabat lamanya.
"Iya, ini aku! Kamu di sini?" balas Lily dengan suara yang masih penuh keheranan. "Aku nggak percaya kita jadi tetangga lagi!"
Mereka berdua saling melepas pelukan dan tertawa, masih tidak bisa mempercayai kenyataan yang terjadi. Melisa kemudian menatap Lily dengan mata berbinar.
"Ya Tuhan, aku nggak nyangka kita ketemu lagi setelah sekian lama. Kamu nggak berubah, Lil!"
"Kamu juga, Mel! Kamu masih seperti dulu!" sahut Lily sambil tertawa.
Mereka kemudian mengobrol singkat, berbicara tentang kehidupan masing-masing sejak terakhir kali mereka bertemu. Rasanya seperti tak ada waktu yang berlalu, seolah-olah mereka masih dua anak kecil yang dulu bermain setiap hari di halaman rumah Melisa. Meski sudah dewasa, ada sesuatu yang begitu akrab dalam percakapan mereka.
Namun, momen bahagia itu terhenti sejenak ketika Lily melihat sosok lain keluar dari mobil. Sosok itu lebih tinggi dan lebih dewasa, tapi ada sesuatu yang membuat Lily langsung mengenalinya. Ezra Julian Lucian, kakak Melisa yang dulu selalu menjadi perhatian Lily, kini berdiri di depan matanya, tampak jauh lebih matang dari yang ia ingat.
Ezra tampaknya tidak menyadari Lily di sana pada awalnya. Dia sibuk mengeluarkan barang-barang dari mobil. Namun, ketika ia melihat adiknya berbicara dengan seseorang, pandangannya tertuju pada Lily. Untuk sesaat, ada keheningan yang canggung di antara mereka.
Lily bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimana mungkin? Setelah 12 tahun berlalu, perasaan yang dulu ia pikir sudah lama hilang kini kembali muncul begitu saja. Meski mereka berdua sudah dewasa, bayangan Ezra di benaknya tetaplah sosok yang ia kagumi selama masa kecil.
Ezra, yang tampaknya sedikit bingung, berjalan mendekat. "Melisa, siapa ini?"
Melisa dengan senyum lebar langsung menarik lengan kakaknya. "Ini Lily, kak! Ingat nggak? Sahabat kecilku yang dulu sering main di rumah."
Ezra memandang Lily dengan tatapan yang sulit ditebak. Untuk sesaat, Lily khawatir apakah Ezra akan mengingatnya, tapi kemudian ia tersenyum tipis. "Lily? Ya Tuhan, aku hampir nggak kenal kamu. Kamu sudah berubah."
Lily tersenyum gugup. "Iya, aku juga hampir nggak kenal kamu, Ezra."
Ada keheningan singkat, namun keheningan itu terasa hangat. Mereka semua berdiri di sana, meresapi kenyataan bahwa setelah sekian lama, takdir telah mempertemukan mereka kembali.
Di sela-sela momen itu, kedua orang tua Lily keluar dari rumah, penasaran dengan kegaduhan di luar. Begitu mereka melihat Melisa dan Ezra, kejutan serupa melanda mereka.
"Melisa? Ezra?" seru Bu Santi dengan nada tak percaya. "Kalian tetangga lagi?"
Orang tua Melisa yang baru saja keluar dari mobil tersenyum ketika melihat keluarga Lily. Bu Laura, ibu Melisa, langsung menghampiri Bu Santi dan memeluknya erat. "Ya ampun, ini sungguh takdir! Kita bertemu lagi setelah sekian lama."
Pak Andi juga tertawa kecil sambil menyalami Pak Anton, ayah Melisa. "Kebetulan yang luar biasa! Kalian pindah ke sini juga?"
Percakapan di antara kedua keluarga pun mengalir dengan penuh kehangatan. Mereka berbicara tentang kehidupan mereka selama 12 tahun terakhir, mengenang masa-masa di mana mereka tinggal berdekatan dulu. Suasana sore itu dipenuhi dengan tawa, cerita, dan kegembiraan.
Lily, yang masih sedikit terkejut dengan semua yang terjadi, berdiri di sana sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ezra. Meskipun sudah dewasa, ia masih merasakan sedikit kegugupan setiap kali berinteraksi dengannya. Namun, Ezra tampaknya lebih tenang, meski ada senyum samar yang sesekali menghiasi wajahnya ketika berbicara dengan Lily.
Setelah percakapan panjang, keluarga Melisa akhirnya masuk ke dalam rumah mereka. Sebelum pergi, Melisa menatap Lily dengan senyum lebar. "Kita harus sering main lagi, Lil. Kali ini di Jakarta!"
Lily tertawa dan mengangguk. "Pastinya, Mel. Seperti dulu lagi."
Mereka berdua tertawa, seolah tak ada jarak waktu yang memisahkan mereka selama 12 tahun terakhir. Meskipun mereka telah dewasa, perasaan persahabatan yang akrab itu tetap ada, seperti benang merah yang tak pernah putus.
Namun, di balik semua kegembiraan itu, Lily tak bisa mengabaikan perasaan lain yang diam-diam mulai muncul kembali perasaan yang dulu ia simpan dalam-dalam di hatinya, ketika ia masih seorang gadis kecil yang diam-diam mengagumi Ezra. Apakah pertemuan ini hanya kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih besar sedang menantinya?
***
Setelah pertemuan hangat di luar rumah, kedua keluarga Lily dan Melisa memutuskan untuk melanjutkan obrolan mereka di dalam rumah Lily. Suasana sore itu terasa begitu akrab meski sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir kali mereka berkumpul. Semua orang tampak penuh dengan rasa penasaran dan nostalgia.
Di ruang tamu rumah Lily yang masih setengah kosong karena belum sepenuhnya tertata, mereka duduk bersama. Bu Santi dengan senyum ramah menuangkan teh hangat untuk tamu-tamu mereka, sementara Pak Andi menata beberapa kursi tambahan agar semua bisa duduk nyaman. Suara tawa kecil dan obrolan ringan mulai mengisi ruang, seakan menyatukan kembali hubungan yang sempat terputus.
Melisa duduk di sebelah Lily, sesekali mencuri pandang pada sahabat lamanya dengan tatapan penuh kehangatan. Lily, yang sejak tadi masih sedikit terbawa suasana nostalgia, akhirnya membuka percakapan yang sudah lama tersimpan dalam hatinya.
"Mel, waktu itu kalian pergi tiba-tiba sekali. Aku bahkan nggak sempat pamitan dengan baik. Kenapa kalian pindah begitu mendadak?" tanya Lily, suaranya penuh rasa penasaran yang selama ini tak terjawab.
Melisa menarik napas panjang, sejenak memandang ke arah ibunya, Bu Laura, yang duduk di sebelahnya. Ada sedikit kesedihan di matanya sebelum ia mulai menjawab. "Iya, Lil. Waktu itu memang semuanya terjadi begitu cepat. Sebenarnya, kepindahan kami karena masalah pekerjaan ayahku."
Pak Anton, ayah Melisa, yang duduk tak jauh dari mereka, mengangguk pelan. "Waktu itu, perusahaan tempatku bekerja mengalami krisis besar, dan kami mendapatkan tawaran untuk pindah ke luar pulau untuk proyek penyelamatan perusahaan. Kami tidak punya banyak pilihan, semuanya harus dilakukan cepat agar keluargaku tidak terdampak secara finansial."
Lily mengangguk pelan, mencoba memahami situasi yang dialami keluarga Melisa saat itu. "Oh, jadi itu alasannya kalian pindah begitu tiba-tiba. Aku mengira mungkin ada sesuatu yang lain. Tapi ya, waktu itu memang terasa sangat mendadak buat kami."
Bu Santi yang mendengar percakapan itu, ikut menyela. "Kami sangat merindukan kalian setelah kalian pergi. Lily kehilangan teman bermain, dan kami pun kehilangan tetangga yang sangat dekat."
Bu Laura tersenyum tipis. "Kami juga merasa begitu. Jujur saja, waktu itu kami ingin mengabari kalian lebih awal, tapi semuanya begitu kacau. Tiba-tiba saja kami harus mengemas barang-barang dan pindah."
Pak Andi ikut berbicara dengan nada penuh pengertian, "Kami bisa memahaminya. Kehidupan memang kadang begitu. Tapi melihat kita sekarang berkumpul lagi, rasanya seperti keajaiban."
Melisa mengangguk, senyum di wajahnya kembali muncul. "Aku juga nggak nyangka kita bakal bertemu lagi di sini, apalagi jadi tetangga lagi. Rasanya seperti mimpi!"
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪