Menceritakan tentang Anis yang pindah rumah, Karena di tinggal kecelakaan oranf tuanya.Rumah tersebut milik tante Parmi yang ada di kampung. Banyak kejadian yang di alami Anis di rumah tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KERTAS PENA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan dalam kegelapan
Malam itu, Anis berbaring gelisah di tempat tidurnya. Pikirannya terus melayang pada sosok Fina. Gadis itu, entah bagaimana, meninggalkan kesan yang sulit ia lupakan. Perkataan Pak Handoko juga terus membekas dalam benaknya. Tidak ada seorang pun bernama Fina di sini. Tapi Anis tahu apa yang dilihatnya. Fina nyata, dia benar-benar berbicara dengannya di taman.
Saat Anis akhirnya hampir tertidur, suara samar terdengar di dekat pintu kamarnya. Sebuah bisikan, lemah tapi jelas. Anis membuka matanya, terdiam. Rasanya seperti seseorang berdiri di depan pintu. Sekali lagi, bisikan itu terdengar. Ia tidak bisa menangkap kata-katanya, tapi suara itu penuh dengan desakan, seolah memanggilnya.
Jantung Anis berdegup kencang. Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur, mendekati pintu dengan langkah hati-hati. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Koridor di luar tampak gelap gulita. Lampu-lampu di lorong sudah dipadamkan, hanya ada sedikit cahaya dari jendela di ujung lorong yang memberi sedikit penerangan.
“Fina?” panggil Anis dengan suara hampir berbisik, namun tidak ada yang menjawab.
Suara itu terdengar lagi, kini lebih dekat, dan tampak berasal dari arah tangga yang menuju ke lantai bawah. Tanpa sadar, Anis melangkah keluar dari kamarnya dan mengikuti suara itu. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu berat, namun perasaan penasaran membuatnya terus maju.
Ketika ia sampai di lantai bawah, kegelapan menyelimuti seluruh ruangan. Anis berhenti sejenak, mencoba mendengarkan suara itu lebih jelas. Bisikan tadi kini terhenti, digantikan oleh keheningan yang menyeramkan. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang terdengar.
Perlahan, Anis meraba-raba dinding untuk menemukan saklar lampu. Namun sebelum ia sempat menyalakannya, ia melihat sosok berdiri di ujung ruangan. Matanya membelalak saat menyadari siapa yang ada di sana. Itu Fina, berdiri diam dengan tatapan kosong. Rambutnya tampak lebih panjang dari yang ia ingat, mengalir ke bahunya seperti tirai gelap.
“Fina?” Anis memanggil pelan, berusaha mengatasi rasa takut yang mulai merayapi dirinya.
Fina hanya tersenyum tipis, dan Anis merasakan hawa dingin yang membuat kulitnya merinding. Gadis itu tidak menjawab, namun tatapannya seakan memanggil Anis untuk mendekat. Perlahan-lahan, Anis mendekatinya, meski rasa takut hampir membuat kakinya goyah.
“Kau tahu, Anis…” suara Fina terdengar pelan, namun nadanya dingin. “Di sini, banyak rahasia yang belum kau ketahui. Aku bisa menunjukkanmu, jika kau berani.”
Anis terdiam. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya terasa membeku di tempat. Kata-kata Fina menggelitik rasa penasarannya. Ada sesuatu di rumah ini, sesuatu yang gelap, dan sepertinya Fina tahu apa itu.
“Kau… tahu apa yang ada di rumah ini?” tanya Anis dengan suara bergetar.
Fina mengangguk. “Ya. Banyak yang tertinggal di sini. Banyak yang tidak bisa pergi.” Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi yang penuh kesedihan. “Kau hanya perlu melihat… di tempat yang tepat.”
Sebelum Anis sempat bertanya lebih lanjut, Fina melangkah mundur, menyatu dengan kegelapan di sekitarnya. Dalam sekejap, gadis itu menghilang, seolah-olah dia adalah bayangan semata. Anis menelan ludah, mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Fina begitu misterius dan aneh?
Keesokan harinya, Anis masih merasakan keanehan yang menekan hatinya. Ia menemukan Pak Handoko di halaman belakang, sedang merapikan tanaman. Pria itu menatapnya sekilas, tampak seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ragu-ragu.
“Pak Handoko,” panggil Anis, mendekatinya. “Saya… bertemu dengan Fina lagi tadi malam.”
Pak Handoko berhenti bekerja, dan wajahnya berubah serius. “Nona Anis, saya sudah bilang. Di sini, tidak ada gadis bernama Fina.”
“Tapi saya melihatnya! Dia bicara padaku, bahkan mengajakku untuk… melihat sesuatu di rumah ini,” Anis bersikeras, berharap Pak Handoko akan mempercayainya.
Pak Handoko menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada hati-hati, “Dengar, Nona. Dulu, rumah ini pernah menjadi saksi kejadian buruk. Banyak penghuni rumah ini yang… mengalami hal-hal yang tidak seharusnya. Dan ada seorang gadis, seorang gadis muda, yang hilang di rumah ini.”
“Seorang gadis? Apakah itu… Fina?” Anis bertanya, suaranya bergetar.
Pak Handoko mengangguk pelan. “Namanya Fina, Nona. Dia pernah tinggal di sini bertahun-tahun lalu, namun dia… tidak pernah benar-benar meninggalkan rumah ini. Entah bagaimana, arwahnya masih terjebak di sini. Dia tidak bisa pergi.”
Anis tertegun mendengar penjelasan itu. Jadi, gadis yang ia lihat benar-benar Fina, tapi dia bukan manusia. Dia adalah arwah yang masih menghantui rumah ini.
“Pak Handoko, kenapa dia muncul di hadapan saya?” Anis bertanya dengan suara pelan.
“Saya tidak tahu, Nona,” jawab Pak Handoko dengan raut wajah cemas. “Tapi yang saya tahu, dia mungkin ingin sesuatu darimu. Mungkin ada sesuatu yang dia butuhkan untuk bisa pergi dari sini.”
Anis merasa kepalanya berputar. Segala yang ia pikirkan tentang rumah ini berubah seketika. Rumah yang ia anggap hanya tua dan suram ternyata menyimpan rahasia yang lebih mengerikan. Fina bukanlah teman khayalan atau sekadar ilusi. Ia adalah roh yang terjebak di rumah itu, dan entah mengapa, ia ingin Anis mengetahui sesuatu.
Malam itu, Anis berbaring dengan perasaan campur aduk. Ketakutan dan rasa penasaran terus berputar dalam pikirannya. Kata-kata Pak Handoko bergema di kepalanya. Fina mungkin membutuhkan bantuannya. Tapi bagaimana bisa ia membantu arwah yang bahkan tidak sepenuhnya ia pahami?
Saat Anis hampir tertidur, suara langkah kaki terdengar lagi di lorong. Kali ini, suara itu lebih jelas, dan terasa lebih berat, seolah-olah ada sesuatu yang mendekat ke kamarnya. Dengan jantung berdegup kencang, Anis bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu.
Di ujung lorong, samar-samar ia melihat sosok Fina berdiri, kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Wajah Fina pucat, dan matanya tampak sayu. Tanpa berkata-kata, Fina mengangkat tangannya, menunjuk ke arah sebuah pintu di ujung lorong yang belum pernah dibuka Anis.
“Di sana,” Fina berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Di sana ada jawaban yang kau cari.”
Anis menatap pintu itu, perasaan takut kembali menguasai dirinya. Ia tidak tahu apa yang ada di balik pintu itu, namun sepertinya tempat itu menyimpan sesuatu yang penting. Mungkin sesuatu yang bisa membebaskan Fina, atau mungkin sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Saat ia berbalik untuk melihat Fina lagi, gadis itu telah menghilang, menyatu dengan kegelapan. Anis hanya berdiri di sana, menghadap pintu yang seolah memanggilnya, dengan sebuah perasaan yang tidak bisa ia jelaskan—ketakutan bercampur rasa penasaran yang tidak terbendung.