Genies mulai bermunculan dari dimensi lain, masing-masing mencari partner manusia mereka di seluruh dunia. Dalam pencarian mereka, genies yang beraneka ragam dengan kekuatan luar biasa mulai berpencar, setiap satu memiliki kekuatan unik. Di tengah kekacauan itu, sebuah genie dengan aura hitam pekat muncul tiba-tiba, jatuh di kamar seorang anak berkacamata yang dikenal aktif berolahraga. Pertemuan yang tak terduga ini akan mengubah hidup mereka berdua selamanya, membawa mereka ke dalam petualangan penuh misteri dan kekuatan yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ramos Mujitno Supratman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
merdeka pelajaran
Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Raka, Beni, dan Sinta berjalan bersama keluar dari gedung sekolah. Hari itu terasa lebih ringan setelah semua kekhawatiran tentang genie sedikit memudar, meski Raka masih merasakan kehadiran Zarok dan Aira yang terus mengikuti di dekatnya.
Beni menepuk bahu Raka. "Akhirnya pulang juga! Aku bener-bener kelaparan. Mau langsung ke warung depan nggak? Mereka baru jual nasi goreng jumbo, katanya enak!"
Raka tertawa kecil. "Beni, kamu kayaknya tiap hari ngomong soal makanan deh. Kamu nggak pernah kenyang, ya?"
Sinta ikut menimpali sambil tersenyum jahil. "Iya, aku kadang curiga, jangan-jangan Beni ini sebenarnya genie nasi goreng. Makin kenyang, makin kuat dia."
Beni cemberut. "Halah, kalian nggak ngerti nikmatnya makan, sih. Kalau lapar, ya harus diisi!"
Tiba-tiba, Zarok, yang tentu saja hanya bisa dilihat oleh Raka, ikut tertawa keras. “Aku setuju dengan temannya, Tuan. Makan adalah hal penting! Dulu, di zamanku, makan adalah cara untuk menghormati kemenangan setelah pertempuran.”
Raka hampir tertawa mendengar komentar Zarok, tapi buru-buru menahan diri agar tidak terlihat aneh di depan teman-temannya. "Eh, iya... mungkin kita bisa mampir bentar, deh."
Aira terbang mendekati Raka sambil bersenandung pelan. “Makanan manusia memang menarik. Tapi aku lebih tertarik pada kecepatan angin. Mungkin kita harus mencari sesuatu yang lebih ringan, bukan nasi goreng.”
Raka bergumam pelan, setengah bicara pada dirinya sendiri. “Aira, ini bukan waktunya bahas angin...”
Sinta, yang mendengar Raka bicara, langsung memutar kepalanya. “Hah? Kamu ngomong apa, Rak?”
Raka langsung salah tingkah dan tersenyum kikuk. “Eh, nggak, nggak apa-apa. Cuma... lagi mikir aja.”
Beni melirik Raka sambil tersenyum jahil. "Lagi ngobrol sama suara dalam hati, ya? Hahaha, Raka kayaknya udah gila gara-gara terlalu banyak ngerjain tugas."
Raka tertawa kaku, mencoba merespons candaan itu. "Iya, mungkin gara-gara matematika tadi, otakku udah mulai konslet."
Sinta tertawa keras. "Makanya, Rak. Kamu harus lebih santai kayak Beni. Habis makan langsung leha-leha."
Beni mengangguk dengan bangga. “Lihat tuh, Sinta tau cara hidup yang benar! Aku emang role model dalam hal santai.”
Zarok menimpali dengan suaranya yang berat, tentu saja hanya bisa didengar Raka. “Tuan, teman-temanmu benar-benar lucu. Mereka mungkin tidak akan bertahan di medan pertempuran, tapi mereka pasti bisa membuat lawan tertawa sampai kalah.”
Raka hampir tertawa mendengar komentar itu, tapi buru-buru menutup mulutnya agar tidak terlihat aneh lagi. “Oke, oke. Kita mampir ke warung nasi goreng dulu, tapi jangan lama-lama ya.”
Beni langsung bersorak, “Yes! Nasi goreng jumbo, here we go!”
Mereka bertiga berjalan menuju warung sambil bercanda, dan meskipun Raka terus merasakan keberadaan Zarok dan Aira di dekatnya, untuk sesaat ia bisa melupakan kekhawatiran tentang dunia para genie dan menikmati momen konyol bersama teman-temannya.
Setelah sampai di warung nasi goreng, Raka, Beni, dan Sinta langsung memesan makanan mereka. Beni tidak sabar dan langsung memesan nasi goreng jumbo dengan tambahan sambal ekstra.
“Gila, Beni! Kamu berani banget pesen sambal ekstra. Kamu yakin bisa makan sebanyak itu?” tanya Raka dengan nada menggoda.
Beni menyeringai. “Ya iyalah! Aku ini raja sambal! Nggak ada yang lebih berani dari aku soal sambal. Ini adalah ujian bagi seorang foodie!”
Sinta tertawa. “Ujian, ya? Kamu pasti sudah terbiasa jadi ‘korban sambal’ setiap kali makan.”
Raka menggelengkan kepala sambil tertawa. “Jangan bilang kamu sampai menangis lagi seperti kemarin!”
Beni mengangkat bahu dan berpose. “Itu hanya efek samping dari menjadi pahlawan sambal. Siapa yang berani menantangku?”
Ketika pesanan tiba, Beni langsung mengaduk nasi gorengnya dan mengambil satu sendok besar sambal, menaruhnya di atas nasi. Raka dan Sinta hanya bisa menatapnya dengan was-was.
“Coba deh kamu rasakan, Beni. Semoga ini bukan sambal yang bisa membakar jiwamu,” kata Sinta sambil tertawa.
Beni mengambil satu suap besar dan langsung memasukkan ke mulutnya. Wajahnya seketika berubah menjadi merah. “A-akk… ini... pedas!” teriaknya, mengeluarkan keringat di dahi.
Raka dan Sinta tertawa terbahak-bahak melihat reaksi Beni. “Kamu benar-benar raja sambal, Beni! Pahlawan yang langsung tumbang!” Raka berkata sambil memegang perutnya yang sakit karena tertawa.
“Jangan! Nggak ada waktu untuk menyerah! Aku akan terus berjuang!” Beni berusaha berbicara meskipun mulutnya sudah mulai berasap.
Zarok, yang berdiri di samping Raka, tertawa dalam hati. “Tuan, dia mungkin lebih cocok menjadi pejuang sambal daripada pahlawan.”
Aira juga ikut menimpali, “Jadi ini yang disebut ‘sambal berani’. Sangat berani tapi juga sangat konyol.”
Raka melihat ke arah Beni yang masih berjuang dengan sambalnya dan berkomentar, “Jadi, sambal ini memang bisa bikin kamu menangis, ya? Kenapa kamu selalu memaksakan diri?”
“Karena sambal adalah hidupku!” Beni menjawab sambil tersengal-sengal. “Dan aku tidak akan mundur hanya karena satu sendok sambal!”
Sinta mengangguk penuh dukungan, “Semangat, Beni! Kita semua percaya padamu! Hanya satu lagi, dan kamu sudah berhasil!”
Beni mengambil napas dalam-dalam, bersiap-siap untuk suapan kedua, dan semua orang di warung itu mulai menatapnya. “Ini untuk kehormatan sambal!” teriaknya dramatis sebelum melahap suapan kedua.
Setelah itu, dia langsung menutup mulutnya, tetapi tidak bisa menahan air mata yang mengalir dari sudut matanya. “Akhirnya... aku ter...terbakar!” teriaknya, membuat semua orang di warung itu tertawa.
Raka dan Sinta tidak bisa berhenti tertawa. “Kamu benar-benar luar biasa, Beni! Pahlawan sambal terhebat yang pernah ada!”
Beni melambaikan tangannya, berusaha untuk tetap terlihat keren meski ia tampak kesakitan. “Jangan khawatir! Ini hanya sementara! Nanti aku akan kembali beraksi!”
Raka dan Sinta melanjutkan makan sambil terpingkal-pingkal, sementara Beni berusaha meredakan rasa pedas dengan segelas air. “Lain kali, aku akan memikirkan ulang keputusan untuk pesen sambal ekstra!” ujarnya sambil berusaha tersenyum.
“Selamat datang di dunia sambal, Beni. Di mana tidak ada yang aman!” Sinta menambahkan, dan mereka semua tertawa lagi, menciptakan kenangan lucu yang akan mereka ingat selamanya.