"Kisah cinta di antara rentetan kasus pembunuhan."
Sebelum Mekdi bertemu dengan seorang gadis bercadar yang bernama Aghnia Humaira, ada kasus pembunuhan yang membuat mereka akhirnya saling bertemu hingga saling jatuh cinta, namun ada hati yang harus dipatahkan, dan ada dilema yang harus diputuskan.
Mekdi saat itu bertugas menyelidiki kasus pembunuhan seorang pria kaya bernama Arfan Dinata. Ia menemukan sebuah buku lama di gudang rumah mewah tempat kediaman Bapak Arfan. Buku itu berisi tentang perjalanan kisah cinta pertama Bapak Arfan.
Semakin jauh Mekdi membaca buku yang ia temukan, semakin terasa kecocokan kisah di dalam buku itu dengan kejanggalan yang ia temukan di tempat kejadian perkara.
Mekdi mulai meyakini bahwa pembunuh Bapak Arfan Dinata ada kaitannya dengan masa lalu Pria kaya raya itu sendiri.
Penyelidikan di lakukan berdasarkan buku yang ditemukan hingga akhirnya Mekdi bertemu dengan Aghnia. Dan ternyata Aghnia ialah bagian dari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satpam Penjaga Di Malam Pembunuhan
“Pak Mekdi! Satpam yang kita panggil itu telah datang.” Seorang ajudan polisi datang menghampiri Mekdi.
“Baiklah, aku segera ke sana,” jawab Mekdi menutup buku di tangannya. Ia berjalan meninggalkan gudang, menuju ke ruang tamu rumah itu.
Ruang tamu rumah itu menampilkan desain elegan dengan sentuhan modern. Ruangannya luas dengan plafon tinggi yang dilengkapi lampu gantung kristal besar yang berkilauan. Dindingnya dihiasi panel kayu halus dan marmer mewah berwarna netral, memberikan kesan klasik dan elegan. Lantai granit dengan corak halus menyebarkan kilauan cahaya dari jendela besar yang memungkinkan sinar alami masuk ke dalam ruangan.
Ditengah ruangan, terdapat sofa besar yang berbahan beludru dengan warna abu-abu yang bergaya kontemporer. Meja kopi dari kaca dan baja tahan karat terletak di atas karpet tebal bermotif geometris. Dan seorang pemuda telah duduk menunggu Mekdi di sofa ruang tamu itu.
Mekdi menyalami pemuda itu dan mempersilahkannya duduk kembali. Pemuda itu tampak mengenakan seragam satpam, lengkap dengan beberapa aksesoris.
“Apa anda yang bertugas pada sabtu malam minggu lalu?” tanya Mekdi pada pemuda yang duduk di hadapannya itu.
“Iya Pak, saya yang piket di malam itu,” jelas pemuda yang merupakan orang yang berprofesi sebagai satpam di perumahan mewah kediaman Bapak Arfan Dinata.
“Kemana saja anda tiga hari ini?
“Saya pulang kampung Pak, istri saya melahirkan.
“Kenapa nomor anda tidak bisa dihubungi?
“Waduh Pak! Di kampung saya belum dapat sinyal handphone,” terang pemuda itu sedikit tersenyum.
“Apa anda tahu kalau Bapak Arfan Dinata telah dibunuh?
“Tahu Pak! Polisi yang datang kerumah saya kemarin yang memberitahu saya kabar itu. Saya sangat terkejut Pak! Saya tidak menyangka, orang sebaik beliau masih punya musuh.” Pemuda itu menatap Foto Bapak Arfan Dinata bersama istrinya yang terpajang di dinding di ruang tamu itu.
“Minggu pagi pekan lalu, tetangga rumah ini mengabari kami tentang kematian Bapak Arfan. Dia yang waktu itu ingin mengajak Bapak Arfan lari pagi, menemukan Bapak Arfan telah meninggal di kamarnya dengan luka akibat pukulan benda keras di kepalanya. Kejadianya bertepatan dengan waktu ada bertugas menjaga perumahan ini. Anda pasti masih ingat jelas apa yang terjadi di malam itu?
“Masih Pak!
“Siapa saja yang masuk ke perumahan ini di malam itu?
Pemuda itu berpikir sambil mengingat-ingat apa yang terjadi di hari kematian Bapak Arfan Dinata.
“Apa ada orang baru yang mendatangi perumahan ini?” tanya Mekdi lagi mempertegas maksud pertanyaanya.
“Ada Pak! Aku masih ingat, ada dua orang pria yang datang di malam itu. Mereka ingin bertemu dengan Bapak Arfan.
“Jam berapa?
“Kira-kira jam sepuluh malam Pak! ya, jam sepuluh malam! Saya sempat melihat jam tangan saya waktu itu.” ungkap Satpam itu sambil merapikan arloji di tangan kirinya. “Dan sekitar jam dua belas malam mereka meninggalkan perumahan ini,” ulasnya.
“Apa anda masih mengingat wajah orang itu?
“Kalau itu…,” satpam itu berpikir kembali. “Saya kurang memperhatikannya Pak! Waktu itu mereka memakai helm dan kaca mata berwarna hitam.
“Apa ada CCTV di gerbang masuk perumahan ini?
“Ada sih Pak, cuman sudah rusak!
Mekdi menghela napas. Jawaban satpam di depannya sama dengan jawaban rekan kerja satpam itu ketika ditanya di hari kejadian. CCTV di pintu masuk perumahan itu memang sedang rusak dan belum diperbaiki.
“Apakah orang yang datang berdua di malam itu pernah ke sini sebelumnya?” Mekdi kembali mengajukan pertanyaan.
“Tidak Pak!” jawab satpam itu sontak.
“Kenapa anda begitu yakin orang itu belum pernah ke sini sebelumnya? Bukankah anda tidak begitu memperhatikan wajahnya?
“Waktu mereka meminta saya untuk membuka palang pintu, saya meminta mereka untuk memperlihatkan KTP terlebih dahulu. Dari kedua orang itu hanya satu yang membawa KTP, dan KTP itu bukan berasal dari daerah sini Pak! melainkan dari daerah Lengayang. Dan tiba-tiba di saat itu, Bapak Arfan menelpon saya untuk mempersilahkan mereka masuk. Setahu saya, baru kali itu Bapak Arfan didatangi tamu yang bukan dari daerah sini,” urai satpam itu dengan lancar.
“Lengayang?
“Benar Pak!” Satpam itu mengangguk.
Mekdi berpikir sejenak. Ia kembali membuka halaman buku lama yang masih dipegangnya. Mencar-cari kata Lengayang di tulisan buku itu. “SMA 2 Lengayang,” gumam Mekdi membaca tulisan yang ditemukannya.
“Kamu tahu daerah itu dimana?” tanya Mekdi kemudian pada satpam perumahan.
“Tahu Pak! Jalan ke kampung saya melewati daerah itu. Lengayang itu sebuah kecamatan yang ada di Pesisir Selatan,” terang satpam dengan yakin.
Mekdi meraba saku seragamnya, lalu mengeluarkan sebuah KTP yang ada di dalam saku bajunya itu. Di KTP itu tertulis, Arfan Dinata, lahir di pekanbaru tahun 1982, alamat Padang Timur. “KTP-nya tidak ada sangkut pautnya dengan alamat itu. Tapi cerita dalam buku ini berhubungan dengan daerah itu,” gumam Mekdi dalam hatinya.
“Apa anda masih ingat nama pemilik KTP yang datang kesini waktu itu?” tanya Mekdi setelah itu.
“Masih Pak! Namanya, Jarvis Lionel. Saya masih hapal nama itu! karena anak saya yang baru lahir berjenis kelamin laki-laki, jadi saya mau memberinya nama itu. Namanya bagus Pak! Tapi…, kalau orang itu yang membunuh Bapak Arfan?
“Kami belum bisa menyimpulkan siapa pembunuhnya. Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan,” bantah Mekdi tidak mendukung pemikiran satpam di hadapannya. “Baiklah! terimakasih atas kerjasama anda. Saya akan menghubungi anda kembali jika diperlukan!” imbuh Mekdi.
“Siap Pak!” ujar satpam yang masih muda itu, kemudian pergi meninggalkan rumah kediaman Bapak Arfan Dinata.
“Cari data-data orang bernama Jarvis Lionel yang tinggal di daerah lengayang.” Mekdi memerintahkan ajudannya yang sejak tadi berdiri di sampingnya.
“Siap Pak!” ucap ajudan itu.
Mekdi kembali membalik halaman buku lama. Mencari halaman selanjutnya yang belum ia baca. Keterangan satpam yang baru saja pergi, semakin membuatnya tertarik membaca cerita yang ada di atas kertas yang sudah menguning itu.
Bersambung.
zaman dulu mah pokonya kalau punya nokia udh keren bangetlah,,,
😅😅😅
biasanya cinta dr mata turun ke hati, kayaknya dr telinga turun ke hati nih ..
meluncur vote,