1. Gairah sang kakak ipar
2. Hot detective & Princess bar-bar
Cerita ini bukan buat bocil ya gaess😉
___________
"Ahhh ... Arghh ..."
"Ya di situ Garra, lebih cepat ... sshh ..."
BRAKK!
Mariam jatuh dari tempat tidur. Gadis itu membuka mata dan duduk dilantai. Ia mengucek-ucek matanya.
"Astaga Mariam, kenapa bermimpi mesum begitu sih?" kata Mariam pada dirinya sendiri. Ia berpikir sebentar lalu tertawa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Mereka semua sudah keluar dari rumah Langit. Dan pandangan Lani sejak tadi tak berpindah dari Garra dan gadis yang bersama lelaki itu.
"Siapa dia? Apa hubungannya dengan Garra?" wanita itu bertanya pada Aldo. Dagunya menunjuk ke Mariam. Garra bahkan membukakan pintu buat gadis itu.
Lani iri. Ini pertama kalinya dia lihat Garra memperlakukan seorang perempuan dengan spesial.
"Ah ya, kau sudah lama dikantor cabang jadi tidak kenal dia. Namanya Mariam. Adik dari sahabatnya sih bos. Kerjaannya sekarang adalah mengejar cinta bos." jawab Aldo.
Alis Lani terangkat.
"Garra tidak terganggu?" seingat Lani Garra paling benci pada perempuan yang dengan sengaja mendekati apalagi menempel padanya seperti lintah. Pria itu bukan tipe laki-laki yang akan menyambut dengan senang hati kalau ada wanita yang mengejarnya. Sepengetahuan Lani memang begitu.
Aldo mengedikan bahu.
"Keliatannya bos juga suka dia, tapi masih belum ada keinginan pacaran. Menurutku, sih bos tidak begitu percaya kalau tuh cewek betul-betul suka dia atau hanya sekedar main-main. Tingkahnya saja begitu, bisa saja dia hanya main-main kan?" kata pria itu lalu masuk ke mobil.
Tadi mereka ke sini dengan mobil kantor, sedang Garra selalu menggunakan mobil pribadinya.
Di dalam mobil Garra, lelaki itu melihat keseluruhan penampilan Mariam. Astaga, gaun apa itu. Ia tidak suka gadis itu mengenakan gaun kekurangan bahan begitu. Lalu di lepaskan jaket yang ia kenakan dan memakaikannya ke tubuh Mariam, untuk menutupi bahunya yang polos. Bahkan sampai belahan dadanya cukup keliatan.
"Lain kali jangan pakai gaun model begitu lagi." katanya.
"Kenapa? Ini kan bagus." Mariam menatapnya dengan mata lebar.
"Pokoknya jangan pakai lagi." putus Garra langsung. Ia lalu menatap Mariam tajam.
"Kenapa kau ada di pesta itu? Jam berapa ini? Harusnya anak gadis sepertimu tidak keluyuran sampai tengah malam begini. Sudah kubilang tidur kan tadi? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Kalau tadi yang tertembak itu kau bagaimana?" nada suara Garra meninggi. Ia tidak bisa mengontrol diri lagi. Ia terlalu khawatir sampai semarah ini. Ia tidak mau kehilangan lagi.
Hening sesaat. Mata Mariam mengerjab-ngerjab. Ini pertama kalinya pria itu memarahinya. Ia masih tidak terbiasa. Tapi ciut juga. Seorang Garra yang marah sanggup membuatnya terdiam tak berkata-kata.
Garra menghembuskan napas kasar lalu mengatur napasnya. Pandangannya beralih ke depan. Menatap orang-orang yang berlalu lalang di depan mereka.
"Kau marah?"
Tak ada jawaban. Pandangan Garra terus fokus ke jalan. Napasnya masih tak beraturan akibat marah bercampur khawatir.
"Ta ... Tadi temanku memaksaku menemaninya datang ke pesta. Aktor itu adalah seniornya dikampus jadi dia malu kalau tidak datang, padahal di undang. Kamu tahu aku orangnya sangat setia kawan kan? Mana tega aku menolak. Aku juga nggak tahu akan terjadi penembakan dalam pesta itu." Mariam menjelaskan. Namun tetap saja rasa percaya dirinya tidak hilang sama sekali.
Garra memiringkan kepala menatap gadis itu lagi.
"Mulai sekarang jangan keluyuran sampai tengah malam lagi. Seminggu berjalan ini, laporkan semua kegiatanmu padaku." katanya. Mata Mariam langsung berbinar-binar.
"Apa kamu sudah bersedia jadi pacarku?"
Garra diam sebentar,
"Jangan pikir yang aneh-aneh. Aku melakukan semua ini demi keselamatanmu." kemudian ia mengelak.
Mariam mencebik. Laki-laki menyebalkan, tidak ada hati. Padahal Mariam bisa merasakan Garra juga peduli padanya. Eh malah menolaknya terus. Memangnya susah bilang iya?
"Garra!"
ketukan dari luar pintu mobil mengalihkan fokus Garra dan Marriam. Garra menurunkan kaca.
"Apa apa Lani?" yang memanggil pria itu ternyata adalah Lani. Wanita itu memperhatikan Mariam sebentar lalu kembali menatap Garra.
"Sih pengedar baru saja tertangkap. Sekarang sedang diinterogasi. Tim kita diperintahkan ke sana sekarang juga." lapor Lani.
Tadi mobil mereka yang dibawa oleh Aldo hendak pergi meninggalkan lokasi itu tapi telpon dari kantor pusat menghentikan. Lani cepat-cepat turun mendatangi Garra. Melapor ke pria yang menjabat sebagai atasan mereka.
Sebenarnya Garra sudah sangat lelah. Tapi mau bagaimana lagi, terkadang pekerjaan mereka memang harus mengorbankan waktu. Lelaki itu melirik Mariam.
"Aku harus ke kantor polisi sebentar. Kau tidak keberatan?" ia meminta pendapat gadis itu. Sebenarnya bisa saja Garra menyuruh Mariam pulang sendiri naik taksi, tapi pria itu terlalu takut. Ini sudah tengah malam. Ia khawatir Mariam tidak sampai ke rumah karena bertemu orang jahat. Malam ini ia sendiri yang akan mengantar gadis itu pulang.
"Nggak dong. Apa sih yang nggak buat pria tampan aku!" seru Mariam malah kesenangan. Lani merasa gadis itu terlalu lebay. Namun saat melihat Garra, pria itu malah tersenyum. Lani merasa aneh.
"Kenapa masih di sini?" tanya Garra menyadari Lani belum pergi-pergi.
"Ah, aku akan pergi sekarang. Sampai ketemu dikantor polisi." kata Lani sedikit salah tingkah.
"Mm." lalu Garra menghidupkan mesin mobil, siap-siap meninggalkan lokasi tersebut.
Kira-kira lima belas menit mereka sampai dikantor kepolisian pusat.
"Kau tunggu di sini. Aku ke ruang interogasi dulu, akan segera kembali. Kalau kau mengantuk tiduran di sofa. Aku akan membangunkanmu nanti." ucap Garra. Mariam mengangguk.
Ia menguap begitu Garra berbalik pergi.
Hoaamm ...
Ngantuk sekali. Gadis itu melangkah mendekati sofa, berbaring di sana sampai ketiduran. Bahkan gadis itu tidak sadar sampai Garra kembali.
Pria itu mendekati gadis yang tertidur pulas tersebut dan berlutut dihadapannya.
Wajahnya damai sekali. Garra tersenyum sembari mengatur-atur anak rambut Mariam yang berjatuhan. Gadis itu sedikit terusik. Mulutnya mencak-mencak sendiri dalam tidurnya. Dan Garra tersenyum lebar.
Bahkan waktu tidur saja, Mariam tetap menggemaskan. Pria itu melirik jam tangannya. Sudah pukul setengah dua dini hari. Ia berpikir menimbang-nimbang, lalu mengeluarkan ponsel menelpon seseorang. Mudah-mudahan masih bangun.
"Kau sakit? Tidak punya kerjaan? Kenapa menelpon orang tengah malam begini?" sembur Foster dari seberang. Garra terkekeh.
"Maaf, aku ingin bilang saat ini adikmu bersamaku. Ada kasus penembakan yang terjadi di sebuah pesta, kebetulan adikmu ada di sana juga. Aku ingin mengantarnya pulang tapi tidak enak membangunkan mama kalian tengah malam begini. Aku akan mengantarnya ke rumah saja. Bagaimana?" kata Garra panjang lebar.
"Ya ampun, kenapa anak nakal itu berkeliaran diluar tengah malam begini? Sudah di tegur berkali-kali juga. Ya sudah, antarkan saja dia ke sini." balas Foster.
"Baiklah. Aku akan segera ke sana, tunggu aku." lalu panggilan terputus. Garra menatap Mariam lagi. Ia memutuskan menggendong gadis itu karena tidak tega membangunkannya. Untung kantor sudah sepi, jadi Garra tak perlu khawatir ada yang lihat. Kalau tidak, pasti sudah beredar gosip besok.
nemu novel ini
baca sambil ngakak dewe
wkwkwkkkkkakakaaaa
malem² lagi
byuhhhh