Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Plat Nomor
Suara berdecit yang berasal dari gesekan kampas rem mobil membangunkan Sanu dari tidurnya. Entah sudah berapa lama ia tertidur, yang pasti sekarang ia telah sampai di ibukota. Tempat di mana ia akan menghabiskan hari-harinya mulai saat ini hingga waktu yang ia sendiri tidak tahu kapan.
Tidak banyak barang yang Sanu bawa bersamanya. Hanya buku-buku kesayangan beserta pakaian dan beberapa benda lain yang menurutnya berharga. Kepindahannya yang terlalu mendadak membuat Sanu tidak bisa mempersiapkan banyak hal. Namun, apa boleh buat. Ia tidak bisa beralasan atau meminta keringanan. Semua yang keluar dari mulut Sandika adalah perintah yang mutlak sifatnya. Sejak dulu hingga sekarang, keadaan itu tidak pernah berubah. Bahkan mungkin tidak akan pernah berubah.
Usai merapikan semuanya, Sanu menyempatkan diri untuk berkeliling singkat di area apartemennya. Suasananya tenang dan nyaman. Setiap ruangan terasa sangat luas bagi Sanu yang memang akan tinggal di tempat itu seorang diri. Jauh lebih luas dari kamarnya yang lama, seperti empat atau lima kali lipatnya. Jendelanya besar, memperlihatkan gedung-gedung bertingkat serta sibuknya perkotaan yang padat. Terdapat pula pantry yang dilengkapi peralatan masak serba modern guna membantu Sanu membuat masakan yang akan mengenyangkannya. Suasananya amat tenang dan santai, tetapi bagian terbaik dari apartemen tersebut ialah tak ada Sandika di dalamnya. Setidaknya kini Sanu tak perlu lagi sering-sering menjumpai tatapan sinis pria yang tak pernah mau menyebutnya sebagai anak itu.
Sesuai keinginannya kemarin, kali ini Sanu akan mencoba memulai awal yang baru. Mencari teman, beradaptasi, atau apapun itu. Yang pasti ia ingin melakukan segala yang ia inginkan tanpa mau terbebani oleh apapun lagi. Setidaknya sebelum perjodohannya dilaksanakan, Sanu ingin menikmati hidupnya. Menikmati waktunya.
Bila diingat kembali, selama ini Sanu merasa tak pernah memiliki tujuan hidup yang pasti. Ia selalu merasa hidup bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk memenuhi kehendak ayahnya. Ia selalu berusaha melakukan apapun yang Sandika minta demi memantaskan diri sebagai seorang putra. Namun, hingga saat ini usahanya tak pernah membuahkan hasil apa-apa.
Selama ini hanya kehadiran Layla yang mampu membuat Sanu melupakan masalah dan keresahan di hatinya. Namun, semenjak Layla memiliki Rehan, gadis itu pun pada akhirnya turut memberi Sanu kepedihan. Meski begitu Sanu selalu berusaha merasa cukup. Ia tahu bahwa dirinya tidak berhak atas apapun yang ada pada diri Layla. Karenanya ia selalu berusaha merasa cukup dengan pertemanan mereka karena kebahagiaan Layla adalah kebahagiaan pula bagi dirinya.
Saat ini Layla mungkin kebingungan karena Sanu yang tiba-tiba pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Namun, inilah satu-satunya cara yang bisa dilakukan Sanu untuk terlepas dari gadis tersebut sebab Sanu tahu tak ada cara lain lagi untuk melupakan Layla selain hidup terpisah dari gadis yang sudah bersamanya sejak kecil tersebut.
Meski kuliahnya, perjodohannya, segalanya yang ada saat ini bukanlah hal yang benar-benar diinginkan Sanu, ia ingin setidaknya bisa merasa hidup sebentar saja. Merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya sebelum siklus 'hidup dengan menyedihkan' itu kembali dimulai. Sebelum ia benar-benar melangkah masuk ke tempat asing itu. Tempat di mana ia akan menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan orang yang sama sekali belum ia kenal. Belum pernah ia temui.
...****************...
Malam segera tiba. Demi mempersiapkan diri untuk bertemu keluarga calon tunangannya, Sanu mencoba merapikan diri dan rambutnya. Ia rela berlama-lama untuk memperbaiki penampilannya. Mulai dari memotong rambut hingga membeli pakaian baru, semua dilakukan Sanu dengan semangat. Meski sebenarnya ia tidak menghendaki perjodohan ini, Sanu berharap agar setidaknya ia bisa menjalani semuanya dengan suka cita dan harapan besar di benaknya bahwa inilah jalannya agar bisa berbahagia.
Sanu berjalan santai sembari menenteng dua tas plastik yang berisikan setelan jas dan pakaian lain. Ia tidak sempat membawa baju yang layak untuk dipakai di acara rekan bisnis ayahnya tersebut.
Belum sempat Sanu membuka pintu mobilnya, suara teriakan yang amat lantang dan menggema di seluruh lorong tempat parkir tersebut membuatnya terkejut.
"Lepas! Saya nggak mau ikut."
"Lepas!!"
Sanu mengedarkan pandangan. Ia menoleh ke segala arah dan mencari sumber suara. Ia hendak melangkah ke arah suara tersebut menuntunnya sebelum terdengar bunyi gebrakan pintu mobil yang kembali mengejutkannya.
"Aaaaa. Turunkan saya!"
Sanu berlari dan membanting tas belanjanya. "Woi! Berhenti!" pekik Sanu sambil menggebrak kaca belakang mobil tersebut.
Dilihatnya dari kaca mobil belakang yang gelap dan buram tersebut, nampak seorang gadis tengah melihat ke arahnya sembari meminta pertolongan. Wajahnya tidak terlihat jelas karena kaca mobil tersebut berwarna hitam dan penuh debu. Sanu berlari dengan sekuat tenaga, mencoba mengejar mobil tersebut dan meraih kaca depan mobil. Namun, dirinya tak sanggup lagi mengimbangi laju mobil tersebut. Dengan kecepatan tinggi beserta decitan ban yang menggema di seluruh area parkir, mobil tersebut terus melaju meninggalkan Sanu yang terlihat masih berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal.
Sanu berusaha mengatur nafasnya sembari terus memperhatikan mobil tersebut guna mrnghafalkan nomor platnya. Usai melafalkan beberapa kali plat nomor tersebut, Sanu kembali memandang ke arah kaca mobil yang beberapa detik kemudian sudah menghilang di balik belokan tempat parkir. Saat itu, Sanu menyesal karena tidak bisa menolong gadis tersebut dan tidak bisa berbuat banyak. Dalam hati, Sanu berharap agar gadis tersebut baik-baik saja.
Usai terdiam sembari menuliskan nomor plat yang sudah ia hafalkan tersebut ke notes ponselnya, Sanu memungut kembali tas belanjaannya dan barang-barangnya yang terlempar saat ia berlari mengejar mobil tadi. Dengan perasaan gusar, Sanu menuju mobilnya dan melaju cepat kembali ke apartement. Meski ia belum terlalu tenang karena apa yang baru saja ia saksikan dan alami, ia tetap harus bergegas untuk mempersiapkan diri menghadiri pesta calon mertuanya.
Di sepanjang jalan, Sanu terus gelisah karena ia kembali mengingat saat di mana gadis tersebut menggebrak kaca dan melihat ke arahnya sembari meminta pertolongan. Sanu menggeleng pelan. Ia sudah mengupayakan untuk mengejar mobil tersebut, hanya saja sangat sulit untuk mengimbangi kecepatannya. Meski begitu, pada akhirnya setelah ia berpikir panjang, Sanu memutuskan untuk pergi ke kantor polisi dan menyerahkan nomor plat yang sebelumnya ia tulis dan melaporkannya dengan dugaan penculikan.
"Setidaknya aku harus melakukan sesuatu, kan?" Sanu bergumam pelan sembari melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Apapun yang akan terjadi nanti di rumah calon mertuanya, Sanu berharap hanya hal baik yang akan terjadi.