Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Kepedihan Lisa V2
Hingga malam semakin larut. Langit di Desa Mola-Mola tertutup awan kelam, seolah mengirimkan isyarat gelap yang merasuk hingga ke hati para warga. Di balai desa, Ekot berdiri tegap dengan tombak di tangan, wajahnya penuh tekad meski kekhawatiran tetap membayang. Di hadapannya berkumpul beberapa warga, wajah-wajah mereka tegang namun siap menjalankan tugas.
"Pak Rumbun, Pak Mantir, Empong," Ekot memanggil nama mereka satu per satu, suaranya tegas. "Kalian bertiga berjaga di rumah Pak Labih. Pastikan tidak ada yang mencurigakan. Jaga ketat!"
Ketiganya mengangguk serentak. Pak Rumbun, yang sudah berusia di atas lima puluh tahun, menepuk bahu Ekot sejenak sebelum melangkah pergi bersama dua rekannya. Mereka paham betul, tugas malam ini bukan sekadar berjaga, tapi menjaga kehormatan keluarga yang hampir hancur karena kutukan.
"Sisanya." Ekot melanjutkan, menatap ke arah Nanjan, Simpei, Banjar, Danum, dan Balawa. "Kita berkeliling desa. Jangan biarkan satu sudut pun luput dari pengawasan."
Angin malam bertiup, membawa serta suara daun kering yang bergesekan, menambah suasana mencekam di antara mereka. Ekot memandangi teman-temannya yang siap, lalu tanpa kata lebih lanjut, mereka mulai bergerak, membagi tugas dengan diam-diam namun penuh tekad.
Malam itu terasa lebih berat dari biasanya. Tapi Ekot tahu, mereka tidak bisa mundur. Tidak ada yang boleh lagi jatuh menjadi korban.
Dari luar, rumah Pak Labih terlihat sunyi, hanya suara angin yang sesekali menggoyangkan dedaunan di halaman depan. Tapi di dalam, suasana jauh dari tenang. Bu Elora duduk di sudut ruangan, menggenggam erat tangan putrinya, Rina, yang gemetaran. Malam ini terasa berbeda, ketegangan menggantung di udara seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Sudah-lah Rina. Jangan khawatir lagi," kata Pak Labih dengan suara pelan namun penuh keyakinan, meskipun dalam hatinya ia sendiri tidak bisa menghilangkan rasa takut itu. Ia berjalan mendekati istrinya, menepuk pundaknya dengan lembut. "Malam ini mereka berjaga. Pak Mantir, Pak Rumbun, dan beberapa pemuda desa ada di luar. Kita akan aman."
Rina menatap ayahnya dengan mata penuh kecemasan, bibirnya bergetar tapi tak sepatah kata pun keluar. Ia hanya menggenggam selimutnya lebih erat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa terlindungi.
"Rina, dengarkan Bapak." Pak Labih melanjutkan, berusaha menenangkan suasana. "Ini bukan pertama kalinya mereka berjaga. Setiap malam kita selamat, dan malam ini juga akan begitu."
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu. Bu Elora tersentak kaget, tapi Pak Labih segera berdiri dan membuka pintu. Di depan pintu, Pak Mantir bersama Pak Rumbun dan Empong berdiri dengan wajah penuh keyakinan.
"Kami sudah di sini Pak Labih," kata Pak Mantir sambil tersenyum tipis, mencoba memberikan rasa aman pada keluarga itu. "Semua sudah siap. Jangan khawatir, kami akan berjaga semalaman."
Suasana langsung terasa lebih hidup. Pak Labih tersenyum lega, melihat rombongan yang datang dengan membawa ketenangan.
"Terima kasih Pak Mantir," jawabnya dengan nada yang lebih ringan. "Dengan kalian di sini, saya yakin semuanya akan baik-baik saja."
Pak Mantir mengangguk, lalu bersama yang lain, mereka mulai mengambil posisi di sekitar rumah, memastikan setiap sudut aman dari ancaman yang tak terlihat. Di dalam, Bu Elora mulai terlihat sedikit lebih tenang, sementara Rina perlahan-lahan melepaskan genggaman erat pada selimutnya. Malam mungkin masih panjang, tapi setidaknya mereka tahu, mereka tidak sendirian.
Pak Mantir dan Pak Rumbun baru saja selesai berkeliling mengelilingi rumah Pak Labih. Malam semakin larut, hanya suara jangkrik yang terdengar bersahutan, sementara cahaya obor dari depan rumah berpendar hangat, menciptakan bayang-bayang panjang di tanah. Mereka berdua kembali ke halaman depan, di mana Empong sudah menunggu sambil duduk di sebuah bangku kayu kecil.
"Sudah kita cek semua," kata Pak Mantir, menghela napas lega. "Tidak ada tanda-tanda aneh di sekitar sini."
Pak Rumbun mengangguk. "Benar, malam ini terlihat tenang. Semoga memang begitu sampai pagi."
Mereka bertiga lalu duduk bersama, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajah mereka. Sejenak tak ada yang berbicara, hanya suara alam yang menemani mereka. Tapi Empong akhirnya memecah keheningan, suaranya lirih namun sarat dengan perasaan.
"Aku selalu berharap. Kutukan ini cepat berakhir," ucapnya dengan nada putus asa. Matanya menerawang jauh, menatap kegelapan di kejauhan seolah mencoba mencari jawaban dari langit malam. "Sudah cukup banyak korban. Setiap malam, desa ini semakin terasa mengerikan."
Pak Mantir menatapnya sebentar, lalu mengangguk. "Kita semua merasakannya. Tapi tak ada yang bisa kita lakukan selain menjaga dan berharap leluhur segera menghentikan amarah mereka."
Pak Rumbun, yang sedari tadi hanya mendengarkan, akhirnya ikut angkat bicara. "Ini semua memang berat, terutama bagi yang memiliki anak gadis. Tak ada yang ingin melihat keluarganya menderita karena sesuatu yang tak bisa kita pahami sepenuhnya."
Empong menghela napas panjang, mengusap wajahnya. "Aku tahu. Tapi, berapa lama lagi kita harus hidup seperti ini? Berjaga setiap malam, takut setiap kali matahari terbenam. Ini bukan hidup."
Pak Mantir memandang Empong dengan tatapan bijaksana. "Kita tidak tahu. Tapi setidaknya, selama kita berjaga. Kita melindungi mereka yang kita sayangi. Hanya Itu yang bisa kita lakukan sekarang."
Empong terdiam, menunduk. Meskipun ia ingin sekali semuanya segera berakhir, ia tahu tidak ada pilihan lain. Di sisi lain, rasa lelah dan frustasi makin menyelimuti hatinya.
"Tidak ada yang tahu kapan ini selesai," Pak Rumbun menambahkan. "Tapi selagi kita bersama, kita bisa melewati ini."
Mereka bertiga terdiam lagi, memandangi langit malam yang tanpa bintang. Hanya angin yang terus berhembus pelan, seolah membawa harapan yang entah kapan akan terwujud.
Pak Labih dan istrinya muncul dari dalam rumah, membawa nampan berisi minuman hangat dan buah-buahan segar. Langkah mereka pelan namun penuh niat untuk memberikan sedikit rasa nyaman kepada para penjaga malam itu. Suasana yang tadinya sedikit hening berubah lebih hangat dengan kedatangan mereka.
"Maafkan aku, hanya ini yang kami punya untuk kalian," ucap Pak Labih, meletakkan nampan di tengah-tengah mereka. Ia lalu duduk di salah satu kursi bambu yang ada di halaman depan, menghela napas berat. "Kita memang harus bersama-sama menghadapi ini."
Istri Pak Labih, yang sedari tadi berdiri di belakangnya, tersenyum lemah. "Terima kasih atas kedatangan kalian di sini. Aku sangat berhutang budi pada kalian." Suaranya bergetar, dan ia berusaha menahan air mata, tapi kegelisahan tampak jelas di wajahnya.
Pak Mantir mengangguk hormat, menatap Istri Pak Labih dengan penuh pengertian. "Kami hanya melakukan apa yang seharusnya. Tapi, sebaiknya Ibu kembali ke dalam untuk menemani Rina. Biar kami yang berjaga di sini."
Istri Pak Labih terdiam sejenak, menoleh ke arah suaminya seolah meminta izin, lalu kembali menatap Pak Mantir. "Baiklah. Aku akan kembali ke dalam," katanya dengan suara pelan, sambil menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Ia kemudian melangkah kembali ke rumah, meninggalkan para pria di halaman.
Saat pintu tertutup, Pak Labih menghela napas panjang. "Istriku tak pernah berhenti khawatir setiap malam. Aku pun begitu. Tapi, apa daya, kami hanya bisa berharap malam cepat berlalu."
Pak Rumbun meraih salah satu gelas minuman dan meneguknya perlahan. "Tidak ada satu warga pun saat ini yang bisa tidur dengan nyenyak Pak Labih. Tapi percayalah, selama kita berjaga, kita akan melindungi Rina dan semua gadis lainnya."
"Itu Benar," tambah Pak Mantir, matanya menatap serius ke arah rumah. "Kita harus tetap waspada."
Pak Labih mengangguk setuju, meski rasa lelah di wajahnya tak bisa disembunyikan. Ia tahu malam ini mungkin akan panjang, seperti malam-malam sebelumnya. "Semoga saja kutukan ini segera berakhir," gumamnya, hampir seperti sebuah doa yang ia ucapkan pada angin malam.
Sambil meminum teh hangat yang dibawa istrinya, mereka kembali duduk dalam kesunyian, mata mereka sesekali menyapu sekitar, telinga mereka waspada akan setiap suara yang datang dari kegelapan.
Di sisi lain, malam terasa begitu dingin, angin gunung berembus perlahan menyapu dedaunan di sekitar rumah Pak Purrok. Ekot berdiri tegap di depan rumah, tombaknya menggantung di tangan, tajamnya berkilat di bawah sinar bulan. Udara malam yang biasanya ramai dengan suara serangga kini terasa sunyi, seolah alam pun tahu ada ketegangan yang melayang di udara.
Ekot tak bergerak, matanya menelusuri setiap sudut halaman, siap siaga. Di sekitarnya, teman-temannya. Nanjan dan Simpe juga dalam posisi siaga. Tak ada yang berbicara, hanya fokus pada tugas masing-masing.
Suara samar ranting yang patah di hutan dekat rumah membuat Simpei sedikit menegakkan tubuhnya. "Suara apa itu?" bisiknya pelan, matanya mencari-cari sumber suara.
Ekot hanya mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tetap tenang. Ia tahu, di malam seperti ini, suara kecil bisa menipu pikiran yang sudah dipenuhi ketakutan. "Mungkin itu babi hutan," gumamnya pendek.
Namun, tak lama setelah itu, bayangan besar tampak bergerak cepat di antara pepohonan. Tapi ketika mendekati rumah, bayangan itu tiba-tiba berhenti. Bahkan binatang hutan pun tampak enggan melintasi batas di sekitar Ekot dan tombaknya. Entah mengapa, malam itu, bahkan seekor babi hutan yang kelaparan tak berani mendekat.
"Ini Aneh. Biasanya mereka tidak takut seperti itu," bisik Nanjan, melihat bagaimana bayangan itu kembali menghilang ke dalam hutan.
Ekot menajamkan matanya, tetap tidak tergoyahkan. "Mungkin malam ini mereka tahu siapa yang mereka hadapi," jawabnya dingin, menggenggam lebih erat tombaknya yang telah ia asah hingga seperti senjata dewa.
Simpei tertawa kecil, meski tawa itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada mengejek. "Kalau begitu, kita hanya perlu memastikan jika bukan hanya babi yang tak bernyali, tapi juga yang lainnya."
Semua kembali hening setelah itu. Ekot tetap berdiri tegak, seolah bisa menantang malam itu sendiri, tombaknya siap untuk menusuk apa pun yang berani melintasi ambang batas. Tapi yang lebih menakutkan dari bayangan hutan adalah kesunyian itu sendiri, yang terus menekan mereka seiring malam yang masih panjang berjalan tanpa kepastian.
Namun, satu hal yang pasti: selama Ekot berjaga, tak ada makhluk, manusia atau bukan yang bisa mendekati rumah Pak Purrok.
Malam semakin hening di kediaman Pak Labih, dan ketegangan yang melingkupi desa itu terasa kian mencekam. Rina yang tertidur di dalam kamarnya mulai menunjukkan tanda-tanda gelisah. Kelopak matanya yang terpejam bergerak cepat, napasnya tersengal, seolah sedang mengalami mimpi buruk. Di sisi ranjang, Ibu Rina duduk dengan kepala hampir terkulai, berusaha melawan kantuk yang tak tertahankan, sementara tangannya masih menggenggam jemari putrinya.
lanjut nanti yah