"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaminan Hutang
Beberapa hari berlalu, Liana sudah kembali aktif kuliah meski suasana hatinya masih berduka. Sembari kuliah, dia pun memikirkan bagaimana cara membiayai kuliahnya setelah ini. Tabungan miliknya yang tidak seberapa, tidak akan bisa menutup biaya kuliah hingga lulus. Dia pun sempat berdiskusi dengan Nunik dan Damar.
"Coba aku tanya mamaku, siapa tahu kamu bisa bekerja di salon mama." ujar Nunik.
"Aku juga akan tanyakan pada orang tuaku. Kamu tenanglah, jangan terlalu dipikirkan." sahut Damar.
"Thanks ya..., kalian sahabat terbaikku..." Liana memeluk Nunik.
"Nunik saja nih yang dipeluk." Damar mulai berkelakar untuk mencairkan suasana.
"Harusnya kamu jadi mawar dulu, kalau mau dipeluk." jawab Nunik sekenanya.
Nunik dan Damar pun tertawa. Sementara Liana hanya tersenyum.
"Aku tak tahu bagaimana aku kalau tanpa kalian." batin Liana.
Liana merasa sangat bersyukur memiliki teman-teman yang baik seperti Nunik dan Damar. Bertemu dan ngobrol dengan mereka sudah cukup bisa menghibur hatinya dalam kondisi seperti ini.
Liana juga tidak mau terlalu larut dalam kesedihan. Dia mulai belajar ikhlas, karena semua adalah takdir. Diratapi seperti apapun tak akan bisa kembali seperti dulu. Yang ada dalam benak Liana saat ini adalah bagaimana menjalani hidup kedepannya.
......................
Siang itu di rumah Liana. Bu Ratih sedang kedatangan tamu, beberapa orang asing yang sama sekali tidak dia kenal.
"Cari Liana?! Ada perlu apa?!" bu Ratih memicingkan matanya penuh curiga.
"Panggil saja nona Liana kalau ada. Kalau tidak ada, katakan dimana dia!" sahut salah seorang dari mereka.
"Iya, tapi kalian mau apa?" tanya bu Ratih lagi.
Belum juga mendapat jawaban dari orang-orang itu. Tiba-tiba segerombolan orang datang lagi. Tapi kali ini bu Ratih mengenal mereka. Mereka adalah anak buah seseorang yang sudah memberikan pinjaman padanya tempo hari.
"Kami datang menagih janji anda, nyonya!" ujar salah satu dari mereka yang baru datang.
"Ah tenang saja, kalian tunggu di sini." jawab bu Ratih sambil tersenyum.
Tanpa menunggu lebih lama, bu Ratih melenggang masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian dia membawa beberapa surat berharga milik almarhum suaminya.
"Ini kalian bawa semua, dan ini kunci mobil juga motor kami. Kalian bawa semua. Kalau kurang nanti kalian hubungi saya." ujar bu Ratih dengan gampangnya.
"Ada apa ini ramai-ramai??!" sentak Liana yang baru saja pulang dari kampus.
Ada Damar dan Nunik juga di belakangnya. Awalnya mereka akan segera balik setelah mengantar Liana. Tapi niat itu mereka urungkan, lantaran banyak mobil dan orang-orang aneh di rumah Liana. Tentu saja mereka khawatir kalau Liana dalam bahaya.
Melihat kedatangan Liana, dua orang yang datang lebih awal segera berdiri dan memberi hormat pada Liana dengan membungkukkan tubuhnya. Begitu pula dengan dua teman mereka yang sedari tadi berdiri di sisi kursi. Sontak saja hal itu membuat Liana, bu Ratih, Damar, dan Nunik, terheran-heran.
Tapi itu hanya sesaat, karena Liana melihat beberapa berkas yang sangat dia kenal berada di tangan orang lain.
"Apa-apaan ini?!!" dengan cepat gadis itu merebutnya kembali.
"Liana!!!" bentak bu Ratih. "Kembalikan! Jangan lancang kamu!!" suara bu Ratih makin meninggi.
Saat bu Ratih hendak mengambilnya dari tangan Liana, Liana meremas tangan ibu tirinya itu dengan kuat.
"Auuuuh..., sakit!! Jangan kurang ajar kamu Liana!!" teriak bu Ratih.
"Mar!!" Liana memberi kode pada Damar agar menangani ibu tirinya itu.
Liana menarik nafas panjang sebelum kembali bicara. Karena yang dia hadapi saat ini segerombolan manusia black lover. Begitulah Liana menyebut mereka.
"Katakan, kalian siapa dan ada perlu apa? Dan anda." Liana menunjuk orang yang tadi membawa berkas milik ayahnya. "Kenapa barang ini ada di tangan anda?!" tanya Liana.
"Itu adalah barang jaminan pelunas hutang." jawabnya. "Jadi berikan pada kami!" titahnya kemudian.
Liana melirik ibu tirinya penuh kebencian.
"Hutang siapa?!" dia kembali pada orang sebelumnya.
"Nyonya Ratih." jawabnya.
"Ya sudah, anda boleh bawa dia. Tapi tidak dengan ini." Liana mengangkat surat-surat itu berserta kunci kendaraannya. "Karena ini bukan milik mereka. Mereka hanya numpang di sini!"
"Heh, anak tidak tahu diri kamu! Aku ini ibumu!" sahut bu Ratih.
"Diaaam...!!" geram Damar sambil kembali mengencangkan cengkraman tangannya pada pergelangan bu Ratih.
"Itu sudah sesuai perjanjian, nona." kata orang itu lagi.
Orang lain menunjukkan surat perjanjian yang di sana terdapat tanda tangan ibu tirinya juga ayahnya. Bu Ratih tampak tersenyum penuh kemenangan. Sementara Liana sangat yakin sekali ibu tirinya itu sudah menjebak sang ayah. Karena ayahnya tidak mungkin melakukan semua ini.
Liana menghampiri bu Ratih. Dan...
Plaaak...!!
Liana menghadiahi sebuah tamparan pada bu Ratih atas pekerjaan tercelanya itu.
"Dasar perempuan berhati busuk!! Benalu...!!!" teriak Liana.
"Naa...!!" Nunik segera menghampiri Liana dan mencoba meredam emosinya.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan itu mengalihkan pandangan semua orang. Dari sana tampak kakek Sudibyo yang baru memukulkan tongkatnya pada daun pintu.
"Ka..., keeek...!!" gumam Liana.
"Kakek tua pelit yang waktu itu kan..." batin bu Ratih.
Bersamaan dengan itu, orang-orang yang tadi memberi hormat pada Liana beralih melakukan hal yang sama pada kakek tua bergaya elit itu. Saat itulah Liana tahu kalau mereka orang-orang kakek Sudibyo.
"Kenapa kamu menangis, Liana?!" dengan suara yang lembut, kakek itu mengusap kepala Liana.
"Apa perempuan ini menjual semua aset milik ayahmu?" tanya kakek lagi.
Seseorang menjelaskan apa yang terjadi. Lalu kakek Sudibyo mengambil semua barang yang Liana bawa.
"Katakan pada bos kalian. Sudibyo membeli semuanya! Suruh dia langsung menemui saya di kantor!" titah kakek Sudibyo dengan tegas.
"Sekarang pergilah!!" lanjutnya.
Tanpa banyak bicara, mereka pergi dari rumah itu.
"Waah..., boleh juga ini kakek-kakek. Digodain pasti gampang terpancing ini sih..."
"Kenapa kakek melakukan ini?!" protes Liana. Dia tidak terima kakek itu membiarkan bu Ratih lolos begitu saja.
Kakek Sudibyo tidak menjawab. Dia memilih duduk di kursi.
"Kamu!" tunjuknya pada bu Ratih. "Buatkan saya teh tawar hangat!" titahnya.
"Ba..., ba..., baik..." bu Ratih pergi setelah Damar melepaskannya.
"Liana, secepatnya kemasi barangmu. Dan ikutlah bersama kakek!" tuturnya.
"Tapi, kek...?!" balas Liana yang terkesan keberatan.
Damar dan Nunik saling tatap karena mereka tidak mengerti dengan yang sedang terjadi. Liana juga tidak pernah menceritakan soal kakek-kakek yang kini berada di rumah Liana.
"Tidak baik berada di rumah ini sendirian. Bukankah ayahmu sudah mengatakan, kalau kamu harus ikut dengan kakek...?" ujar kakek Sudibyo.
Liana menoleh pada kedua temannya. Kakek Sudibyo pun memperhatikan hal itu.
"Kalian nanti bisa ikut bersama kami, mengantar Liana di rumahnya yang baru." si kakek tersenyum.
"Cepatlah Liana, kakek masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan." kata kakek lagi.
Rumah yang tidak begitu besar itu, tentu saja membuat pembicaraan mereka terdengar sampai ke dapur. Bu Ratih yang tidak mengenal kakek Sudibyo, merasa bingung dan mulai berpikir macam-macam.
"Dia membeli rumah ini dan semua kendaraan. Tapi kenapa dia juga mau membawa Liana? Ada apa ini sebenarnya? Apa yang mas Gani sembunyikan dariku?"
Tak lama kemudian bu Ratih kembali ke ruang tamu sambil membawa minuman pesanan kakek Sudibyo. Namun sayang sekali, si kakek sudah kelihatan di sana. Entah pergi kemana dia.
"Dimana bos kalian?" tanya bu Ratih pada beberapa orang di sana.
"Sudah pergi." jawabnya.
"Haaah, susah-susah bikin minuman malah ditinggal pergi." bu Ratih pun pergi dari ruangan itu.
Dia melangkahkan kakinya menuju kamar Liana.
"Yakin pergi, Na...?" tanya Nunik sekali lagi.
"Em. Aku nggak mau membuat ayah sedih, karena tidak menuruti amanahnya." balas Liana.
"Baguslah, cepat pergi!" sahut bu Ratih yang sudah bersandar pada kusen pintu sambil melipat tangannya di atas dada.
Liana hanya melirik sekilas, tanpa peduli mau membalas.
"Kenapa diam? Tadi saja sok-sokan kamu. Sekarang nyalimu menciut, iya?! Pasti syok ya, karena rupanya kamu dijual sama ayah kecintaanmu itu!" cibir sang ibu tiri.
Pada akhirnya Liana menghentikan aktivitasnya, lalu menghampiri sang ibu.
"Punya mulut dijaga ya, nyonya." Liana menunjuk wajah ibu tirinya itu tanpa sungkan.
"Eeiitts...!" balas bu Ratih sambil menurunkan jari Liana. "Turunkan jarimu. Jangan sok berani melawan kamu. Mending simpan tenagamu untuk melawan kakek tua itu nanti. Karena bisa jadi kamu akan dipaksa menikah dengannya. Dan mengabdi seumur hidup padanya. Hahahaaa...!!!"
Plak...!!
Dengan entengnya Liana menampar bu Ratih.
"Kurang ajar...!!" geram bu Ratih sambil memegangi pipinya yang terasa panas campur perih.
"Anak jaminan buat bayar hutang saja belagu!" teriak bu Ratih.
......................