Narecha memilih untuk melarikan diri dari kehidupannya penuh akan kebohongan dan penderitaan
Lima tahun berselang, Narecha terpaksa kembali pada kehidupan sebelumnya, meninggalkan berjuta kenangan indah yang dia ukir ditempat barunya.
Apakah Narecha sanggup bertahan dengan kehidupannya yang penuh dengan intrik?
Di tengah masalah besar yang terjadi padanya, datang laki-laki dari masa lalunya yang memaksa masuk lagi dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ssintia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menakjubkan
...••••...
Hari bertemu dengan keduanya temannya pun tiba juga. Saat ini Echa sudah menunggu kedatangan dua orang yang kerap kali terlambat jika memiliki janji itu di sebuah cafe yang berada tidak jauh dari apartemennya.
Sengaja Echa memilihnya agar dia berjalan kaki sekalian berolahraga.
Karena kalau diingat-ingat lagi sejak kembali Echa tidak pernah olahraga. Mengingat di tempat itu Echa seringkali olahraga bersama anak-anak di bukit.
Hampir dua puluh menit Echa menunggu, akhirnya kedua manusia berjenis kelamin wanita itu menampakkan batang hidungnya.
"Sialan lo Echa." Belum juga Echa bersuara tapi pundaknya sudah mendapatkan pukulan yang lumayan keras hingga berdenyut.
"Sakit Beca," Echa mengusap-usap pundaknya yang masih panas.
"Lebai lo!"
Echa hanya mendengus dengan mata yang menatap Beca dengan tajam.
"Gue kira Lo udah mati." Laluna, wanita dengan wajah super judes yang berbicara seraya duduk di kursi yang ada di depan Echa.
"Masih hidup kok,"
"Ya iyalah Echa, kalau Lo udah mati otomatis yang ada di depan kita ini setan," Beca menarik kursi yang berada di samping Laluna.
Echa meringis ketika melihat kekesalan nyata di wajah dua orang yang ada di depannya. Meskipun wajah Laluna memang kesehariannya seperti itu.
Ya mau bagaimana lagi, toh semuanya sudah terjadi. Mau merasa bersalah pun Echa memilih untuk tidak memusingkannya.
"Jadi? Bisa diceritakan secara rinci dan mendalam kemana perginya seorang Narecha selama lima tahun ini menghilang tanpa kabar dan jejak sedikitpun?" Beca melipat kedua tangannya diatas meja dengan pandangan menghunus tajam pada Echa yang penampilannya berubah drastis dari Echa lima tahun yang lalu.
Jika dulu Echa selalu mengenakan pakaian monoton dengan celana juga baju panjang, kini Echa terlihat mengenakan dress dengan panjang dibawah lutut. Rambut sebahunya yang bergelombang sungguh membuat Echa terlihat berbeda.
"Makan dulu bisa kan,"
"Ngga bisa." Beca menggebrak meja cukup kencang membuat pengunjung lain sempat terdistraksi sebelum Echa meminta maaf hingga mereka tidak perduli lagi.
"Lo emang ngga sabar tapi jangan malu-maluin bego!" semprot Laluna dengan tajam.
Selain wajahnya yang jutek, sikap Laluna yang terlalu blak-blakkan dan perkataanya yang pedas tanpa disaring juga menjadi ciri khas gadis itu. Tapi Echa tidak pernah mempermasalahkannya, malah dia menyukai sifat temannya yang satu itu.
"Ish, iya-iya." Nah, jika Beca sedang tidak terkendali, Laluna lah yang bisa menjinakkannya dengan mudah. Atau ketika Beca dan Echa tengah dalam situasi tegang, Laluna yang menjadi penengahnya.
Akhirnya ketiganya memesan makanan terlebih dahulu sebelum memulai cerita panjang yang akan Echa beritahukan.
"Bisa dimulai?" Beca kembali melipat tangannya diatas meja.
Kali ini Echa tidak bisa berdalih lagi. Echa menceritakan semuanya yang terjadi padanya hingga memutuskan untuk pergi lima tahun lamanya. Seperti biasa juga Echa tidak menyebutkan nama tempat pelariannya itu meskipun Beca sempat mendesaknya.
"Bisa-bisanya Lo punya masalah sebesar itu ngga cerita sama kita," Beca menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang sulit Echa artikan.
Bagaimana Echa bisa cerita jika dirinya sendiri tidak ingin orang lain mengetahui masalahnya. Lagi, kedua temannya itu memiliki kehidupan masing-masing. Bagaimana bisa Echa egois menyertakan mereka kedalam masalahnya.
"Maaf, dulu gue ngga bisa berpikir panjang." Hanya kata maaf yang bisa Echa katakan, dia tidak berniat melakukan pembelaan apapun.
"Ya udahlah, semuanya juga sudah terjadi. Toh yang paling penting saat ini Echa sehat walafiat." Sahut Laluna untuk menghentikan Beca yang terlihat ingin mendebat Echa kembali.
Beca mendengus, menyandarkan punggungnya pada kursi dengan tangan yang terlipat di depan dada, sedang pandangannya tertuju pada luar cafe.
Echa menghela nafas perlahan ketika melihat Beca, beralih pada Laluna yang tersenyum tipis sekali seraya menganggukkan kepalanya perlahan.
Bertepatan dengan makanan pesanan ketiganya datang. Echa menikmati makanannya seperti biasa, dan kedua temannya pun sama-sama sibuk dengan makanan masing-masing.
"Gue harus pulang duluan, anak di rumah nangis kata pengasuhnya." Laluna bergegas memasukkan ponsel ke dalam tasnya.
Mendengar perkataan temannya itu membuat Echa yang sedang minum tersedak.
"Lo udah nikah? Kapan?" tanya Echa dengan beruntun.
Karena setahunya Laluna itu tidak dekat dengan pria manapun. Dan mendengar jika wanita itu sudah memiliki anak membuatnya kaget bukan main. Seorang Laluna yang selalu mengikrarkan jika dirinya tidak akan menikah memiliki anak.
Sungguh keajaiban.
"Bukan anak gue, anak laki gue." Kembali ucapan Laluna membuat Echa menggeleng takjub.
"Dah, duluan." Laluna meninggalkan Echa bersama Beca dengan suasana yang canggung.
"Bec-"
"Gue maafin." Beca terlihat menghembuskan nafasnya kasar. Tidak ada gunanya juga dia marah pada temannya yang ada didepannya ini.
"Makasih atas pengertiannya Beca, gue tahu Lo pasti kecewa atas apa yang udah gue lakuin." Echa menundukkan kepalanya sembari memainkan jari tangannya.
"Tuh tau, makannya dari sekarang kalau punya masalah itu cerita sama kita bukannya main kabur begitu." Sungut Beca yang sebenarnya masih kesal tapi bisa diatasi. Beca sendiri mencoba mengerti jika diposisi Echa.
"Iya-iya."
Kali ini Echa memandang Beca dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Apa, Laluna?" todong Beca tepat dengan pikiran Echa membuat wanita itu menganggukkan kepalanya dengan cepat seraya menggeserkan kursinya untuk lebih dekat pada meja.
"Dia dijodohin sama duda dua anak ditinggal mati." Lagi, Echa terperangah mendengar jawaban Beca yang tidak dia duga sama sekali.
"Laluna setuju?" sungguh rasanya aneh mendengar Laluna sudah menikah, meskipun hal itu pasti terjadi kalau sudah takdir.
Beca menghela nafas, kembali melipat tangannya diatas meja, "Udah nolak puluhan kali, tapi Lo sendiri juga tau kan gimana watak orangtuanya yang ngga beda jauh sama orangtua Lo, bahkan Laluna sampai diancam sama mereka buat nerima perjodohan itu, ya karena terus-terusan tertekan dari berbagai pihak di keluarganya akhirnya Laluna terima dan udah jalan setahun pernikahannya." Jelas Beca dengan panjang lebar membuat Echa menganggukkan kepalanya mengerti.
"Anak-anaknya masih kecil?" Echa kembali bertanya.
"Satu SMP dan satu lagi masih tiga tahun." Ujar Beca dengan tenang. Setahun yang lalu pun reaksi Beca sama seperti Echa, tapi dia lebih parah lagi karena Laluna kala itu datang dan langsung menangis histeris didepannya.
Waw, sungguh berita yang membuat Echa takjub.
Seorang Laluna yang paling menghindari anak kecil kini telah memiliki anak dua. Satu masa puber dan satu lagi toddler. Perpaduan yang begitu menakjubkan.
"Untung aja tuh laki mukanya cakep jadi ketolong meskipun statusnya udah punya dua ekor." Beca memanggil kembali pelayan untuk menambah pesanan.
"Hust, jangan gitu ngomongnya," tegur Echa ketika pelayan datang.
"Mau ngga?" Beca menunjukkan menu sebuah minuman pada Echa yang langsung di angguki.
...••••...