Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 - Bercinta atau Mati?
“Tidak mungkin!” Tuan Minos berteriak, tubuhnya beringsut dari kursi.
Pria itu menyangkal apa yang baru saja ditampilkan oleh bola sihir di tangannya. Selama hampir satu jam memandangi tanpa jemu, menunggu kejadian berulang yang tak pernah meleset dari dugaan, tapi untuk pertama kalinya tebakan Tuan Minos meleset total.
Seharusnya Naina yang sudah masuk dan menyusuri hutan yang dinamai ‘hutan kematian’ sudah diganggu oleh penunggu jahil dan binatang buas yang siap menyergap kapan saja. Tapi justru Naina malah dipandu oleh boneka jerami bernyawa yang sering ditaruh di perkebunan.
“Mana bisa dia dibantu oleh si bodoh itu?! Bukankah selama ini wanita yang kukirimkan ke sana tidak pernah dipedulikan oleh apapun dan siapapun?” Tuan Minos geleng-geleng kepala, tidak mengerti.
Sang gagak yang masih setia hinggap di bahu Tuan Minos pun ikut menatap bingung. Tapi sesaat ia merasa diberi petunjuk dan jawaban.
“Tuan, bukankah kau menunggu hal ini terjadi sejak ribuan tahun lalu? Siapa tahu memang gadis itu adalah orang yang kau cari selama ini?”
Tapi Tuan Minos segera membantah melalui gelengan tegas. “Aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Tapi hal baru ini tidak bisa aku terima dengan mudah. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi dibalik semua ini.”
“Kita lihat sisi positifnya saja dulu, Tuan. Sisanya kita pasrahkan. Toh, jika memang kali ini gagal lagi, masih banyak wanita di muka bumi ini yang akan datang dan diseleksi olehmu, Tuan.” Gagak berupaya untuk menenangkan Tuan Minos yang masih syok.
“Tidak!” Tuan Minos membantah kembali, tubuhnya yang mendadak lesu langsung ia jatuhkan pada kursi. Bersandar dengan kepala yang menengadah.
“Aku akan benar-benar menyerah setelah ini,” sambung Tuan Minos, mata indahnya yang berkelip terpejam sejenak. Hembusan napas berat keluar dari mulutnya yang terus mengeluarkan darah bercampur nanah, merembes hingga mengenai leher dan pakaiannya.
“Tuan?” Tora, gagak yang pandai bicara itu terlihat sedih. Tidak ingin Tuannya berkata demikian.
“Aku hanya perlu pasrah menerima takdirku yang seperti ini. Menimbun impian yang sampai kapanpun tidak akan pernah terwujud. Berhenti merenda harapan yang tak kunjung usai.” Tampaknya Tuan Minos benar-benar putus asa.
Tora mengepak-ngepak, tidak terbang, hanya loncat-loncat di atas bahu Minos. Mencoba menarik perhatian Tuannya, ingin memberitahu sesuatu.
“Tuan, buka matamu cepat!”
“Lihat apa yang dilakukan gadis itu!”
Menarik punggung dari sandaran kursi, Tuan Minos duduk dengan benar. Mengangkat tangan kirinya yang mengambangkan bola sihir, terang sinarnya membuat luka-luka di wajah pria itu tampak mengkilat.
“Belum ada satu jam dia pergi, dan sekarang dia sudah hampir sampai di lereng perbukitan? Ini benar-benar tidak masuk akal! Lihat, dia bahkan mengajak para binatang berbicara. Sebenarnya siapa gadis ini?” Kedua alis Tuan Minos menyatu, menggerung pelan.
Tora mengerjap-ngerjap, semburat sinar biru layaknya sebuah hologram terpancar dari kedua matanya. Menampilkan data-data yang ia peroleh tentang gadis itu.
“Dilihat dari informasi yang kudapatkan, dia hanyalah gadis biasa, Tuan,” terang Tora, menggulir data transparan dari sinar yang terpancar dari matanya.
“Gadis biasa seperti apa?” Tuan Minos bertanya tanpa melirik pada data-data informasi yang ditunjukkan oleh gagak tersebut, sibuk mengamati gelagat Naina dari bola sihir agar tidak terlewat sedikitpun.
“Dia gadis biasa yang hidup dalam keluarga sederhana. Dia ikut bersama ibu tirinya setelah ayah kandungnya meninggal dunia saat dia berumur sepuluh tahun. Tujuh tahun hidup bersama ibu tirinya dan dua saudara tirinya, Naina diperlakukan tidak baik. Layaknya seorang pelayan, dia melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga tanpa dibayar sepeser pun.”
Informasi yang diberikannya didukung oleh rekaman kehidupan sehari-hari Naina, Tora mendapatkannya ketika ia diam-diam menyelinap untuk mengintip. Terpampang jelas bagaimana Naina diperlakukan oleh mereka, dengan keji dan tidak manusiawi.
Tuan Minos melirik sekilas, menonton karena penasaran. “Pantas dia langsung menawarkan diri untuk menjadi tukang bersih-bersih dan memasak di sini.”
“Em, siapa nama gadis itu?” Tuan Minos mendadak lupa, matanya tertutup sesaat untuk mengingat-ngingat.
“Naina, Tuan. Nama lengkapnya Naina Laima.”
Kepala Tuan Minos angguk-angguk. Kembali fokus mengamati perjalanan Naina dibalik bola sihir.
Lenggang sesaat. Hanya ada suara dari bola sihir yang mempertontonkan kejadian, meningkahi suara gemerutuk api yang setia membakar kayu bertumpuk di dalam tungku.
“Aku merasa kasihan pada gadis itu,” celetuk Tora tanpa sadar, kepalanya sedikit banyak menyimpan ingatan-ingatan tentang wanita yang pernah menjadi istri Tuan Minos, dan entah mengapa ia sedikit terbawa suasana dengan kehidupan Naina.
“Apa yang perlu dikasihani?” Tuan Minos mendesis, merasa bahwa dirinya-lah yang patut dikasihani di sini.
Atas takdir memuakkan yang menimpanya, mengapa gagak itu malah bersimpati pada orang lain?
Tora langsung tertawa kikuk. Sayapnya mengusap kepala rikuh, tahu bahwa perihal ‘kasihan’ dan ‘mengasihani’ adalah persoalan paling sensitif dalam kehidupan Tuannya tersebut.
“Bagaimana, ya...” Tora sedang menyusun kalimat yang pas dalam kepala. “Bukan apa-apa. Tapi aku hanya kasihan gadis itu tidak pernah tahu dunia luar. Dia bagaikan katak dalam tempurung. Selama hidup, dia hanya berkutat pada pekerjaan rumah. Dia tidak dibiarkan tahu dunia luar itu seperti apa.”
“Dibiarkan terkurung dan tersiksa sendirian. Bahkan dia tidak pernah tahu bahwa di zaman ini sihir mulai diakui keberadaannya. Pemikiran gadis itu terlalu kolot. Hanya berkiblat pada buku-buku kuno yang tak berlaku lagi di zaman ini,” tambah Tora menjabarkan.
Tuan Minos lantas menarik kedua sudut bibirnya untuk tertawa sumbang, merasa apa yang dijalani gadis itu tidak sebanding dengan apa yang sudah dilaluinya selama ini.
“Tuan, bukan bermaksud aku ingin membandingkan. Tapi—”
“Diam!” Kedua mata Tuan Minos menyipit, tangan kirinya ia dekatkan pada wajah. Melihat bola sihir dari dekat. Ia baru menyadari bahwa Naina sudah sampai di lereng perbukitan.
Senyap. Pandangan mereka hanya tertuju pada gerak-gerik gadis itu. Dan Tuan Minos semakin tidak percaya pada apa yang dilihatnya.
“Ini gila! Benar-benar gila!” Sebelah tangannya yang menganggur meremat dada, merasakan dentuman yang luar biasa dari salam sana.
“Dia berhasil mendapatkan mawar biru itu, Tuan.” Tora memperjelas apa yang dilihat. “... Dia perempuan kedua yang bisa membawakan mawar cantik itu untukmu.”
“Belum!” bantah Tuan Minos penuh penekanan, “Jika mawar itu belum sampai di tanganku, dia belum bisa dikatakan berhasil. Bisa saja di perjalanan pulang nanti dia mendapatkan celaka yang mengakibatkan mawar itu hilang atau nyawanya sendiri yang hilang.”
“Dan juga, kenapa para hewan bodoh dan aneh itu yang menemani? Kemana perginya hewan buas yang selalu tak tahan dengan aroma manusia? Aku kira aku akan melihat pemandangan kulit yang tercabik-cabik malam ini,” dumel Tuan Minos yang masih belum menyangka pemandangan macam itu yang ia tonton malam ini.
Tora memilih diam. Tidak mau memancing-mancing, biar saja Tuannya itu menafsirkan apapun sesuka hati. Biar saja Tuannya tersebut menyangkal jawaban-jawaban yang sudah jelas membawa petunjuk.
***
“Bagaimana caranya aku berterima kasih pada kalian?” Naina mengusap peluh, menatap satu per satu para binatang-binatang rombongan yang mengantar dirinya untuk sampai ke bukit.
Kuda putih bersayap, kelinci putih sebesar kangguru, kura-kura bercangkang putih besar, dan burung kakak tua putih dengan jambulnya yang menawan. Jangan lupakan boneka jerami yang berjalan melompat-lompat paling pertama menemani Naina.
“Itu sudah tugas kami.” Kuda putih bersayap yang menjawab, mendapat anggukan dari binatang lain.
“Kami sudah menunggumu sejak lama. Kami merindukanmu. Dan kami selalu menatap bulan purnama biru, menunggu kedatanganmu kembali. Dan tepat di malam ini, akhirnya kami bisa melihatmu lagi, meski dalam wujud yang berbeda.” Kali ini sang kakak tua putih yang bicara.
Sedang Naina hanya melongo, ekspresinya kebingungan. Tidak tahu apa yang sedang dibicarakan mereka, dipikirkan berapa kalipun otaknya tidak bekerja.
“Menunggu kedatanganku kembali? Wujud yang berbeda? Apa maksud dari semua itu?”
***
Diantar pulang oleh kuda putih bersayap, Naina tidak perlu lagi berjalan jauh dan berakhir ngos-ngosan. Tentunya dia berhasil kembali sebelum matahari terbit, bahkan saat ini langit masih menggulita, masih jauh menjumpai pagi.
Dan di sepanjang perjalanan, Naina bergulat dengan pikirannya sendiri. Teringat dengan perkataan si gagak yang menakut-nakuti bahwa para wanita sebelumnya tidak ada yang berhasil pulang dalam selamat dan keadaan utuh, bahkan tidak bisa membawa bunga mawar biru yang diminta.
Tapi kenapa dirinya begitu mudah? Peta yang diberikan untuk petunjuk jalan, dan beberapa senjata dan serbuk ajaib yang diberikan gagak untuk berjaga-jaga di perjalanan tidak terpakai sama sekali.
“Tidak ada kalimat yang bisa kukatakan selain ucapan selamat karena telah berhasil kembali dan membawa mawar itu.” Tuan Minos menerima mawar tersebut dan sudah memasukkannya ke dalam vas bunga yang tertutup tanpa membiarkan ada udara yang masuk.
Naina berdiri dengan perasaan sedikit lebih tenang. Tapi masih merinding setiap kali matanya menatap wajah mengerikan Tuan Minos, dan juga ia merindukan udara segar di luar sana. Bau busuk yang membuat perutnya terkuras di dalam sana benar-benar menusuk.
“Tapi ini saja masih tidak cukup membuktikan apakah kamu bisa tetap tinggal di sini atau tidak,” ujar Tuan Minos kemudian.
Ketenangan Naina tidak berlangsung lama. Rasa takut kembali menyergap tubuh dan pikirannya, mulai menerka apa lagi yang akan diminta pria itu.
Karena sulit mengontrol ketakutannya, Naina langsung menundukkan kepala. Meremat gaun lusuhnya kuat-kuat. Memohon sebelum pria itu memberikan ancaman. “Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas pakaianmu di sini. Di depanku!”
Saat perintah itu terlontar dan menelisik ke dalam telinga, Naina langsung melotot. Kaget bukan main. Dengan cepat kepalanya pun terangkat, menatap pria di depannya untuk meminta penjelasan.
“Maaf, Tuan?” Naina masih belum mencerna dengan baik perintah yang ia terima barusan.
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?” Tuan Minos menarik muka masam, tidak suka dengan ekspresi yang dibuat gadis itu.
Ditambah Naina masih bergeming di tempat. Belum memberi respon apa-apa selain menunjukkan wajah polos yang mengundang degupan amarah dalam diri Tuan Minos. Merasa harga dirinya direndahkan oleh gadis tersebut.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri nyawamu sendiri dengan tangan di pedangku?” Tangan Tuan Minos meraba-raba meja di belakangnya, menarik benda panjang yang lancip, mengkilap terkena cahaya dari kobaran api.
***