Zoe Aldenia, seorang siswi berprestasi dan populer dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba terjebak ke dalam sebuah novel romantis yang sedang populer. Dalam novel ini, Zoe menemukan dirinya menjadi peran antagonis dengan nama yang sama, yaitu Zoe Aldenia, seorang putri palsu yang tidak tahu diri dan sering mencelakai protagonis wanita yang lemah lembut, sang putri asli.
Dalam cerita asli, Zoe adalah seorang gadis yang dibesarkan dalam kemewahan oleh keluarga kaya, tetapi ternyata bukan anak kandung mereka. Zoe asli sering melakukan tindakan jahat dan kejam terhadap putri asli, membuat hidupnya menjadi menderita.
Karena tak ingin berakhir tragis, Zoe memilih mengubah alur ceritanya dan mencari orang tua kandungnya.
Yuk simak kisahnya!
Yang gak suka silahkan skip! Dosa ditanggung masing-masing, yang kasih rate buruk 👊👊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Menampakkan Sifat Asli
Alicia kini telah diobati dan kini duduk bersandar di atas ranjang UKS, selimut tipis menutupi tubuhnya. Di sisi kanan dan kirinya, dua sahabat setianya Rina dan Amelia atau bisa disebut dayang-dayangnya yang menemani dengan wajah penuh kekesalan.
“Gue yakin banget,” gumam Rina sambil menyilangkan tangan di dada. “Abis ini si Zoe pasti dikeluarin dari sekolah. Biarin aja mampus. Emang dasar pembully.”
“Iya, nama baiknya udah hancur. Siapa suruh main kasar sama lo, Cia. Dia benar-benar antagonis sejati,” timpal Amelia.
Alicia menunduk, bibirnya bergerak ragu. “Tapi kasihan juga Kak Zoe kalau sampai dihukum,” ucapnya pelan.
Rina dan Amelia langsung mendengus bersamaan.
“Kamu tuh terlalu baik, Cia,” ujar Rina tak sabar. “Gak semua orang pantas dikasihani.”
Alicia hanya tersenyum lemah, entah mengiyakan atau sekadar menghindari perdebatan.
Tak lama, pintu UKS terbuka. Levi, Arya, Arvan, Dwiki, dan Jayden masuk dengan wajah datar. Rina dan Amelia langsung berdiri dari kursi mereka.
“Gimana?” tanya Amelia antusias. “Zoe dikeluarin dari sekolah, kan?” tanyanya dengan nada tidak sabar.
Kelima cowok itu terdiam. Tak ada yang langsung menjawab. Lalu, satu per satu mereka menggeleng pelan.
“Apa?!” Rina berseru, ekspresi tak percaya jelas tergambar di wajahnya. “Kok bisa?!”
“Zoe gak dihukum juga?” tanya Amelia dengan suara meninggi.
Levi menghela napas dan menjawab tenang, “Karena bukan dia pelakunya.”
“Gak mungkin!” bantah Rina cepat. “Biasanya juga dia penyebabnya. Pasti ada peran dia!”
Jayden memutar bola matanya, lalu bersandar di dinding sambil menyilangkan tangan. “Tapi kali ini emang bukan dia. Pelakunya itu Melisa dan gengnya. Bener, kan, Cia?”
Tatapan semua orang langsung tertuju ke Alicia. Pasalnya, Alicia tidak berkata apa-apa soal siapa membullynya.
Alicia terlihat kaku, bibirnya bergerak pelan. Setelah beberapa detik, ia mengangguk lemah. “Iya … waktu di toilet tadi Melisa dan teman-temannya yang ... yang ngebully aku .…”
Ruangan itu mendadak sunyi setelah mendengar ucapan Alicia. Rina dan Amelia menatap Alicia, terkejut dan bingung.
Alicia menatap Jayden. “Jadi … Kak Zoe beneran gak dihukum?”
Jayden menjawab santai, “Ngapain dihukum kalau emang dia gak salah?”
Alicia terdiam sesaat, lalu berkata dengan suara polos, “Tapi biasanya … Kak Zoe kerja sama sama Melisa buat nyakitin aku … gak mungkin bukan, gak ada andil Zoe di dalamnya secara mereka itu ... berteman baik.”
Jayden langsung mengerutkan kening. “Kok lo ngotot banget sih nyalahin Zoe?” tanyanya, nada suaranya mulai terdengar tajam. “Udah jelas-jelas sekarang bukan dia pelakunya. Itu udah jatohnya fitnah lho, emang lo punya bukti?”
Alicia terlihat gelagapan. Bayangan tentang citranya sebagai gadis baik dan pemaaf yang selama ini dijaga nyaris saja retak. Ia buru-buru membuka mulut untuk menjelaskan, tapi sebelum sempat bicara, Arya dan Arvan sudah bersuara.
"A–ku—"
“Udah ah, Jayden. Lo kenapa sih jadi ngebelain Zoe?” tanya Arya dengan nada tak suka.
Bayangan saat mereka meminta maaf dengan sujud tadi masih membekas di ingatan mereka. Belum lagi, mereka diskors selama tiga hari karena telah menuduh Zoe.
“Iya,” timpal Arvan. “Lo dari tadi kaya pembela pribadi dia.”
Jayden hanya mengangkat bahu, ekspresinya santai. “Gue gak belain siapa-siapa. Gue cuma bilang, kita lihat dari sudut pandang lain. Gak semua hal harus nyalahin satu orang terus-terusan. Apalagi beberapa minggu ini, gue lihat Zoe emang bener-bener berubah.”
Ia melirik ke arah Alicia. Tatapannya tenang, tapi dalam menggambarkan keraguan yang mulai tumbuh terhadap gadis yang selama ini dianggap ‘korban sempurna’.
***
Suara deru mesin mobil terdengar menggema di antara tebing dan pepohonan yang padat. Di jalan sempit yang meliuk tajam, dua mobil melaju kencang satu mobil Jeep Rubicon yang dikendarai Dante, satu lagi sedan hitam yang dikemudikan oleh seorang pria berjas putih. Wajah pria itu pucat, tangan gemetar di setir. Namun, matanya tajam. Terlatih.
“Jangan sampai dia lepas lagi!” desis pria itu pada rekan di sampingnya, yang sedang sibuk memuat senapan pendek.
Sementara itu, di belakang, Dante menekan gas lebih dalam. Jarinya terhubung ke earphone bluetooth kecil di telinga.
“Status?” tanyanya cepat.
Suara tenang namun tegas menjawab dari saluran, “Kami sudah dalam posisi. Jika dia belok ke jalur bawah, kami akan potong.”
“Jangan sampai dia lolos. Pria harus ditangkap hidup-hidup. Kita harus mendapatkan informasi dari dokter palsu itu,” gumam Dante, matanya fokus menatap kaca depan.
Tiba-tiba, dari sedan hitam itu, kaca jendela diturunkan. Tangan seseorang menyodorkan senjata otomatis dan menembakkan peluru ke arah mobil Dante.
Dor!
Dor!
Peluru menghantam kap mobil Dante, memercikkan api. Namun ia tetap tenang, memutar setir ke kiri untuk menghindar dan membalas dengan pistol yang ia tarik dari sabuknya. Ia membuka jendela dan menembak cepat ke arah ban belakang sedan hitam itu.
Dor!
Dor!
Tapi mobil target itu bergerak lincah, seolah dikemudikan oleh mantan militer.
“Brengsek! Siapa pun orang ini, dia bukan orang biasa,” gumam Dante.
Sedan itu menikung tajam, masuk ke jalur sempit menurun dengan kecepatan tinggi.
Dante menggertakkan gigi. “Gila. Orang ini tahu betul cara kabur.”
Namun, beberapa detik kemudian, sesuatu terjadi.
“Rem-nya! Rem-nya gak berfungsi!” teriak pria di dalam sedan panik.
“Rem blong!” pekik sopir, memutar setir panik, tapi tak ada hasil. Mobil meluncur liar, semakin cepat menuju tikungan tajam di ujung jalan berbatu.
“Pegangan!” teriaknya.
Namun sudah terlambat.
Sedan hitam itu menerobos pembatas jalan, lalu meluncur bebas ke bawah jurang curam. Terdengar dentuman logam menghantam bebatuan, diikuti ledakan kecil dari bawah.
Boom!
Duarr!
Dante menginjak rem, mobilnya berhenti beberapa meter dari tikungan maut. Ia turun dengan cepat, menghampiri tepi jurang. Asap mengepul di bawah sana.
“Perset*n!” Dante mendesis, menendang kerikil di depannya. “Mereka mati. Dan kita tidak dapat informasi apapun.”
Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian serba hitam, anggota assassin yang dikirim Ryder mendekat sambil berkomunikasi lewat radio kecil.
“Tidak ada yang selamat. Mobil meledak total.”
Dante menyandarkan diri ke pintu mobilnya, wajahnya kesal. “Tuan Muda bakal ngamuk.”
“Perlu kami teruskan penyelidikan? Mungkin ada petunjuk?” tanya anak buah itu.
Dante mengangguk pelan. “Lacak semua akses daro mobil atau ponsel pria itu. Siapa pun yang terlibat, siapa pun yang bayar si dokter palsu itu. Aku gak peduli kalau harus ngacak-ngacak mayat mereka itu, kita harus dapatkan sesuatu.”
“Siap.”
Dante kembali menatap jurang yang kini hanya meninggalkan asap dan bau logam terbakar.
“Bodoh,” gumamnya. “Kau bisa kabur dari aku, tapi gak bisa kabur dari takdir.”
musuh zoe nambah lagi