Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Rahasia Peninggalan Kakek
Setelah panjang lebar berbincang dengan Fransiskus dan para pekerja di rumah tersebut, Sagara akhirnya tiba di sebuah kamar mewah yang telah disiapkan untuknya. Fransiskus dengan hormat membukakan pintu kamar itu, memperlihatkan sebuah ruangan yang terasa sangat besar dan mewah bagi Sagara. Perabotan di dalamnya berlapis kain yang lembut, dan lantai kayu yang berkilauan membuat langkah kaki Sagara terdengar halus.
"Ini kamar yang dulu digunakan oleh kakek Anda, Tuan Sagara," kata Fransiskus sambil memberi isyarat agar Sagara masuk.
Sagara mengangguk pelan, menatap sekeliling ruangan. "Terima kasih, Pak Fransiskus. Kamar ini sungguh luar biasa."
Fransiskus tersenyum tipis. "Saya harap Anda merasa nyaman di sini, Tuan. Jika ada yang Anda butuhkan, jangan ragu untuk memanggil kami."
Sagara hanya mengangguk lagi, masih terpesona dengan ruangan itu. Setelah Fransiskus meninggalkan kamar, dia melemparkan tubuhnya ke ranjang besar yang terasa empuk dan nyaman. Namun, matanya terus menelusuri setiap sudut kamar itu.
"Aneh," gumam Sagara pada dirinya sendiri.
Sagara memerhatikan bahwa tidak ada satu pun foto yang memajang wajah sang kakek di kamar tersebut. Sagara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar untuk mengelilingi sekitar kamar. Setiap sudut, setiap dinding yang dia lewati hanya dipenuhi oleh lukisan-lukisan pemandangan atau seni abstrak, tetapi tidak ada foto kakeknya.
"Kenapa gak ada fotonya sama sekali?" pikir Sagara. Sejak pertama kali masuk ke rumah ini, dia belum melihat satu pun gambar wajah kakeknya, padahal biasanya orang kaya suka memajang foto keluarga di seluruh rumah mereka. Keanehan ini membuatnya merasa semakin gelisah dan terheran-heran.
Dia kemudian kembali masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang, mencoba untuk beristirahat. Namun, rasa penasaran tentang sosok kakeknya terus mengusik pikirannya, membuatnya sulit untuk terlelap. Pikirannya berkecamuk dengan berbagai spekulasi, namun kelelahan akhirnya menundukkan dirinya ke dalam tidur yang berat.
Malam pun mulai larut, dan Sagara akhirnya tertidur pulas. Namun, dalam tidurnya yang dalam, dia terganggu oleh suara lembut yang memanggil namanya.
"Tuan Sagara... Tuan Sagara...."
Sagara terbangun dengan mata setengah terbuka, masih terhuyung-huyung antara sadar dan mimpi. Di ambang pintu kamar, berdiri Fransiskus, menatapnya dengan sorot mata yang penuh arti.
"Pak Fransiskus? Kenapa ada di sini?" tanya Sagara, suaranya masih parau karena baru bangun tidur. Dia menggosok matanya, berusaha untuk lebih fokus.
Fransiskus melangkah lebih dekat, masih dengan senyum ramahnya. "Maaf jika saya mengganggu tidur Anda, Tuan. Tapi ada sesuatu yang ingin saya ceritakan. Ini berkaitan dengan masa lalu saya dan juga tentang kakek Anda."
Sagara merasa semakin bingung, tetapi rasa penasaran mengalahkan kantuknya. "Oke, kalau gitu, cerita aja, Pak. Ada apa sebenarnya?"
Fransiskus duduk di kursi dekat ranjang, wajahnya tampak serius. "Saya ingin Anda tahu bahwa saya bukanlah siapa yang Anda kira. Saya... saya bukan hanya seorang pelayan biasa."
Sagara menegakkan duduknya, kini benar-benar terjaga. "Maksudnya apa? Emang siapa, Pak?"
Sagara bertanya-tanya, mungkinkah Fransiskus yang kharismatik ini sebenarnya seorang yang narsis? Apa dia datang malam-malam mengganggu tidur Sagara hanya untuk pamer kalau dirinya adalah orang yang kompeten?
Fransiskus menarik napas dalam sebelum mulai berbicara. "Saya bukan berasal dari dunia ini, Tuan Sagara."
Sagara mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Dunia lain? Maksudnya, gimana?"
Fransiskus menatap Sagara dengan tenang, seakan sudah siap menghadapi reaksi seperti ini. "Saya dulu tinggal di sebuah desa yang jauh dari sini, di dunia yang berbeda dari dunia yang kita tinggali sekarang. Desa itu diserang oleh kawanan bandit, dan hampir semua penduduknya dibantai. Saat itu saya hanya seorang anak kecil yang tak berdaya. Saya adalah salah satu dari sedikit yang berhasil bertahan, berkat bantuan kakek Anda, Tuan Miles."
Sagara menatap Fransiskus dengan mata membesar. "Jadi, kakek saya yang menyelamatkan Pak Fransiskus? Di dunia lain? Saya masih ga ngerti Pak. Terus gimana caranya Bapak bisa ada di sini?"
Fransiskus memperlihatkan tangannya yang penuh dengan bekas luka yang tampak tua dan dalam. "Luka-luka ini adalah pengingat bahwa saya berhutang nyawa kepada Tuan Miles. Setelah menyelamatkan saya, dia membawa saya ke dunia ini dan memberikan saya kehidupan baru. Dia melatih saya, memberikan pendidikan, dan akhirnya menjadikan saya bawahan kepercayaannya."
Sagara masih berusaha mencerna semua informasi ini. "Tunggu, saya masih tidak mengerti, apa cerita itu benar-benar sungguhan? Bapak datang dari dunia lain?"
"Benar, Tuan."
"Jadi begitu." Sagara menatap kosong ke arah Fransiskus.
Sagara mencoba mencerna informasi yang baru saja didapatnya dari pria di hadapannya yang baru saja mengaku sebagai makhluk dari dunia lain. Sagara mencoba untuk percaya, tapi akal sehatnya seakan menolak untuk menerimanya.
"Sekarang kakek saya telah wafat, jadi mengapa Pak Fransiskus masih berada di dunia ini? Mungkinkah Bapak tidak bisa kembali ke dunia lain tempat asal Bapak berada?"
Fransiskus menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab. "Karena saya membuat perjanjian dengan Tuan Miles. Perjanjian yang mengikat saya untuk selalu setia dan melindunginya, serta keluarganya. Perjanjian itu lebih dari sekedar kesepakatan lisan, Tuan Sagara. Itu adalah perjanjian budak, sebuah tanda kesetiaan yang tidak bisa saya langgar."
Sagara merasa merinding mendengar kata budak yang keluar dari mulut pria itu.
"Tunggu, jadi... bapak kayak terikat gitu? Bapak ga bisa ninggalin rumah ini?"
Fransiskus mengangguk pelan. "Lebih tepatnya, sekarang saya memiliki kewajiban untuk mendukung Tuan. Selama rumah ini berdiri dan warisannya dilanjutkan, saya terikat untuk tetap berada di sini dan melayani keluarga Adyatama. Saya akan melayani Anda mulai sekarang."
Sagara menghela napas panjang, merasa berat dengan semua informasi yang baru saja diterimanya. "Oke, saya mengerti Pak. Boleh saya minta waktunya sebentar untuk berpikir? Saya ga tau harus gimana sekarang."
Fransiskus menatap Sagara dengan tatapan penuh pengertian. "Saya mengerti bahwa ini mungkin terlalu banyak untuk dicerna sekaligus, Tuan. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa apa pun keputusan Anda nantinya, saya akan tetap berada di sisi Anda dan mendukung Anda. Hanya saja, saya berharap Anda bisa mempertimbangkan kembali keputusan untuk menjual rumah ini."
Sagara terdiam, merenung sejenak. "Saya benar-benar tidak tau harus bagaimana. Saya akan pikirkan kembali semua ini, tapi saya ga bisa menjanjikan apa-apa sekarang."
Fransiskus mengangguk pelan. "Itu sudah lebih dari cukup, Tuan. Kehadiran Tuan di rumah ini sangat kami nanti-nantikan. Tuan hanya perlu menerima identitas Tuan sekarang sebagai pewaris yang sah dari keluarga ini."
Fransiskus lalu melanjutkan perkataannya, "Sudah saatnya Tuan Sagara mengetahui kebenarannya. Ada sesuatu yang harus Anda lihat. Silakan ikuti saya ke halaman belakang."
Meski masih kebingungan dengan segala informasi yang baru diterimanya, Sagara memutuskan untuk mengikuti Fransiskus. Mereka berdua berjalan keluar kamar dan menuju halaman belakang yang gelap dan sunyi. Di sana, Sagara melihat sebuah rumah tua yang tampak tak terawat, namun dari dalamnya terlihat ada cahaya yang samar-samar memancar.
"Rumah ini, kenapa saya ga liat tadi siang?" tanya Sagara heran.
Fransiskus tersenyum puas, dirinya sendiri merasa senang karena apa yang dia harapkan benar-benar terwujud dari sosok Sagara yang merupakan tuan yang akan dia layani mulai dari sekarang.
"Rumah ini tidak bisa dilihat oleh sembarang orang, Tuan Sagara. Hanya seorang pewaris yang telah ditunjuk dan memenuhi syarat lah yang dapat melihat dan memiliki akses ke tempat ini," jawab Fransiskus sambil membuka pintu rumah tua itu.
"Apa saya benar-benar sudah memenuhi syarat? Tapi saya kan ga punya apa-apa?"
"Syarat yang dimaksudkan bukan sesuatu yang seperti itu, Tuan. Kakek Anda pernah mengatakan sesuatu seperti hanya seorang pewaris yang sudah menerima identitasnya lah yang dapat memenuhi syarat. Dengan munculnya celah dunia ini menandakan bahwa Tuan telah menerima sepenuhnya identitas baru sebagai seorang yang mewarisi kehendak kakek Anda."
Sagara tidak mengerti mengapa Fransiskus sangat yakin bahwa dirinya memenuhi syarat, bahkan sebelum mengajak Sagara pergi ke tempat tersebut. Sagara sejatinya memang telah menerima dirinya sebagai pewaris keluarga Adyatama, akan tetapi hanya sebatas itu. Pada awalnya dia tidak terlalu perduli dengan bagaimana nantinya kelanjutan dari keluarga tersebut. Niatan awalnya datang ke sana hanya ingin melihat-lihat dan mencari untung dari keberadaan rumah tersebut untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, siapa yang menduga kalau ternyata tanpa dirinya sendiri sadari, dia mulai mencemaskan kondisi para pekerja yang sudah lama bekerja dengan kakeknya itu. Dia perduli dengan kondisi mereka. Hanya saja dia tak memiliki kualifikasi untuk memperkerjakan mereka karena kondisinya saat ini.
Sambil terus berjalan, tak terasa keduanya telah sampai di depan bangunan tersebut. Sagara menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai berpacu. Dia meraih gagang pintu dan mendorongnya pelan. Pintu itu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan ruangan di dalamnya yang dipenuhi dengan benda-benda aneh dan bercahaya.
"Silahkan, Tuan Sagara." Seakan bukan sesuatu hal yang baru Fransiskus masuk lebih dahulu dan mempersilahkan Sagara mengikutinya.
Di sudut ruangan Sagara melihat sesuatu hal yang aneh, sebuah retakan bercahaya yang menempel pada sebuah dinding. Seolah-olah ada sesuatu asap yang membuka dan menghubungkannya ke tempat lain. Cahaya itu memancar lembut, tetapi terasa sangatlah kuat.
“Itu....” Sagara tertegun, tidak bisa berkata-kata.
“Itu adalah portal menuju dunia lain.” Fransiskus menjelaskan. “Dunia asal saya, dan dunia yang sering dikunjungi oleh kakek Anda.”
Sagara menatap cahaya itu dengan perasaan campur aduk. Dia sedikit takut, penasaran, dan juga kebingungan.
“Terus, sekarang saya harus bagaimana? Apa Pak Fransiskus ingin mengatakan bahwa saya harus masuk ke dalam sana?”
Fransiskus berdiri di sampingnya, lalu mengangguk seraya menatap ke arah celah cahaya tersebut. “Keputusan ada di tangan Anda, Tuan Sagara. Anda bisa melanjutkan kehendak kakek Anda dan menjelajahi dunia lain ini, atau Anda bisa menolak dan meninggalkan semua ini. Tapi apapun pilihan Anda, itu akan mengubah hidup Anda selamanya.”
Sagara merasa berat dengan pilihan yang dihadapinya. Dia menatap Fransiskus, mencari jawaban yang mungkin bisa membantunya.
“Saya ga tau harus bagaimana. Ini semua terlalu tiba-tiba.”
Fransiskus pun kembali memberikan dorongan yang menenangkan. “Anda tidak perlu memutuskan sekarang. Ambil waktu Anda, Tuan Sagara. Apa pun pilihan Anda, saya akan selalu berada di sini untuk mendukung Anda.”
Sagara mengangguk perlahan, masih terpaku pada cahaya misterius di depannya. Keputusan besar ini tampaknya akan menjadi momen yang menentukan dalam hidupnya, dan dia tahu bahwa apa pun yang dia pilih, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia merasa sedikit ragu, tapi juga penasaran dengan bagaimana bentuk dari dunia lain yang sering kakeknya itu jelajahi. Sagara hanya butuh sedikit dorongan lagi untuk meyakinkan dirinya.
"Menurut Pak Fransiskus, apakah dengan saya pergi ke dalam sana, masalah saya dapat terselesaikan? Apakah dunia lain yang bapak maksudkan berbahaya?" Sagara hanya mencari aman, takut-takut ternyata dengan dirinya pergi ke dunia lain malah akan menambah masalah baru dalam kehidupannya.
"Dunia tempat tinggal saya memang bukanlah dunia yang relatif lebih aman daripada dunia yang ditempati Tuan saat ini. Namun, Tuan harap yakin bahwa saya akan berusaha melindungi Tuan Sagara. Adapun mengenai peluang untuk menyelesaikan masalah finansial yang saat ini Tuan hadapi, saya tidak dapat menjaminnya. Namun, perlu saya beritahukan bahwa kakek Anda sejatinya memiliki pengaruh dan reputasi yang cukup besar dalam menjalankan banyak bisnis di dunia tersebut."
"Benarkah? Mengapa Pak Fransiskus tidak mengatakannya sejak awal? Itu akan mempermudah segalanya!" Sagara mendadak sangat tertarik mendengar keberhasilan sang kakek di dunia tersebut. Mungkin dia dapat menemukan peluang yang sama seperti apa yang pernah dialami oleh kakeknya.
"Baiklah, Pak Fransiskus, apa aku hanya perlu masuk ke dalam celah itu? Bapak yakin celah itu aman, bukan?"
Fransiskus tersenyum kecil. "Tentu, Tuan. Silahkan, Tuan dapat menyeberang dengan nyaman. Saya akan mengikuti ke mana pun Tuan Sagara pergi."