Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan Agnia justru membuat Langit mengalami gangguan mental. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Diam-diam, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan mental Langit.
Lantas, apa jadinya jika Agnia tahu, bahwa Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tiga
Tangis ibu Darsem masih terdengar dari kamar sebelah. Sementara sampai detik ini, Langit masih diam. Gurat emosi di wajah Langit masih terlihat sangat jelas. Hingga Dita bermaksud meredamnya.
“Mas,” ucap Dita sambil meraih sebelah lengan Langit.
Langit masih duduk sila di bibir kasur tanpa ranjang kebersamaan mereka. Langit yang juga bersedekap, berangsur menoleh menatap Dita. “Jalan, yuk? Hidup kita hanya di rumah bahkan kamar! Bisa-bisa kita punya banyak anak, karena hiburan kita cuma bikin anak!”
Awalnya, Dita terperangah, terpesona kepada sang suami yang pemikirannya makin tertata. Namun setelah mendengar kalimat lanjutan sang suami, ia tidak bisa untuk tidak tertawa.
“Ini bibir kalau ngomong, selalu bener!” ucap Dita sambil mencubit gemas bibir suaminya.
“Memangnya kamu siap, punya banyak anak?” balas Langit masih menatap serius Dita.
“Dua cukup lah, Mas. Biar kita juga bisa rutin pacaran,” balas Dita.
Balasan Dita membuat dahi Langit berkerut. “Dua? Minimal empat lah!”
“E—empat? Mas mau menyaingi geng gledeg? Memangnya Mas sanggup, dua bulan sudah pada haji? Coba total pengeluarannya, andai kita punya banyak anak?” ucap Dita.
“D—dua bulan haji sih, lagi apa-apaan?” bingung Langit.
Detik itu juga, senyum di bibir Dita, sirna. “Memangnya Mas enggak tahu gosip sekaligus candaan itu? Booming banget loh, di masanya?”
Langit yang masih menatap Dita, berangsur menggeleng. “Enggak lah ... aku akan bukan langganan akun gosip kayak kamu!”
Meski Langit membalasnya dengan sinis, Dita tetap tertawa. Tawa yang malah membuat suaminya makin gemas kepadanya.
“Katanya mau jalan? Jangan dipepet terus! Ujung-ujungnya bikin anak lagi, enggak jadi jalan deh!” lirih Dita sambil menghindari wajah Langit yang terus menempel paksa ke wajahnya.
“Pakai hijab dan cadarmu. Tadi kamu keluar rumah tanpa cadar apalagi hijab,” ucap Langit serius.
“I—iya, maaf Mas. Tadi kan refleks keluar, jadi aku lupa pakai,” ucap Dita yang langsung bergegas dan melakukan persiapan. Namun lagi-lagi, ia sengaja menggoda suaminya dengan merias wajah, khususnya memoles tebal bibirnya menggunakan lipstik merah.
“Astaghfirullah ... kamu beneran enggak mau jalan-jalan dan cukup bikin anak buat hiburan rumah tangga kita?” ucap Langit sambil melangkah mendekati sang istri.
Di depan lemari pakaian yang dihiasi kaca, Dita buru-buru mengelap bibirnya menggunakan tisu kering yang ia cabut asal dari wadah. Namun, sang suami dengan segera menghapusnya menggunakan bibirnya.
“Mas Langit model bucin gini beneran bikin meleleh. Gimana aku enggak makin rutin iseng, kalau yang diisengin balasnya mencintaiku dengan brutal?” batin Dita. Ia membiarkan sang suami memilih lipstik di wadah kosmetiknya.
“Mas mau pakai juga? Mas bilang, takut dikira mau mangkal?” ucap Dita.
Langit yang awalnya sudah tenang dan kembali serius, refleks menatap Dita penuh minat. “Lama-lama aku gi git beneran bibir kamu, kalau bakatmu ngledek aku!”
“Berarti hati Mas meleyot, ya, di setiap aku usil ke Mas?” balas Dita sengaja menantang mendekati Langit. Kecupan agak memaksa, ia lakukan di bibir Langit yang membalasnya dengan senyum sangat menenangkan. Sementara tangan kiri Langit yang tidak memilih lipstik, berangsur mendekap mesra pinggang Dita.
Dari tatapan Langit yang sangat menenangkan layaknya sekarang, pria itu seolah memiliki banyak cinta yang hanya akan diberikan kepada Dita. Selain itu, jika Langit sudah kalem dan hobi mengikat Dita dengan kelembutan layaknya sekarang, hidup Dita benar-benar damai.
“Kalau enggak di kamar, dan tempat itu bukan hanya ada kita, jangan pernah pakai lipstik warna merah. Pakai yang natural saja kayak gini. Paham?” ucap Langit.
Dita yang ditatap Langit, membalasnya dengan menggeleng serius. “Memangnya kenapa, kalau aku pakai warna merah, selain dua keadaan yang Mas sebutin?”
“Warna merah buat pas kita bikin anak. Karena ujung-ujungnya, aku khilaf dan minta kamu buat ngeladenin aku. Makanya, warna merah hanya boleh kamu pakai, di kedua kemungkinan tadi!” omel Langit.
“Nah, gitu maksudku, Mas. Aku ingin mendengar alasan Mas secara langsung sekaligus gamblang. Bukan hanya yang kode-kode saja! Kalau gini kan, aku makin cinta ke Mas!” sergah Dita sambil tersenyum santai sebagai bagian dari kemenangannya.
Meski sempat salah tingkah karena harga dirinya diombang-ambingkan oleh kejailan sang istri. Pada akhirnya Langit tetap meraup bahkan melakukan apa yang ia ancamkan kepada Dita.
“Alamatnya sariawan ini. Digi git suami mode vampir,” rengek Dita sambil mencubit manja dada kiri suaminya. Untuk pertama kalinya, sang suami membalasnya dengan tersenyum puas.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Dita sudah digandeng Langit keluar dari gang kontrakan. Dita pikir, mereka akan jalan kemudian makan di angkringan sekitar jalan depan. Karena biasanya, makin malam waktunya, makin ramai juga suasananya. Aneka pilihan makanan juga ditawarkan dan setiap pengunjung tinggal pilih sesuai kemauan sekaligus kemampuan.
“Pakai mobil mewah, dan disopirin ... ini Mas Langit mau ajak aku ke restoran mewah?” pikir Dita yang jadi kalem.
Langit yang duduk di sebelah Dita sampai heran. Tak biasanya, istrinya yang nyatanya sangat bar-bar sekaligus agresif, mendadak kalem.
“Kenapa? Ngantuk? Belum juga pukul sembilan,” ucap Langit sengaja mengejek sang istri yang kali ini memakai nuansa lavender untuk penampilannya. “Istriku cantik sekali!” Dalam hatinya, ia tak bisa berhenti memuji sang istri. Sementara kedua matanya juga tidak bisa berbohong. Kedua matanya sibuk memandangi Dita penuh binar.
Sambil menatap Langit penuh kemanjaan, Dita yang sudah kembali bercadar berkata, “Sariawan ....”
Detik itu juga Langit yang paham maksud istrinya, jadi tertawa. Tawa yang buru-buru ia tahan, tapi justru berhasil membuat sang istri tersenyum hangat.
“Bangunin aku kalau kita sudah sampai. Aku memang mengantuk. Si dede lagi manja kayaknya. Makanya minta mamanya buat istirahat,” ucap Dita sambil meraih tangan kiri Langit, kemudian menaruhnya di perutnya.
Menggunakan tangan kirinya yang Dita tahan, Langit berangsur mengelus-elus perut Dita. “Jadi, sejak kapan aku mencintainya? Dia beneran pribadi yang sangat menyenangkan. Mau aku ajak ses*at sekalipun, dis tetap bisa nyambung,” batinnya yang kemudian mendekat, memeluk Dita.
Padahal, mereka duduk di tempat duduk berbeda. Namun, Langit tetap memperlakukan Dita penuh kelembutan.
“Kalau gini caranya, Mas bisa sembuh lebih cepat Mas. Alhamdulliah ya. Alhamdullilah ... bismillahirrahmanirrahim, kita bisa bahagia hingga menua, sampai janah!” batin Dita jadi makin lelap karena perlakuan manis dari suaminya.
ngembleng lah biar langsung sadar tu smc mita.kenyataan jauh dari angan2.wkwkwkwkwkwkwkwk