Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar Yang Ditunggu-tunggu.
Rain merenung sendirian di taman kampus. Ia duduk di bawah pohon sambil menatap lurus ke depan. Sesekali, ia meneguk kopi yang sempat ia beli.
Rain sengaja mengasingkan diri dari teman-temannya. Bukan karena apa. Rain hanya butuh waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya yang akan ia lakukan.
Akhir-akhir ini, Rain merasa sangat naif. Bagaimana tidak? Ia sibuk memikirkan kehidupan orang lain, sementara itu ia lupa dengan dirinya sendiri. Namun, Rain benar-benar tidak bisa diam saja. Rasa tanggung jawab itu masih ada, entah kenapa.
"Rain."
Rain mendongak. Seorang pria tinggi berdiri di sampingnya.
"Ngapain bengong sendiri?" tanya pria itu sambil beralih duduk di samping Rain.
"Lagi pengen aja, kak."
Pria itu mengangguk. "Oh, ya." Kemudian ia meraih tas punggungnya, mengeluarkan sesuatu dari dalam. "Ini, tugas kamu."
Rain sibuk mencari informasi tentang Ghio, sampai ia lupa kalau tugas-tugasnya masih banyak.
Untuk itu, Rain memilih mengerjakan semuanya di kampus. Ia meminta bantuan temannya. Sebagian, ia memilih menjokinya. Tapi, itu khusus untuk tugas non-seni saja. Seperti membuat makalah dan lain-lain sejenisnya, karena Rain tidak sempat mengerjakannya. Tugas lain, seperti melukis, ia lakukan sendiri atau dibantu ketiga teman recehnya.
"Udah siap? Cepat juga, kak," kata Rain.
"Coba cek dulu. Siapa tahu ada yang kurang," kata pria itu. Namanya Willy. Mahasiswa jurusan sastra bahasa Indonesia, kakak tingkat yang membuka jokian. Rain mengenalnya dari kenalannya yang juga satu jurusan dengan Willy.
"Gue cek, ya, kak." Rain membuka labtop berlogo Apple itu.
Sebenarnya Rain sedikit heran. Willy itu memakai barang-barang yang harganya sudah pasti mahal. Bahkan, ke kampus saja ia memakai mobil. Tapi, kenapa ia malah membuka joki tugas? Rain rasa ia tidak kekurangan uang. Tapi, Rain tidak pernah berniat untuk bertanya.
"Udah bisa lah ini, kak. kak Willy langsung kirim sekarang atau gimana?" tanya Rain sambil memberikan labtop pria itu.
"Lo mau sekarang?" tanya Willy.
Rain mengedikkan bahu. "Gak harus sekarang juga, sih."
"Ya udah. Gue kirim sekarang aja," kata Willy dan mulai mengotak-atik labtobnya. Beberapa detik kemudian muncul nontifikasi di ponsel Rain.
"Udah, kan?"
"Udah. Makasih, ya, kak. Mau ditransfer aja atau mau cash?" tanya Rain.
Willy menggeleng sambil tersenyum. "Gak usah. Gue berniat bantu Lo."
Rain menoleh cepat. "Lho? Kok, gitu?"
Willy masih tersenyum. "Gue gak kekurangan duit. Gue emang niat mau bantu. Gue gak tahu Lo sesibuk apa. Emang Lo ngapain? Atau ada masalah? Soalnya gue lihat tadi Lo melamun aja dari tadi," tuturnya panjang.
Rain menggaruk lehernya. "Ada masalah... Ah... Lebih tepatnya pekerjaan, sih. Gue ada kerjaan dikit, kak."
"Sesulit apa sampai Lo ngelamun seperti itu?" tanya Willy lagi.
Rain menggulung bibirnya ke dalam. Rain merasa tidak punya alasan untuk memberitahu Willy.
"Gak. Gue gak mikirin itu, kak. Gue ngelamunin tugas-tugas gue aja," bohong Rain sambil memaksakan senyumnya.
Willy mengangguk. "Namanya juga kuliah. Pasti banyak tugasnya. Oh, ya. Kalau Lo mau, gue bisa bantu Lo lagi. Siapa tahu, banyak tugas yang gak bisa Lo kerjain, boleh bilang ke gue," ujar Willy.
Rain tersenyum sopan. "Makasih, kak. lagian ini aja udah di bantu. Boleh sih di bantu, tapi gue bayar, ya! Gak enak soalnya."
Willy tertawa. "Gak masalah, sih. Malahan gue senang bisa membantu."
"Emang Lo gak ada tugas, ya, kak?"
"Ada, sih. Tapi, gampang lah itu."
Rain mengangguk. Ya, dia tahu maksudnya. Maklum, orang punya otak encer dan didukung finansial yang cukup memang serba gampang. Lalu, untuk apa dia membuka jokian? Apa hanya untuk membantu? Aneh kalau memang hanya untuk itu.
"Oh, ya. Sekali lagi, makasih buat bantuannya, kak Willy," Kata Rain. "Kayaknya, gue mau langsung balik."
Willy mengangguk. "Mau balik ke kelas atau rumah?"
"Pulang ke rumah. Kebetulan kelas gue udah siap tadi, kak." Rain berdiri.
"Pulang sendiri?" tanya Willy. Ia ikut berdiri.
Rain mengangguk. "Iya, kak. Kalau gitu gue duluan, kak." Rain pamit seraya melambaikan tangan sekilas.
"Pulang naik apa, Rain?"
Rain membalikkan tubuhnya yang sudah sempat membelakangi Willy. "Gue naik motor, kak. Kenapa?"
Willy tersenyum. "Gak pa-pa. Ya udah. Hati-hati, ya," ujar Willy sambil melambaikan tangannya.
Rain tersenyum sopan, lalu meninggalkan Willy.
Willy menatap Rain dari jauh. Ia menggigit bibirnya sambil menggaruk kepala. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Lalu, ia berjalan bertolak arah dengan Rain.
Sementara itu, sebelum pulang, Rain pamit terlebih dulu kepada ketiga temannya. Ketiga temannya sibuk beradu mulut di depan gedung jurusan. Entah apa yang diperdebatkan mereka, Rain tidak peduli. Rain sudah biasa melihat pemandangan seperti itu. Mau bagaimana lagi, ia dianugerahi teman spek seperti itu.
Lalu, ia segera tancap gas meninggalkan kampus. Tujuan Rain adalah kontrakannya. Ghio pasti belum makan siang. Ya, kadang hantu pria itu hanya makan satu kali sehari atau dua kali sehari.
Beberapa menit di perjalanan, akhirnya Rain sampai di depan kompleknya.
Rain turun dari motor untuk membuka gerbang. Kemudian, Rain kembali ke motornya. Ia menjalankan motornya memasuki pekarangan. Namun, perjalanan itu berhenti ketika Rain mendengar seseorang memanggilnya.
"Nak Rain."
Rain memutar kepalanya ke belakang.
"Aduh... Maaf ya, nak. Saya lupa bukain pintu," kata Pak Surya terlihat merasa bersalah.
Rain tersenyum. "Gak pa-pa, pak. Kalau gitu saya permisi." Rain kembali menjalankan motornya.
"Nak Rain. Sebentar!"
Belum beberapa meter jauhnya, Rain kembali mengerem motornya.
"Kenapa, pak?"
Pak Surya berlari ke arah Rain. "Saya cuma mau bilang kalau Bu Halidah sudah pulang. Nak Rain mau jumpa kapan? Nanti saya bilangin Bu Halidah. Siapa tahu beliau masih sibuk jadi dia bisa atur waktunya."
Rain menatap dengan mata berbinar. Akhirnya, ia punya kesempatan bertemu Bu Halidah. Sudah dua hari lamanya Rain menunggu paru baya itu. Rain senang bukan main. Seakan, point utama ada pada wanita itu.
"Sekarang bisa, pak?" tanya Rain.
"Sekarang? Sebentar ya, nak. Saya telpon ibu dulu," kata Pak Surya dan mengeluarkan ponselnya.
Melihat itu, Rain dengan antusias segera turun dari motornya. Rain mendekatkan diri ke arah pak Surya.
Terdengar nada panggilan dari ponsel pak Surya. Rain menunggu dengan sabar. Hingga beberapa detik kemudian panggilan tersambung.
"Halo, Bu!"
Rain mendekatkan telinganya ke ponsel itu.
"Hari ini ibu sibuk?" tanya pak Surya.
"Ini. Nak Rain mau ketemu ibu." Pak Surya diam sebentar. Lalu ia menatap Rain.
Rain mengangkat alisnya saat ditatap seperti itu.
"Kata ibu, nak Rain mau apa ketemu ibu," kata Pak Surya.
"Bukan Bu. Iya, kan, nak Rain?"
"Apa, pak?" tanya Rain bingung.
"Ibu tanya, Nak Rain mau pindah? Belum juga genap satu bulan."
Rain menggelengkan kepalanya kuat. "Bukan, pak. Saya gak mau bahas itu. Saya mau bahas yang lain."
Pak Surya mengangguk. Lalu menyampaikan kembali ucapan Rain kepada Bu Halidah.
Pak Surya dan Rain diam. Mereka sama-sama mendengar ucapan Bu Halidah. Namun Rain tidak bisa mendengar dengan jelas.
"Iya, Bu... Iya... Waalaikumsalam." Pak Surya mematikan panggilan. Lalu ia menatap Rain. "Kata ibu, nak Rain bisa ke sana sekarang. Kebetulan ibu masih di rumah. Nanti malam gak bisa, beliau ada acara. Maklum lah, nak. Orang kaya memang sesibuk itu," kata pak Surya. Lalu tertawa diakhir ucapannya.
Rain mengangguk semangat. "Makasih, pak Surya. Saya ke sana sekarang. Saya pamit, pak." Rain menyambar tangan pak Surya dan menyalimnya dengan cepat. Ia terlalu bersemangat.
"Eh.. Tangan saya kotor, nak."
Rain tersenyum. Kemudian ia berlari ke motornya, memutar motornya dengan cepat, lalu menyalakannya.
"Saya pamit ya, pak. Makasih sekali lagi." lantas, Rain segera tancap gas.
"Iya. Hati-hati!" Pak Surya yang melihat itu hanya mampu menggelengkan kepala.
Gadis muda itu terlihat sangat bersemangat. Rain lupa tujuannya pulang. Ghio pasti kelaparan di dalam rumah.