Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jelang Ijab Qobul
***
Berhubung besok adalah hari pernikahanku dan Mas Yaksa, hari ini aku memutuskan untuk pergi ke makam Kak Runa. Selain karena ingin berkunjung, aku juga ingin meminta restu darinya. Aku pergi sendirian, aku bahkan juga tidak bilang ke Ibu kalau aku akan kemari. Aku hanya bilang ke beliau kalau ada sesuatu yang perlu aku beli.
Karena acara ijab qobul dilaksanakan besok, maka hari ini rumah kami ramai dengan sanak saudara yang gotong-royong menyiapkan semua keperluan untuk besok. Meski digelar sederhana dan tidak mengundang banyak tamu, tetap saja membutuhkan bantuan dari para tetangga.
"Hai, Kak, assalamualaikum," sapaku sambil mengelus batu nisan. Tentu saja aku melakukan hal ini setelah selesai membacakan surat Yasin dan Al-Fatihah untuk mengiriminya doa.
Tak lama setelahnya kedua mataku terasa perih. Meski sudah 40 hari lewat Kak Runa meninggalkan kami, tetap saja perasaan sesak itu masih ada. Acara 40 harian baru digelar kemarin, dan besok adalah hari pernikahanku dengan Mas Yaksa. Meski kata mereka ini adalah permintaan terakhir Kak Runa, perasaan tidak tega karena harus menikah dengan suami Kak Runa terus menghantuiku. Aku juga merasa sedikit bersalah.
"Kak, meski kemarin tepat 40 harian Kak Runa ninggalin aku, tapi rasanya aku masih kayak nggak percaya kalau Kakak udah ninggalin aku. Selain itu aku lebih nggak percaya kalau besok aku harus menikah dengan Mas Yaksa, suami Kak Runa. Kak, kenapa Kak Runa lakuin ini sih?"
"Kak Runa udah punya semuanya, terus kenapa Kak Runa malah pergi dan ninggalin semua yang Kak Runa punya, lalu dikasih ke aku? Kenapa, Kak? Kenapa?"
Detik berikutnya, aku tidak dapat membendung air mataku, kedua pipiku basah tak lama setelahnya. Aku menangis tersedu-sedu. Menangisi nasibku yang sebentar lagi jadi istri orang dan menangisi nasib kakakku yang pergi begitu saja.
Aku menangis hampir satu jam lebih, aku tersadar saat ada telfon masuk dari Ito. Adik sepupuku.
Cepat-cepat aku mengusap pipiku yang basah. "Ya, halo, assalamualaikum, kenapa, To?"
"Wa'alaikumsalam. Di mana sih, Mbak?"
"Kenapa?" Bukannya menjawab, aku malah balik bertanya.
"Ini dicariin Bude loh, aku disuruh nyari Mbak Ge juga udah keliling komplek sama mini market aku. Tapi nggak nemu-nemu. Di mana sih?"
"Di makam Kak Runa. Iya, bentar lagi aku pulang kok."
"Astagfirullah, Mbak, kalau emang pengen ke makam kan bisa bilang aku. Kenapa malah pergi sendiri dan bikin panik orang rumah deh? Ini Bude mikir kalau Mbak Geya mau kabur dari acara nikahan Mbak sendiri loh."
"Apaan sih, To, meski pun Mbak terpaksa nikah sama Mas Yaksa, aku nggak akan senekat itu."
"Ya aku mana tau isi kepala-mu, Mbak, siapa tahu memang ada pikiran cuma Mbak Geya aja yang nggak berani, makanya nggak kabur."
Aku merasa tertampar dengan kalimat Ito. Apa yang diucapkan pria yang masih duduk di bangku SMA kelas dua itu memang ada benarnya. Aku sebenarnya ingin kabur tapi aku tidak memiliki keberanian untuk kabur.
"Nah, kan, malah diem aja. Berarti kemungkinan aku bener kan? Mbak Geya itu sebenernya pengen kabur tapi karena takut sama Bude makanya nggak kabur?" tebaknya tepat sasaran.
"Kamu bocah mana ngerti sih? Udah lah, Mbak mau nyari ojek dulu buat pulang, Mbak tutup."
"Aku jemput aja ya, tapi aku pinjam motor dulu."
"Enggak usah," tolakku kemudian.
"Enggak papa, Mbak, dari pada nunggu ojek, mending aku jemput."
"Mending Mbak naik ojek dari pada kamu jemput tapi ada potensi kita kena tilang karena kamu yang belum punya SIM."
"Ya udah, kalau begitu deh. Hati-hati, Mbak," ucap Ito sebelum mematikan sambungan telfon. Aku hanya mengangguk dan mengiyakan tak lama setelahnya.
Aku kemudian memasukkan ponselku ke dalam tas lalu berdiri. Aku nyaris terjengkang karena kaget saat membalikkan badan.
Bagaimana tidak, ternyata saat aku membalikkan badan ada Mas Yaksa yang berdiri di belakangku. Tidak terlihat seperti orang yang sedang melamun, justru terlihat seperti orang yang sedang memperhatikanku.
Oke, mungkin pada bagian ini aku saja yang kegeeran.
"Mas Yaksa ngapain di sini?" aku cepat-cepat menggeleng dan meralat pertanyaan bodohku, "Mas Yaksa mau ziarah ke makam Kak Runa juga?"
Di luar dugaan, ternyata Mas Yaksa malah menggeleng saat merespon pertanyaanku. Eh, ke makam istri tapi nggak mau ziarah kubur? Terus mau ngapain coba?
"Terus Mas Yaksa mau ngapain ke sini kalau nggak mau ziarah?"
"Kemarin Mas udah ke sini," jawab Mas Yaksa yang entah kenapa menurutku ini sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku.
"Ya, terus Mas Yaksa ke sini mau ngapain?" aku berpikir sejenak lalu teringat sesuatu, "oh, Mas Yaksa mau minta doa dan restu dari Kak Runa, ya, soalnya besok kita mau nikah?"
Aku merasa aneh. Pipiku juga tiba-tiba terasa memanas saat mengatakan kalau besok kita mau menikah.
"Saya juga sudah minta doa dan restu Aruna kemarin, Geya."
"Lha terus ke sini ngapain? Nyariin aku gitu?"
Oke, sepertinya tekanan menikah besok cukup besar. Buktinya omonganku semakin melantur dan tidak jelas. Eh, aku rasa bukan karena tidak jelas sih, ini mah jelas. Jelas-jelas aku kegeeran.
Astagfirullah, aku pasti sudah tidak waras. Maafkan hamba-Mu ya Allah.
Aku kembali dibuat kaget saat Mas Yaksa menganggukkan kepala saat merespon pertanyaanku tadi. Bahkan kini aku merasa kedua pipiku semakin memanas.
Astagfirullah, memang benar ya kalau berduaan sama yang bukan muhrimnya, orang ketiganya pasti setan. Buktinya pikiranku kacau begini.
"Bercandaan Mas Yaksa beneran nggak lucu."
"Mas serius, tadi Mas nggak sengaja denger kalau katanya kamu pergi dari rumah udah lebih dari 3 jam tapi nggak balik-balik, Mas jadi khawatir terus ikutan nyari."
Ada perasaan haru yang tidak bisa aku sembunyikan. "Terus tadi Mas Yaksa udah nyari aku di mana saja?"
"Langsung ke sini, soalnya Mas tahu kamu pasti ke sini."
Wow, ternyata calon suami aku lumayan sok tahu ya. Untung bener.
"Mending kita pulang sekarang, Mas, anter."
Aku langsung melotot kaget saat mendengar ajakannya. Wah, bisa diamuk Ibu aku nanti kalau ketahuan dianter Mas Yaksa. Apalagi kan besok kami akan menikah, harusnya tidak boleh ketemu dulu.
"Enggak, Mas, mending aku pulang sendirian," tolakku halus.
"Naik apa?"
"Tukan ojek banyak, Mas, gampang."
"Mas anter saja."
"Mas, mending kita cari aman, aku pulang sendiri Mas Yaksa juga pulang. Kita pulang sendiri-sendiri. Gimana?"
"Kenapa? Mas bawa supir kok, nanti kita nggak hanya berduaan doang di mobil, ada Pak Yayan."
"Mas Yaksa mau nanti kita kena omel Ibu?"
Dengan wajah santainya, dan entah kenapa di mataku agak menyebalkan karena aku udah gelisah begini sedangkan dirinya masih tetap santai.
"Enggak papa, aman saya Mas. Soalnya Mas tadi udah telfon Ibu."
Seketika aku langsung memasang wajah melongo. Fix, kalau begini nanti cuma aku yang bakalan kena omel.
To be continue