Ada begitu banyak pertanyaan dalam hidupku, dan pertanyaan terbesarnya adalah tentang cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ahyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode lima
Kami benar benar mengobrol hingga larut malam, membicarakan tentang kehidupan masa lalu antara om Rizal, Wak El, dan juga ibu.
" Oh iya, bukannya tadi om bilang akan menemui ku satu jam lagi? Kenapa terlambat om? Apakah ada masalah di dokumennya?" tanyaku penasaran.
" Bagaimana kau bisa tau? memang benar ada sebuah keributan kecil di depan tadi. Ada tiga orang penumpang berbadan besar yang mendadak naik persis ketika kereta akan jalan, dan mereka tidak memegang tiket kereta. Tentu saja sudah menjadi kewajiban ku untuk memeriksa tiga orang penumpang itu, mereka beralasan kalau tidak sempat membeli tiket dan sedang dalam kondisi gawat darurat, melihat tampang mereka yang memelas, aku akhirnya memperbolehkan mereka naik dengan catatan harus membayar uang tiket setibanya di stasiun nanti." jawab om Rizal
" Dimana tempat mereka duduk saat ini om?" tanyaku penasaran.
" Mereka duduk di gerbong ke dua, duduk berbaris bertiga, aku tidak tau apakah mereka kenal satu sama lain, atau hanya sebuah kebetulan saja." jawab om Rizal.
Instingku kembali bekerja, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Segala sesuatu sudah di tentukan asal muasalnya.
" Apakah kau mau mendengar cerita tentang legenda terowongan darah merah?" tanya om Rizal.
Aku menelan ludah, aku pernah mendengar tentang legenda ini, warga kampung seringkali menceritakannya, hanya saja aku tidak terlalu perduli.
" Atau jangan jangan kau takut? nanti tidak bisa tidur malah terbayang bayang." goda om Rizal sambil tertawa.
" Enak saja, ayo ceritakan om, palingan hanya seperti dongeng dongeng pengantar tidur." tukas ku cepat.
" Baiklah, kau yang memintanya, jangan salahkan aku jika kau nanti tidak bisa tidur." lanjut om Rizal sambil memperbaiki posisi duduknya, bersiap untuk cerita.
Aku melambaikan tangan tidak perduli, ayo ceritakan saja aku tidak takut.
" Alkisah tiga puluh tahun yang lalu, hiduplah sepasang suami istri yang tinggal berdua di samping rel kereta api, rumah mereka hanyalah gubuk sederhana. Sang suami bekerja sebagai petugas lokomotif kereta api, dan sang istri bekerja mengurus ladang mereka yang kecil. Keluarga kecil itu sudah menikah hampir sepuluh tahun lamanya, namun belum juga di karuniai keturunan. Walaupun demikian keluarga mereka adalah keluarga yang bahagia, setiap kali sang suami pulang kerja ia akan menutup mata istrinya yang sedang bekerja di ladang, lalu mengucapkan kata kata romantis. Sang istri akan menyambut suaminya untuk makan malam setelah seharian lelah bekerja. Dua tahun kemudian akhirnya kabar baik itu tiba, setelah penantian selama dua belas tahun lamanya akhirnya sang istri dinyatakan positif hamil, belum ada alat alat USG saat itu, tapi dukun beranak yang memeriksa bisa memastikan bahwa bayi yang sedang di kandung merupakan bayi kembar. Tidak terkira bertapa senangnya keluarga kecil itu. Maka semenjak hari itu sang suami membuat sebuah peraturan baru, sang istri tidak lagi boleh bekerja di ladang, biarlah sang suami yang bekerja ekstra. Maka setiap hari sang suami setelah pulang kerja langsung menuju ladang, baru masuk ke dalam gubuk sederhana mereka setelah matahari mulai tumbang di ufuk barat. Enam bulan berlalu, perut istrinya semakin besar, sang suami memutuskan untuk kerja lebih lama dua bulan terakhir agar tabungannya bisa cukup ketika ia mengambil cuti nanti. namun sayang sungguh sayang, ketika kebahagiaan akan segera lahir, justru kejahatan sedang mengintai dari jauh. sang suami melupakan satu hal bahwa dulu ia pernah meminjam uang di rentenir sebagai modal awalnya membangun rumah dan membuka ladang, pinjaman itu telah jatuh tempo selama sebulan, dan sesuai dengan kesepakatan yang telah di tanda tangani bersama di awal, maka pihak rentenir akan menarik rumah sang suami yang dulu di jadikan jaminan. Hari itu sebelum berangkat kerja sang suami berjanji kepada istrinya bahwa itu adalah hari terakhir ia bekerja hingga larut malam, karena uang tabungannya sudah cukup, setelah ini ia akan mengambil cuti selama lima bulan membantu istrinya untuk membesarkan anak anak mereka. Sang istri tersayang tersenyum, lalu mencium mesra pipi suaminya. Ia amat bersyukur karena di anugerahkan seorang suami yang sangat bertanggung jawab dan sangat mencintainya. ' Apakah kamu sudah mencari kan nama untuk anak kita?' tanya sang suami. ' sudah, aku sudah memikirkan kan nya, dan aku bisa menebak kalau bayi kita sepasang yang' jawab istrinya mesra. Sang suami tersenyum lalu mengangguk, ia tidak pernah meragukan perkataan istrinya. Sang suami berangkat kerja pagi itu, ia berangkat dengan hati yang ikhlas karena mencari nafkah untuk keluarganya. Jam 5 sore kurang lebih, sang istri mengalami kontraksi, bayi bayinya memaksa ingin keluar, padahal usia kehamilan belum genap sembilan bulan, tidak seperti saat ini di mana teknologi komunikasi berkembang pesat, saat itu sang istri tidak bisa memberitahu tetangganya apa lagi suaminya, maka dengan perasaan takut ia terduduk menyaksikan air ketuban bercampur darah yang mulai membasahi sekitarnya. Setengah jam kemudian rentenir beserta anak buahnya datang menuju rumah keluarga kecil itu, melihat pintu rumah yang terkunci itu menandakan bahwa tidak ada orang di rumah, rentenir memerintahkan anak buahnya untuk mulai menuangkan minyak di sekeliling rumah dan kebun keluarga itu, lalu melempar puntung rokoknya, api langsung menyambar dengan hebat, sang rentenir benar benar tidak tau kalau ternyata di dalam rumah ada orang yang sedang berjuang untuk melahirkan. Yang ada di pikiran sang rentenir saat itu adalah dia akan membangun usahanya di atas tanah yang telah di bakar ini. Sang suami pulang terlambat malam itu, benar benar terlambat dalam artian dua hal, dia terlambat karena baru pulang jam tujuh lewat, dan dia juga terlambat mengetahui kalau rumahnya sudah di bakar. Kaki sang suami mendadak lemas seketika ketika melihat bumbungan api yang menyulut tinggi dari arah rumahnya, ketika sang suami berhasil masuk ke dalam rumah, kondisi mengenaskan yang sedang di temuinya. Ia melihat sang istri yang sudah meninggal, berusia berkali kali menggoyangkan bahu istrinya namun percuma karena istrinya sudah meninggal karena kehabisan nafas, di sekitar istrinya ada dua orang bayi yang juga tergeletak bermandikan darah, sang suami berteriak kesetanan, dia benar benar telah melakukan kesalahan besar, seharusnya dia tidak pergi kerja hari ini, seharusnya dia tidak pernah meminjam uang dengan rentenir, namun penyesalan di akhir sudah tidak ada lagi artinya. Sang suami yang sudah gelap mata memutuskan bahwa ia akan menyusul istri dan juga anak anaknya, maka ia berlari menuju terowongan kereta api yang berada di belakang rumahnya, menunggu hampir setengah jam hingga akhirnya kereta lewat dan dia melompat ke arah Kereta." Tutup pak Rizal