Vanadium
Angin malam berhembus pelan memainkan anak rambut di dahi, langit hitam terlihat bersih tanpa awan, bintang gemintang terlihat menggantung di malam di bulan ke sebelas. hari ini adalah hari libur, sekitarku terasa sangat ramai, ramai oleh celoteh anak-anak kecil yang riang berjalan ke sana kemari bersama orang tua mereka, ada juga sepasang pemuda pemudi yang sedang dimabuk asmara, atau ada juga yang hanya datang sendiri menatap keramaian seperti diriku.
Aku mengangkat jariku setelah bosan memainkan air danau di depanku, tempat ini adalah tempat yang penting bagi, pohon akasia tempatku berasal dari ini menjadi saksi bisu betapa pentingnya semua kejadian itu pernah terjadi. aku menatap jam di pergelangan tangan, waktuku hanya tersisa kurang lebih tiga jam lagi
' bukhhh.' entah dari mana asalnya tiba-tiba sebuah bola plastik berwarna merah mengenai bahuku, tidak sakit memang aku hanya terkejut, aku menoleh ke sana kemari mencari siapa pemilik bola ini. tepat di arah jam lima dari tempat dudukku si pelaku sudah terlihat, seorang gadis kecil yang sedang berjalan pelan ke arahku sambil menundukkan kepalanya.
" ehh anuu, itu om maaf rindu tidak sengaja om, awalnya kan rindu mau lempar ke Salma, eh malah kekencangan terus kena oom deh. " ucapnya sambil menunjuk temannya yang sedang menunduk tidak jauh dari tempatku berada.
" ehh oom tidak marah kan?" sambung gadis kecil itu.
Aku tersenyum, bagaimana mungkin aku bisa marah, lihatlah gadis kecil yang sekarang sedang menunduk ini, harap harap cemas kalau aku akan memarahinya, wajahnya yang bulat sempurna, hidup pesek, rambut hitam panjangnya di biarkan tergerai, mata hitam yang bagaikan biji leci itu sekarang sudah berkaca kaca siap untuk menumpahkan segala bentuk emosi yang ada. Dan yang terpenting lagi adalah di usianya yang terbilang masih enam tahun, dia sudah berani untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf, benar benar sebuah pola asuh yang baik dari orang tuanya.
" tidak, om tidak marah kok" ucapku sambil mengembalikan bolanya.
" ehh beneran omm?" tanya nya memastikan.
Aku tersenyum lalu mengangguk, aku sungguhan tidak marah, gadis kecil itu tertawa senang, mengambil bolanya setelah mengucapkan terimakasih lalu balik kanan menuju temannya yang masih menunduk sejak tadi, harap harap cemas kalau dia juga akan kena marah.
" sebentar" ucapku sambil merogoh saku celana, mencari sesuatu.
' ada apa? Bukannya tadi sudah di suruh pergi? Atau jangan jangan oom nya berubah pikiran, bakalan marah sekarang nih, atau aku kabur aja ya.' batinnya
" ini, buat kamu sama temennya, jangan lupa di bagi dua ya." ucapku sambil menyerahkan dua buah bungkusan kecil.
" wahh coklat. Terimakasih banyak ya om." ucapnya sambil tertawa lebar kali ini, lalu kembali ke tempat temannya.
Aku menatap punggung gadis kecil itu yang sudah mulai menjauh, rambut hitam panjangnya terlihat bergerak kesana kemari, aku kembali mengambil sebungkus coklat lagi dari saku celanaku, tidak ada coklatnya, hanya ada bungkusnya. Tanganku pelan mengikuti guratan yang ada di bungkusan coklat itu, aku hafal pasti karena hampir setiap hari aku melakukannya. Bagiku bungkusan coklat ini sangat penting, semenjak hadirnya dia hidupku menjadi penuh pertanyaan, dan pertanyaan paling penting apa lagi kalau bukan tentang cinta.
Mataku menyipit ke arah seberang danau, di sana terlihat konvoi mobil serta beberapa motor yang mulai memadati sebuah rumah, aku tersenyum tipis, sepertinya sebentar lagi akan di mulai. Baiklah, aku punya waktu kurang dari tiga jam saat ini, aku akan menjelaskan segalanya, segalanya tentang bungkusan coklat yang amat penting dalam hidupku, aku minta maaf kalau nanti ceritanya berlepotan Karena aku bukan pembicara yang baik di depan banyak orang. Aku akan memulainya dari dua puluh tahun yang lalu, saat umurku masih hitungan jari tangan dan kaki, saat aku belajar tentang kehilangan untuk yang pertama kalinya.
***
Umurku lima belas tahun kala itu, ketika orang yang paling aku sayangi pergi meninggalkan. Adalah ibu, sosok yang melahirkan, merawat, serta menjagaku
sejak tadi aku hanya mengelus pelan pusara ibu, tidak ada air mata yang mengalir di pipiku sejak tadi, karena ibu mengajariku untuk tidak mengekspresikan emosi dengan cara menangis. Tapi hatiku lah yang menangis sejak tadi, tidak ada satu pun kata yang bisa menggambarkan kesedihan seorang anak ketika di tinggali oleh orang tua, terutama ibu. Kerumunan warga sudah mulai mereda di bandingkan sejak tadi, hanya tinggal menyisakan beberapa orang, termasuk teman teman sepermainanku.
" Aku turut berdukacita nak, ibumu adalah orang yang baik semasa hidupnya, dia juga adalah teman sepermainanku saat kecil." ucap wak El sambil mengelus kepalaku.
Wak El adalah sesepuh di kampus kami, beliau sangat di hormati para warga karena kebijaksanaannya, wak El juga terhitung masih sepupu jauh ibu.
" warga yang bertugas memandikan jenazah ibumu menemukan secarik kertas yang berisikan wasiat untukmu nak." sambung wak El
kepalaku yang hanya berjarak dua jengkal dari wak El terangkat.
" wasiat?" tanya ku pelan.
" iya nak, wasiat. Ibumu memintamu untuk pergi merantau ke kota kabupaten. Pergi dan carilah ayahmu itulah permintaan terakhirnya. Jangan pikirkan tentang ongkosnya, aku bersama para warga sudah menggalang dana untuk keberangkatanmu." ucap wak El sambil menyerahkan dua buah amplop berwarna coklat kepadaku.
Aku tau apa isi dari amplop itu, yang aku tidak tau adalah mengapa ada dua amplop?
" amplop ini berisi uang sumbangan dari para warga, tidak banyak memang, tapi aku rasa cukup untuk membuatmu bertahan hidup di sana selama satu bulan penuh sebelum akhirnya kau bisa mencari uang sendiri. Amplop kedua berisi tiket keretamu, aku yang menulisnya, kau bisa menyerahkan nya ke kondektur nanti. Jangan terlambat Dium, keretamu malam ini jam sembilan, kereta terakhir Minggu ini.
" terimakasih banyak Wak" ucapku sambil menerima amplop dari wak El lalu memasukkannya ke saku baju.
Wak El mengangguk, lalu pamit undur diri bersamaan dengan para warga serta teman teman permainanku yang tersisa, mereka semua beranjak pulang setelah mengucapkan beberapa kalimat motivasi. Aku menghembuskan nafas pelan, lembut mengusap pusara ibu, tertulis namanya yang hanya tiga huruf, ibu meninggal di usianya yang ke empat puluh lima tahun, padahal Minggu depan adalah hari ulang tahun ibu, biasanya aku akan memasak rebung bambu dan ikan asap, lalu kami akan menghabiskan malam dengan mengobrol di teras depan.
" ibu, kau tau mengapa aku selalu marah ketika kau mendongengkan ku sebelum tidur tentang cerita cerita kepergian? Karena aku selalu takut tentang kepergian, apalagi kepergian dirimu Bu. Dan ternyata hari ini kau benar benar pergi Bu, itu artinya mulai saat ini aku sendirian. Aku tidak tau kenapa kau memintaku untuk pergi mencari ayah bu, tapi demi dirimu, demi wasiat terakhirmu, aku akan melakukannya mulai malam ini bu." ucapku sambil menggurat pusara ibu, tanganku yang satu merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah anyaman bunga yang memang sudah ku persiapkan jauh jauh hari sebagai hadiah ulang tahun ibu, bunga itu aku letakkan di depan pusara.
Aku mulai bangkit berdiri, sejenak menatap gundukan tanah ini untuk yang terakhir kalinya, lalu balik kanan menuju gerbang pemakaman. Pemakaman kampung kami persis di atas bukit di belakang kampung, di apit oleh air terjun setinggi dua belas meter di sebelah kiri, serta hutan lebat yang menjadi tempat para warga untuk mencari rebung, kayu atau sebagainya di sebelah kanan.
Seharusnya jam jam saat ini, di bawah air terjun sana, anak anak sepantaran denganku akan menghabiskan waktu dengan bermain air setelah lelah seharian membantu bekerja di ladang, baru akan pulang ketika sudah di teriaki atau di kejar dengan rotan di tangan oleh ibu masing masing. Namun hari ini, tidak ada terdengar gelak tawa atau ringisan setelah di pukul dengan rotan.
Aku mulai berjalan turun, terlihat beberapa pusara lama yang tidak teratur, melewati jalan setapak dari tanah liat, medan yang curam serta di penuhi dengan bebatuan tidak menyulitkan ku karena hampir setiap hari aku bermain di sini. Aku mulai memasuki perkampungan, terlihat beberapa rumah panggung warga yang berdiri kokoh. Lampu minyak tanah menerangi hampir semua beranda rumah. Obor di sekeliling jalan membantu memerangi jalanku, takutnya ada landak kampung atau ular sawah yang tidak sengaja melintas, tidak banyak rumah di kampung ku, hanya sekitar dua puluh rumah, tiga rumah di antaranya sudah di tinggali oleh pemiliknya, banyak dari mereka yang hanya sekedar pergi merantau namun tidak pulang pulang lagi, sama seperti ayah.
Dua ratus meter kemudian rumahku akhirnya terlihat, tidak jauh berbeda dengan rumah rumah warga lainnya, hanya beberapa ornamen yang terlihat menghiasi bagian dinding yang merupakan hasil karyaku dengan ibu. Aku tidak masuk ke dalam, hanya sebatas melihat dari depan saja, bagiku ibu adalah rumahku, rumah dalam artian yang sebenarnya. Aku kembali meneruskan perjalanan menuju stasiun sambil menenteng buntalan kain berisi pakaian serta makanan yang tadi sempat di siapkan oleh salah satu warga.
Dengan kecepatan ku saat ini, aku mungkin bisa tiba di stasiun satu jam lebih awal. Untuk mengetahui waktunya tidaklah sulit, tinggal membagi antara jarak tempuh dengan kecepatan ku saat ini. Aku menyukai pelajaran berhitung, meskipun di kampung tidak ada sekolah, tapi ibu adalah sekolah sekaligus guruku, ibu mengajariku banyak hal mulai dari membaca, menulis, berhitung, serta masih banyak lagi yang di ajarkan oleh ibu. Aku tidak tau apakah dulu ibu pernah sekolah? Bagaimana ibu bisa ketemu dengan ayah? Semuanya terasa gelap karena ibu tidak pernah mau membahas tentang masa lalu, ibu hanya sering mengatakan untuk fokus saja ke masa depan tanpa memperdulikan yang ada di belakang. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah jalan yang aku lewati tidak lagi memiliki penerangan, aku bahkan sudah dua kali terjatuh karena tidak sengaja tersandung tunggul kayu yang melintang, ilmu berhitung sepertinya tidak bisa memperhitungkan dengan pasti kapan aku bisa tiba di stasiun, bisa jadi lebih cepat, bisa jadi juga aku terlambat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments