Apakah anda mengalami hal-hal tak wajar disekitar anda?
Seperti suara anak ayam di malam hari yang berubah menjadi suara wanita cekikikan? Bau singkong bakar meskipun tidak ada yang sedang membakar singkong? Buah kelapa yang tertawa sambil bergulir kesana-kemari? Atau kepala berserta organnya melayang-layang di rumah orang lahiran?
Apakah anda merasa terganggu atau terancam dengan hal-hal itu?
Jangan risau!
Segera hubungi nomor Agensi Detektif Hantu di bawah ini.
Kami senantiasa sigap membantu anda menghadapi hal-hal yang tak kasat mata. Demi menjaga persatuan, kesatuan, dan kenyaman.
Agensi Detektif Hantu selalu siap menemani dan membantu anda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eko Arifin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 - Keputusan
Ardian pun bergegas keluar rumah dan memandangi sekitar. Dia merasakan ada bekas-bekas energi negatif di luar, mengidikasikan bahwa ada yang mencoba masuk tetapi terpental oleh energi lain yang tidak lain dari Kinanti.
Tetapi energi positif ini lah yang berperan paling penting dalam melindungi dan menjadi pagar ghaib alami.
Ardian pun sedikit kesal kepada dirinya sendiri karena tidak mengamati dengan teliti saat datang ke kediaman pak Santosa.
"Apa yang di bilang Kinanti benar adanya pak, bu, saya dapat melihat bekas energi negatif yang sudah mencoba masuk kerumah ini tetapi gagal..." kata Ardian.
"Tetapi yang melindungi bapak dan sekeluarga bukan hanya Kinanti, tetapi energi-energi positif di rumah ini."
"Maksud mas gimana ya?" tanya Ibu yang kurang mengerti perkataan Ardian.
"Di dalam rumah ini penuh dengan energi-energi positif yang bahkan sampai menutupi rumah layaknya kabut pagi yang menyelimuti bumi." jelas Ardian.
"Tetep gak paham mas..."
Pak Santosa berserta istri kebingungan dengan bahasa yang di gunakan Ardian.
"Maksud dari mas ini, bapak dan sekeluarga lah yang membuat rumah ini aman dan terjaga dari bangsa ghaib yang mencoba masuk dan berbuat kerusakan. Karena rajinnya beribadah kepada Tuhan dan bersedekah kepada sesama." jawab Kinanti.
"Iya, betul itu!" Ardian mengacungkan jempol untuk Kinanti.
"Tapi bentar, kalau rumah ini sudah terjaga, kenapa kau ingin melindungi pak Santosa dan sekeluarga?" sekarang Ardian yang bertanya sebab ada niat tersembunyi dari Kinanti.
"Waduh, ketehauan deh..."
"Udah jujur aja, biar pak Santosa dan Ibu ikhlas dengan kehadiranmu. Gak usah jadi sok pahlawan kesiangan dengan memanfaatkan niat buruk orang lain dan membuat keluarga ini berhutang budi."
Kinanti menghela nafas pelan, sebab apa yang di katakan oleh Ardian telah menyudutkannya karena itu kebenarannya. Dia merasa bahwa pemuda ini susah sekali untuk di bohongi dan di manfaatkan.
Pemuda bernama Ardian ini bukanlah tipe orang yang mudah di bodohi.
Pak Santosa dan istrinya pun menatap sinis Kinanti yang membuat dhemit itu menghela nafas panjang.
"Saya takutnya nanti bukan bangsa ghaib aja yang datang tetapi dari bangsa manusia seperti seminggu yang lalu. Ada yang menanam buhul di depan rumah tapi sudah tak buang." kata Kinanti.
"Ya ampun, salah kita apa pak sama mereka? Perasaan kita tidak pernah berbuat dzholim kepada siapapun..." kata si Ibu sedih.
"Bapak juga gak tahu bu..."
"Orang baik belum tentu tidak punya musuh..." kata Ardian sebelum melanjutkan, "Meski begitu, gue kagak yakin bangsa ghoib dibuhul itu dapat melukai pak Santosa dan sekeluarga. Apalagi untuk menyelinap ke rumah ini."
Statement Ardian di dukung oleh padatnya energi positif yang berada di dalam rumah hingga menyebar sampai keluar dan membentuk kabut.
"Kalau maling, gimana?" lanjut Kinanti.
"Maling?"
"Iya... kayak tiga hari yang lalu ada yang mencoba masuk rumah tapi gak jadi." sahut Kinanti sambil menyilangkan tangannya.
"Tiga hari yang lalu? Oh, pantesan bapak denger orang teriak-teriak "Setan" tengah malem. Itu kerjaan neng Kinanti?"
"Ibu dan anak-anak juga denger itu pak." sahut si Ibu.
"Iya pak, ya gak suka aja ada orang gak di kenal masuk malem-malem. Mana mereka bawa sajam lagi. Ya jadi tak takut-takutin biar kapok sekalian..." ucap Kinanti.
"Hihihihihihihi!" lanjut Kinanti sambil tertawa senang, karena sudah membuat para pencuri itu kabur tunggang langgang.
Ardian pun tersenyum manis sebelum berdiri dari kursinya dan mengangkat tangannya setinggi mungkin, membuat Kinanti sontak ketakutan.
"Bang, ampun bang! Am-"
Plak!
"Bang sate!" pekik Kinanti ya sudah tersungkur ke lantai sebelum kelojotan dan kejang-kejang seperti cacing yang tersiram garam.
"Maem pus!" teriak Ardian dengan senyum lebar sambil berpose binaragawan, menunjukan otot-otot kekar di tangannya kepada Kinanti.
"Udah di bilangin berkali-kali masih aja di ulangi. Tahukan betapa manisnya telapak tanganku ini." ucap Ardian dengan senyum jahatnya.
"Nasib, nasib, ketemu manusia model beginian. Apa kata dunia dhemit kalau Kinanti yang cantik ini kena tampar terus..."
"Ya meneketehe..."
Kinanti pun kembali duduk di kursi sambil mengelus-ngelus pipinya yang tambah bengkak, mencoba menahan perihnya hidup ini sebagai dhemit yang sudah hilang harga dirinya.
Pak Santosa berserta istri terkekeh melihat tingkah Ardian dan Kinanti.
"Gue mau bilang percaya sama lu, tapi insting gue yakin kalau elu masih ada niat lain buat mau tinggal di sini... ya kan?" tanya Ardian ketus.
"Hadeh, susah amat nih orang buat di yakinin..."
"Emang bener kan?" Ardian tidak mau mengalah.
"Bisa di bilang gue takut sama "Begal", udah itu aja..." jawab Kinanti pendek.
"Begal? Maksudnya begal kayak di berita-berita kriminal?" tanya si Ibu.
"Kok aneh ya, dhemit takut begal?" pak Santosa keheranan.
"Begal yang di maksud Kinanti itu adalah para dukun yang mencoba memperbudak bangsa mereka demi kepentingan pribadi. Di sebut "Begal" karena mereka merampok kebebasan mereka." jelas pemuda detektif hantu itu.
Ardian pun paham betul, padatnya energi positif di rumah ini bisa jadi kamuflase yang luar biasa dan bahkan bisa menyembunyikan energi dan keberadaan Kinanti.
"Iya pak, bu, mas Ardian tahu "Begal" yang Kinanti maksud karena dia udah berkecamuk di dunia mistis, kalau enggak, mana mungkin gampar dhemit semudah itu dan berkali-kali. Mana sakit banget lagi..." jelas Kinanti sambil mengusap pipi bengkaknya.
"Jadi kalau berkenan, bolehkah saya tetap di sini? Saya janji gak akan ganggu atau menampakan diri tetapi, kalau ada yang mengusik keluarga ini, saya tidak mau tinggal diam pak, bu... karena saya tahu keluarga ini keluarga yang baik."
Permintaan Kinanti terdengar agak berat di telinga pak Santosa dan istrinya, bagaimana tidak, mereka harus ikhlas menerima Kinanti yang bukan dari bangsa mereka.
Di sisi lain, mereka pun iba akan keadaan Kinanti.
Meskipun saat ini wajahnya tidak terlalu menakutkan tetapi, masih saja ada kengerian akan kehadirannya.
"Baik, saya akan menerima kehadiran Kinanti di rumah." ucap pak Santosa.
"Bapak!?" sahut si Ibu yang tidak percaya akan keputusan suaminya.
"Gak papa bu, saya takutnya nanti ada "Begal" yang memperbudak Kinanti dan membuat kerusakan. Kita tidak tahu takdir Allah tapi setidaknya kita berusaha mencegah hal itu terjadi."
"Tapi pak... gimana dengan anak-anak?"
"Nanti biar bapak yang bicarakan hal ini kepada mereka..."
Saat pak Santosa sudah memutuskan sesuatu, maka sukar untuk di hentikan. Itulah yang membuat si Ibu menghela nafas panjang dan menyerahkan semuanya kepada sang suami.
"Ya udah... Ibu ikut aja sama bapak."
Sesaat setelah itu terdengar tangisan sayu dari Kinanti yang ada di hadapan mereka, namun berbeda dari yang tadi, kali ini Ardian tetap duduk tenang di kursinya sambil tersenyum kecil merasa tidak mau merusak momen ini.
"Terima kasih... terima kasih pak, bu, sudah mau menerima Kinanti di sini. Saya janji akan menjadi pribadi yang baik seperti bapak dan Ibu..."
Kinanti sangat bersyukur bisa ada di antara keluarga ini, meskipun tetap akan ada halangan, dia tetap merasa yakin bahwa lebih baik berada di rumah ini dari pada hidup di dunia luar dengan kecemasan.
"Oke... sekarang sudah di putuskan bahwa Kinanti akan berada di sini dan tidak di pindahkan. Saya selaku pihak ketiga juga merasa senang bahwa masalah ini dapat di selesaikan secara baik-baik."
"Terima kasih mas... udah datang kesini dan meluruskan kesalah pahaman saya dan sekeluarga kepada Kinanti." ucap pak Santosa dengan senyum lebar.
"Makasih ya bang, udah bantuin sama kasih nama Kinanti. Gue gak akan lupa sama elu." ujarnya dengan senyum kecil.
"Iya, sama-sama..." kata Ardian pendek.
"Tapi saya masih susah untuk menerima ini pak..."
"Pelan-pelan bu buat ikhlasin kehadiran Kinanti di rumah ini, nanti juga jadi kebiasaan..." pak Santosa mencoba menyakinkan istrinya.
"Iya deh iya, tapi nanti bapak yang kasih tahu anak-anak ya... Ibu udah capek." sahut si Ibu.
"Iya bu..."
"Baik, karena musyawarah sudah selesai, lebih baik saya tutup mata bathin bapak dan Ibu... dan juga, kau balik aja neng ke tempatmu, kan udah selesai urusannya." kata Ardian pelan.
"Ya sudah, pak, bu, saya pamit dulu. Sekali lagi, makasih ya bang udah bantu Kinanti." ucap Kinanti sebelum menjadi asap putih dan perlahan menghilang dari pandangan.
Pak Santosa berserta istri menghela nafas panjang karena sedikit kelelahan sebelum Ardian meminta si Ibu untuk membuka korden yang tertutup yang ia kerjakan dengan cepat dan membuat cahaya sang surya kembali menyelinap kedalam rumah.
"Bu, tolong ambilkan dua gelas air putih hangat di kasih garam sedikit ya, untuk menetralisir energi di dalam diri bapak dan Ibu." si Ibu mengiyakan sebelum kedapur dan mengambil apa yang di minta Ardian dan meletakan di meja.
"Di minum pak, bu, dan jangan lupa berdoa, meminta kepada Tuhan untuk di kembalikan dalam keadaan semula." pinta Ardian.
Pak Santosa berserta istri pun melakukan apa yang Ardian minta, meneguk air hangat dengan sedikit garam sesudah berdoa.
"Untuk langkah selanjutnya, bapak dan Ibu silahkan berwudhu dulu, untuk menghilangkan energi-energi negatif yang menempel." ujarnya lagi.
Mereka pun bergegas masuk ke ruangan dalam, dimana terdapat tempat untuk berwudhu dan membersihkan diri sebelum kembali ke ruang tamu dan menemui Ardian.
"Baiklah pak, bu, saya rasa segala permasalahan dengan Kinanti sudah selesai."
"Alhamdulillah." ucap syukur di utarakan pak Santosa dan istrinya secara bersamaan membuat Ardian menghela nafas panjang sebelum berjalan keluar rumah.
Pak Santosa membisikan sesuatu kepada sang istri yang ia anggukan sebelum masuk ke kamar, sementara si bapak keluar menemui Ardian yang sedang berdiri di depan rumah.
"Mas, silahkan istirahat sambil duduk dulu di sini. Saya ingin membicarakan sesuatu." pinta pak Santosa.
"Iya pak..."