Mandalika, gadis Indonesia dari keluarga berkecukupan, mengalami trauma masa kecil setelah diculik gurunya. Akibat dari penculikan tersebut, Ia dikurung selama bertahun-tahun lamanya. Tepat saat usianya memasuki 23 tahun, Mandalika dibebaskan, namun perilakunya membuat Kedua orangtuanya mengirim paksa putri tunggalnya ke Korea Selatan.
Di sana, Mandalika menjadi bintang kampus dan menarik perhatian Kim Gyumin. Bertemu dengan perundung berhati dingin bernama Park Ji Young, mahasiswi angkuh, mengancam Ia dengan bukti kejam, memaksa Mandalika meninggalkan Korea dengan rasa trauma yang membekas.
Sebelum kepergiannya, Mandalika mendapat dukungan dari Hwang In Yeop, pekerja di Apartemen tempatnya tinggal. Perasaan Kim Gyumin terungkap dan melalui malam terakhir mereka bersama.
Sekembalinya ke Indonesia, Mandalika memulai hubungan dengan Zoo Doohyun setelah tiga tahun berlalu. Dan kembali ke Korea menghadapi cinta segi empat yang rumit dengan Kim Gyumin, Zoo Doohyun, serta Hwang In Yeop
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lalarahman23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: Bersamamu.
Pekerja Pria di Apartemen, bernama Hwang In-yeop, melangkah ke dalam Apartemen Manda dengan sikap penuh hormat, menundukkan kepala sedikit saat berbicara.
"Permisi, saya karyawan di sini. Izinkan saya memeriksa keran di tempat ini."
Manda mengangguk dengan sopan, "Baik, silakan."
Tanpa membuang waktu, In-yeop berjalan lurus ke arah toilet, tak memandang ke arah Manda yang memperhatikannya dari belakang.
Perasaan canggung mulai merayapi Manda, membuatnya merasa tidak nyaman berada di dalam Apartemen itu saat In-yeop tengah melakukan pekerjaannya. Ia memutuskan untuk keluar, dengan luka kakinya yang sudah sedikit membaik.
Di luar, Manda berdiri di pinggir jalan, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ia merasa bingung, tak tahu harus pergi ke mana.
"Kenapa harus ada pemeriksaan sih? Ck!" gumamku kesal sembari memandang suasana sekitar. Jalanan tampak sepi dan sunyi.
"Ini aku mau ke mana? Hmm, negara ini tidak sesuai dengan ekspektasiku!" gumamnya lagi, kakinya melangkah tanpa tujuan.
Beberapa saat kemudian, tanpa diduga, Ia berpapasan dengan Pria menyebalkan yang mengganggunya di taman kampus, Gyumin.
"Manda," panggil Gyumin, lalu menghampiri Manda dengan senyum lebar di wajahnya.
Manda menghela napas, merasa kesal saat melihat pria itu. 'Emm, dia lagi-dia lagi,' pikirnya.
"Kamu lagi?" tanyaku, sambil terus berjalan tanpa menghentikan langkah.
"Wah! Kau mengingatku... Kau sedang apa di sini?" tanya Gyumin, berusaha mengikuti langkah Manda dari belakang.
"Mengapa aku harus memberitahumu?" balas Manda dengan nada sewot.
"Bukankah kita berteman?"
"Aku? Berteman dengan berandal sepertimu? Yang benar saja!" Manda tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme.
"Hey! Kau salah paham! Mereka temanku.. kau menyebut kami berandal? Ini sedikit keterlaluan," sanggah Gyumin dengan nada ketus.
"Lah! Tadi pagi kau menghampiriku, seperti berandalan," tukas aku tanpa ragu.
"Aku tidak seperti yang kau kira... kau lupa? Siapa yang membantumu dari dosen gila itu?" Gyumin bertanya dengan kening berkerut, mencoba mengingatkan Manda.
"Kau mengungkit kebaikanmu?" Manda bertanya kesal, matanya menatap tajam ke arah Gyumin di sampingnya.
"Bukan seperti itu, Tapi!"
Manda menghentikan langkahnya, menatap Gyumin yang masih mengikutinya. "Kenapa kau mengikutiku?" tanyanya dengan alis terangkat.
Gyumin tampak terkejut dengan tatapan Manda yang tiba-tiba. "Ke-kenapa kau melihatku seperti itu? Aku hanya ingin menyapamu saja," ujar Gyumin lembut, tatapannya sedikit memelas.
Manda menghela napas, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya. "Apartemenku sedang dalam perbaikan, jadi aku keluar untuk menunggu perbaikannya selesai... lagian aku berjalan tanpa tujuan," katanya setengah hati.
"Mau ikut denganku?" tanya Gyumin tiba-tiba, menghentikan langkahnya.
"Ke mana?" jawab Manda, tanpa menghentikan langkah dengan pandangan yang lurus.
Gyumin tanpa peringatan menarik tangan Manda dan membawanya berbalik pergi. "Hei, pelan-pelan. Kau membuat lututku sakit!" teriak Manda, menepuk-nepuk pundak Gyumin.
Gyumin menghentikan langkahnya, tapi tidak melepaskan genggamannya. "Maaf, apa aku menyakitimu?" tanyanya lembut.
"Tidak, tapi kau hampir membuatku cacat seumur hidup! Pelan-pelan saja!" Manda memintanya dengan tegas, kepalanya mendongak ke arah Gyumin yang tinggi.
"Berhati-hatilah!" ujar Gyumin, lalu menuntunnya pergi dengan lebih hati-hati.
...Panti jompo....
Di sinilah mereka akhirnya tiba. Gyumin berhenti di depan gedung itu, menatap Manda dengan senyum penuh arti.
"Ini di mana?" tanya Manda, kebingungan, matanya menatap gedung yang asing baginya.
Gyumin berjalan menyusuri jalan setapak yang teduh, diapit oleh pohon-pohon rimbun yang daunnya berdesir tertiup angin. Langkahnya penuh semangat dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Sesekali Ia menoleh ke arahku, memastikan aku mengikuti langkahnya.
"Ini adalah tempat yang paling menyenangkan... ayo, aku akan mengenalkan kamu dengan seseorang!" ajak Gyumin dengan penuh semangat.
Kami tiba di sebuah taman kecil yang asri. Di tengahnya, seorang Nenek duduk termenung di kursi roda. Wajahnya penuh keriput, namun matanya masih bersinar dengan penuh kehangatan.
"Nenek, Gyumin sudah datang," sapa Gyumin dengan suara lembut, seraya mendekati Nenek tersebut.
Nenek itu perlahan menoleh, dan begitu melihat Gyumin, senyum lebar terukir di wajahnya.
"Cucuku, kau dari mana saja? Nenek sudah menunggumu sejak tadi," katanya dengan suara penuh kegembiraan sembari meraih lengan Gyumin dan memeluknya erat.
Teman Nenek, yang duduk di bangku dekatnya, mengangkat wajah dan tersenyum melihat kedekatan mereka. "Benar, dia sudah menunggumu, sampai dia tidak mau bermain denganku," tambahnya dengan nada menggoda.
Nenek itu tertawa kecil. "Aku tidak mau bermain denganmu! Aku hanya ingin bermain dengan cucuku," ucapnya, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Aku hanya bisa berdiri di situ, merasa sedikit canggung dengan suasana akrab di antara mereka.
Gyumin menatap Neneknya dengan lembut. "Nek, Nenek jangan seperti itu. Gyumin 'kan harus belajar. Agar Nenek bisa membanggakan Gyumin," katanya, berusaha menenangkan Neneknya.
Nenek mengangguk pelan, tangannya mencubit pipi Gyumin dengan sayang. "Kalau begitu, kau harus belajar dengan giat ya, Cucuku!"
Gyumin tersenyum, lalu berbalik menghadapku. "Nek, aku membawa temanku ke mari... apakah Nenek ingin bertemu dengannya?" tanyanya seraya meraih tangan Manda dan menariknya lebih dekat.
Aku tersenyum gugup, sedikit tersipu saat Nenek menatapku dengan pandangan penuh perhatian. "Hai, Nek. Saya Manda, saya teman Gyumin," sapaku, memperkenalkan diri sambil melirik ke arah Gyumin.
Gyumin membalas pandanganku dengan senyum lembut. "Ini nenekku. Aku selalu datang ke sini untuk menemuinya... saat bertemu denganmu, sebenarnya aku ingin mengunjungi Nenekku. Kebetulan sekali, tempatnya tidak jauh dari Apartemenmu," jelasnya.
Nenek memandangku dengan mata tajam namun penuh kasih sayang. "Kau tidak terlihat seperti orang Korea? Kau sangat cantik," katanya, matanya menyusuri wajahku. Aku tersenyum malu, merasa sedikit gugup.
"Saya berasal dari Indonesia, Nek. Saya baru mengenal Gyumin pagi ini... dan saat kita bertemu lagi, dia mengajakku kemari," ungkap Manda, berharap nenek menyukai penjelasannya.
Nenek memegang pundak Gyumin dengan sayang. "Cucuku ini anak yang baik. Dia bisa kau andalkan. Nak, Jangan ragu untuk bersamanya... dia cucuku satu-satunya yang peduli dan sayang pada nenek," ucapnya, membuat Gyumin tersenyum malu.
"Nenek, selalu saja berkata seperti itu... Gyumin sudah remaja, Nek," balas Gyumin, salah tingkah. Kami tertawa bersama, suasana penuh kehangatan dan kebahagiaan.
Beberapa saat kemudian, aku melihat ke arah jam di ponsel. "Wah, tidak terasa sudah satu jam berlalu. Ini sangat menyenangkan!" seruku, merasa waktu berlalu begitu cepat.
Nenek tersenyum padaku. "Sering-seringlah menjumpai Nenek. Nenek akan sangat senang jika kalian berdua datang bersama seperti ini," pintanya dengan penuh harap.
Gyumin melihat ke arahku, tersenyum. "Tentu saja, Nek. Manda akan mengunjungimu lain kali jika punya kesempatan."
Gyumin menggenggam kedua tangan Neneknya dengan erat. "Kami akan mengunjungi Nenek kembali. Nenek harus baik-baik saja di sini," ujarnya penuh kasih.
Nenek mengangguk dengan senyuman di bibirnya. "Baik, Nenek akan menunggu kalian berdua datang kembali, dan Nenek akan baik-baik saja... jangan mengkhawatirkan Nenek!" kata Nenek, matanya beralih padaku.
"Manda, ingatlah pesan Nenek. Jangan ragu untuk bersama dengannya. Dia pilihan terbaik untukmu!"
Nenek melihat ke arah Gyumin, senyum penuh harap. "Gyumin, jaga dia baik-baik, dia membutuhkan orang sepertimu!"
Gyumin mengangguk, wajahnya serius. "Baik. Tolong jaga kesehatan, Nenek!" katanya penuh perhatian.
Aku pamit, tersenyum pada Nenek. "Manda pergi ya, Nek," kataku sebelum berjalan meninggalkan nenek bersama Gyumin.
Dalam perjalanan pulang menuju Apartemen, aku melirik Gyumin yang tengah berjalan dengan pandangan tertunduk. Ia menyadari lirikan itu, dan menoleh ke arahku.
"Ada apa?" tanyanya, tersenyum lembut.
Aku menghindari pandangannya, merasa sedikit bersalah. "Maafkan aku, karena memikirkan hal buruk tentangmu," ucapku pelan, hampir tak terdengar olehnya.
Gyumin tersenyum, menatap Manda dengan penuh pengertian. "Sepertinya, kau sudah menyadari hal itu... kau memang harus mempercayai Nenek, dan jangan pernah meragukanku," ujarnya.
Aku menatapnya penasaran. "Tapi kenapa kau tiba-tiba menghampiriku pagi ini?" tanyaku, menghentikan langkah dan menatapnya.
Gyumin mengangkat kedua bahunya, tersenyum kecil. "Entahlah, aku hanya mengikuti arah kakiku melangkah," jawabnya.
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya. "Sepertinya, Nenekmu salah besar mengira tentang cucunya ini," selorohku, melanjutkan langkahku.
Gyumin tertawa, mengejarku. "Hey, Nenekku itu berkata benar... kau ini," sanggahnya, ikut tertawa.
Kami tertawa bersama, suara kami mengisi udara sore yang sejuk.
Sesampainya di Apartemen, aku menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih karena membawaku ke tempat yang menyenangkan."
Gyumin tersenyum menghindari pandangan Manda yang memikat. "Aku akan menunggumu besok," ucapnya, setelah menatapku kembali.
"Baiklah," jawabku, meninggalkannya dengan senyum di bibir.
Satu bulan telah berlalu, aku bersamanya tanpa keraguan, Pria itu sangat baik.
Di Universitas Korea, aku melihat Gyumin di kejauhan. "Gyumin!" panggilku dengan melambaikan tangan.
"Hai," balasnya, melambaikan tangan dan tersenyum lebar. Aku menghampirinya dengan penuh semangat.
"Kapan kau akan membawaku ke tempat yang kau janjikan? Aku sudah menantikannya!" tanyaku penasaran.
"Ikutlah denganku!" pinta Gyumin, meraih tangan Manda dan menggenggamnya erat.
Kami tiba di sebuah Rumah Musik, tempat Gyumin beserta teman-temannya berkumpul. Suara alat musik dan tawa riuh mengisi udara.
"Mengapa kau membawaku ke mari?" tanyaku bingung, mengikuti langkahnya, memasuki ruangan yang elegan.
"Ini tempatku berkumpul dengan mereka," jawab Gyumin sambil membuka tirai, memperlihatkan teman-temannya.
"Hai," sapa Gyumin kepada mereka. Semua mata tertuju pada kami.
"Siapa gadis yang bersamamu?" tanya salah satu dari mereka, yang terkesima dengan kehadiranku.
Aku tersenyum malu, sementara Gyumin memperkenalkanku kepada mereka semua. Suasana penuh kehangatan dan tawa mengisi ruangan, menciptakan kenangan indah yang takkan terlupakan.
"Dia yang ku ceritakan waktu itu, cantik sekali bukan?" Jun Ki berbisik kepada Sehoon, matanya bersinar ketika berbicara.
"Ini tempat yang ku janjikan," ucap Gyumin dengan tersenyum kepada Manda, matanya berkilau penuh kasih sayang.
Dua Pria memasuki ruangan. Yang satu menghentikan langkahnya, memandang Manda dengan penuh perhatian, sementara yang lainnya berjalan lurus, mengabaikan kehadiran wanita di dalam ruangan tersebut.
"Kau," tegur Manda, tatapannya tertuju pada Pria yang tak asing.
"Wah, takdir mempertemukan kita lagi," In Woo tersenyum lebar, "Bagaimana dengan kakimu? Sudah membaik?"
"Kau mengenalnya?" tanya Gyumin kepada Manda, matanya penuh rasa ingin tahu.
"Aku tanpa sengaja bertemu dengannya waktu itu," jawab Manda, mengalihkan pandangannya ke arah Gyumin, berusaha menyembunyikan kegugupanku.
Gyumin mengangguk sembari melirik ke arah In Woo yang terus memandangi Manda tanpa henti.
Atmosfer di ruangan itu berubah, penuh dengan antusiasme yang menyelimutiku. Mereka berusaha membuatku merasa nyaman, mengajak bersenda gurau, membuat lelucon yang membuatku tertawa bahagia. Namun, aku menyadari satu hal—seorang pria duduk di pojok, diam sembari memainkan gitarnya, seolah tak tertarik dengan kehadiranku.
Waktu berlalu dengan cepat. Dua jam kemudian, saat kami harus berpisah, Jun Ki melambaikan tangannya. "Datang ke sini lagi ya."
"Mari berkencan!" seloroh In Woo, membuat semua orang tertawa.
"Berhati-hatilah!" ucap Sehoon penuh perhatian.
"Sampai jumpa," kataku sambil tersenyum, meninggalkan mereka bersama Gyumin.
...Apartemen....
Pukul 09.25 malam, perutku berbunyi. "Aduh!" Aku memeriksa stok makanan di lemari penyimpanan dan lemari es.
"Ah, sudah habis. Aku harus keluar untuk membelinya," gumamku, lalu bersiap dan berjalan menuju Minimarket terdekat.
Keluar dari minimarket, langkahku tiba-tiba terhenti. Aku melihat Pria dingin dari Rumah Musik siang tadi. Dia lalu menghentikan langkahnya juga.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara datar.
"Emm, ee... aku ee... bukan apa-apa!"
jawabku gugup, bergegas pergi. Namun, Pria itu meraih pergelangan tangan Manda, menggenggamnya erat.
"Jawab pertanyaanku!" tatapannya dingin, membuatku merasa terpojok.
"Maafkan aku, kau menyakiti tanganku," lirihku.
Doohyun melepaskan tangan Manda. "Jangan melihat orang seperti itu lagi, itu sangat mengganggu!" tegurnya dengan sikap dingin.
"Aku tidak akan melakukannya lagi," jawabku, lalu bergegas pergi, merasa lega saat langkahku menjauh darinya.
Di Apartemen, aku merutuki diriku sendiri. "Dasar pria aneh! Aih! Ada apa denganku!" gumamku dengan napas yang tidak beraturan.
"Sudahlah!"
Keesokan paginya, di Universitas Korea, pukul 08.20 pagi, di taman yang sejuk, Gyumin menghampiri Manda yang duduk sendirian.
"Kau terlihat tidak bersemangat, apa sesuatu telah terjadi?" tanya Gyumin, duduk di dekatku.
"Entahlah..." jawabku seadanya, pikiranku melayang ke kejadian semalam dengan Pria aneh itu.
Tak berselang lama kemudian, Doohyun tiba-tiba muncul dari arah belakang, membuat Gyumin sedikit terkejut.
"Kau kembali? Urusanmu sudah selesai?" Gyumin tersenyum, menepuk tangan Doohyun.
Doohyun mengangguk, matanya menatap Manda dengan tajam.
"Perkenalkan, dia Manda. Dia..." Gyumin mulai memperkenalkanku, tapi aku segera berdiri.
"Aku harus pergi, sampai jumpa!" kataku, meninggalkan mereka dengan sedikit berlari.
"Kenapa terburu-buru?" gumam Gyumin kebingungan.
"Maaf, kemarin aku tidak memperhatikannya," ucap Doohyun, matanya masih mengikuti Manda.
"Kau memikirkan kondisi ayahmu? Bagaimana? Sudah membaik?" Gyumin berusaha mengalihkan perhatian Doohyun.
Doohyun mengangguk dan duduk di dekat Gyumin. "Di mana kau mengenalnya? Dia terlihat asing."
"Dia berasal dari Indonesia, kecantikannya benar-benar membuatku terpikat," ucap Gyumin dengan senyum lebar, menatap lurus ke arah depan.
"Aku tidak pernah melihatmu seperti ini, kau menyukainya?" Doohyun menatap Gyumin dengan serius.
"Menurutmu bagaimana?" Gyumin mengalihkan pandangannya ke arah Doohyun.
"Bagaimana lagi? Kau menunjukkannya dengan sangat jelas," jawab Doohyun, melihat ke arah langit pagi yang sejuk.
"Dia adalah cinta pertamaku," kata Gyumin pelan.
"Lalu, apa kau menyatakan perasaanmu?" tanya Doohyun.
Gyumin menggelengkan kepalanya. "Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk mengungkap perasaan ini," tuturnya, menghela napas panjang.
...To be continued....