Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Sekarang, rasanya kepalaku tak bisa ditegakkan. Aku memejam, sekadar menghilangkan rasa sakit di kepala, sampai-sampai tak menyadari kedatangan Evan dan Nijar yang masuk berbarengan.
"Yang katanya semalam menginap di rumah istrinya."
"Mungkin lembur dia."
"So pasti. Mana ada laki-laki yang menganggurkan barang halal."
"Apalagi model nya macam begini, baru ditinggal sang pacar tunangan sama laki-laki lain. Ya cari pelampiasan lah."
"Sotoy!" rutukku sangat kesal.
Dua pria teman kantorku ini memang sering membuat bercandaan yang keterlaluan. Mereka mengejar secara bergantian seolah-olah puas sekali melihatku kesakitan seperti ini.
"Kenapa, Ris? Sakit kepala ?" tanya Evan sambil duduk di sofa.
"Semalam aku nggak tidur. Arumi sakit."
"Bukannya dia sakit karena kamu yang bikin?" ejek Nijar.
"CK, serius aku tuh. Arumii nyebur ke kolam, dia nggak bisa berenang," jawabku menjelaskan.
"Kode itu, Bro," ucap Nijar.
"Kode apa?" tanyaku tak mengerti.
"Kode biar mendapat perhatian dari kamu. Secara, kalian kan terhitung masih pengantin baru. Lalu, pakai acara pisah rumah lagi. Nggak peka lu!" Nijar berpendapat.
Mungkin benar kata-katanya. Tapi mungkin juga salah. Ah, entahlah.
"Coba saja dulu dijalani tinggal satu rumah. Mana tau hatimu luluh." Evan memberi saran.
"Tak ada salahnya mengikuti saranmu. Mungkin secara sifat dan watak, kami bisa saja cocok. Apalagi Arumi wanita yang sabar, nggak hobi mengatur harus ini dan itu. Hanya saja, aku tak menyukai penampilannya.
Kalian tau kan, wanita bercadar itu nggak asik diajak ngumpul bareng kalian."
Ucapanku baru saja membuat Evandan Nijar berpandangan. Sudah berkali-kali aku mengucapkannya pernyataannya itu. Nijar pun membenarkan. Hanya saja, Evanpernah mengatakannya ketidaksetujuannya.
"Terserah kamu deh, Ris. Kalau nggak cocok, ya segera putuskan segera. Kasihan anak orang kamu beri harapan lama-lama," ucap Irvan.
"Nah, itu dia masalahnya. Arumi itu anak yatim piatu. Selain itu, mama bisa tidak mengakuiku sebagai anak kalau aku sampai menceraikan Arumi hanya karena alasan sepele seperti ini."
"Lah, berarti sama saja dong, kamu harus bertahan. Minimal ujicoba saja dulu. Ntar lama-lama cocok juga." Nijar memberikan ide konyol.
"Ujicoba bagaimana?"
Evan masih bingung.
"Ngawur si Nijar itu. Nggak usah ucapku menyela.
"Eh, sebentar." Tiba-tiba Evan angkat badan dari sofa. Orang rumah menelepon. Aku pamit sebentar." 66
Evan pergi, dan meninggalkan aku dengan Nijar.
Kulihat, Nijar malah berbaring di sofa panjang. Dia terlihat lelah sekali.
"Kenapa kamu?" tanyaku sambil berjalan kearahnya dan duduk sofa yang lain.
"Sama seperti kamu. Nggak tidur semalaman."
"Ngapain saja? Dugem?"
"Bukan. Aku mencari pacarku yang menghilang. Yang pernah aku ceritakan dulu itu. Aku dapat kabar kalau dia masih di kota ini."
"Kamu masih mengharapkan wanita yang meninggalkan kamu tanpa pesan? Bisa jadi dia pergi dengan laki-laki lain. Dan itu sudah satu tahun yang lalu, kamu masih mencari-carinya juga?"
Terkadang, hidup selucu itu. Nijar yang terlihat liar dan nakal bahkan sangat setia pada kekasih yang sudah satu tahun lebih meninggalkan dia. Sedangkan aku yang kata mereka alim begini, malah tidak bersyukur mendapatkan istri soleha dan baik seperti Arumi.
"Cinta, Ris. Aku tidak pernah mencintai wanita sedalam cintaku padanya. Duh, kedengarannya selebay itu gua. Tapi itulah kenyataannya."
"Terus, kamu mencarinya ke mana?"
"Ke klub-klub malam. Dia dulu bekerja jadi pelayan. Pada teman-teman yang bekerja satu klub juga sudah kutanyakan. Tidak ada yang tau. Aku bingung mau mencarinya ke mana lagi. Semua akses di blokir sama dia. Utari namanya."
Kasihan. Aku baru tau, Nijar yang gayanya cuek dan selengekan begitu, punya cinta yang begitu tulus pada seorang wanita.
Dia bangkit, terduduk dan merogoh saku blazernya. Dia mengeluarkan ponselnya.
"Ini ada fotonya. Kalau kamu melihatnya di manapun itu, tolong kabari aku."
Nijar memperlihatkan sebuah foto seorang wanita berambut panjang dan berlatar sebuah klub malam.
Mataku menyipit. Seperti mengenalnya.
"Seperti nggak asing,"
ucapku spontan tanpa sadar.
"Kamu pernah melihatnya ?" Nijar tampak begitu antusias. Dia sampai mendekatkan dirinya padaku.
"Dimana-dimana? Coba ingat-ingat!"
"Sebentar."
Aku berusaha mengingat. Bibirnya, tai lalatnya seperti .... Astaga, ini kan Arumi!
"Namanya Utari, Ris. Utari Apriana."
"Nggak tau, nggak kenal. Entah, lupa pernah bertemu di mana. Di jalan mungkin." Aris beralasan.
Nijar masih memasang layar ponselnya di hadapan sahabatnya. Tak ingin memandang lagi rupa yang sama dengan istrinya, Aris
Bangkit menuju meja kerjanya. Berpura-pura sibuk di sana.
"Coba diingat-ingat lagi. Mana tau yang kamu lihat benar-benar Utari, kekasihku ," ucap Nijar meyakinkan Aris.
"Lupa beneran. Cuma mirip sih sepertinya. Di dunia ini adabanyak kemiripan. Masing-masing dari kita memiliki 7 orang yang mirip. Begitu sih yang pernah aku baca, entah mitos atau beneran."
"Sotoy lu! Aku sudah serius begini." Nijar menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku blazer. Dengan kesal, ia beranjak dari sofa.
"Kemana?" tanya Aris pada sahabatnya.
"Ngopi. Ngantuk gua."
Nijar keluar dari ruangan, menyisakan Aris dengan beribu tanya.
"Arumi adalah Utari. Berarti dia ... mantan pekerja malam.Jangan-jangan karena itulah dia ada di klub malam waktu itu." Aris bermonolog. Otaknya cukup dikacaukan oleh perkataan Nijar.
"Kalau begitu, jika Arumi adalah Utari, berarti dia kekasih Nijar. Nijar begitu mencintainya, sudah seberapa jauh hubungan mereka berdua ?"
menegakkan punggung, hendak bangkit dari tempat duduknya. Tapi suara ponsel di depannya membuat ia terkejut lalu duduk kembali, meraih benda itu. Arumi meneleponnya.
"Halo assalamualaikum, Mas," sapa Arumi.
"Waalaikumsalam. Kenapa, Rum?"
"Rum hari ini sibuk di toko, Mas. Ada orderan kue mendadak dan sangat banyak. Mungkin pulangnya agak malam."
Aris tidak menjawab. Mengingat Utari adalah Arumi, mendadak hatinya menjadi benci.
"Mas," seru Arumi di seberang panggilan.
"Ya, mas nggak mampir ke rumah. Ada banyak pekerjaan dikantor," jawabnya.
"Oh, ya sudah syukurlah. Jadinya Rum nggak was-was, takut Mas datang dan Rum belum pulang. Ya, sudah ya, Mas. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Aris meletakkan ponselnya. Otak yang sudah dipenuhi rasa tidak suka, mendorong pikiran negatif tentang istrinya. Ia curiga jika Arumi berbuat curang di belakangnya.
"Nggak bisa diam begini saja. Harus diselidiki ini." Ia bangkit meraih ponsel lalu pergi.
Lalu lalang di depan sebuah toko kue cukup ramai. Tak jauh dari tempat itu, sedang ada bazar terbuka untuk pembukaan studio musik.
Di bagian atas toko itu tertulis nama 'Amanda Bakery', berdiri menjadi satu-satunya toko di deretan pusat keramaian. Arumi dengan bantuan Aris memilih lokasi strategis itu untuk mendirikan toko yang baru.