“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tiga
Hari ini, hari di mana Arini dan Heru menghadiri sidang keputusan. Heru masih saja membujuk Arini untuk rujuk, padahal sebentar lagi akan mendengarkan keputusan Hakim. Jelas Heru kalah dalam persidangan, karena bukti dari Arini begitu kuat, Heru pun mengakui kalau dirinya selingkuh, dan ingin menikahi selingkuhannya. Heru juga mengaku telah melakukan kekerasan kepada Arini, hingga Arini terluka cukup parah.
“Rin, yakin kamu gak mau merubah keputusan kamu? Yakin kamu mau pisah?”
“Aku sudah sangat yakin.” Jawab Arini dengan tegas.
“Okay, kalau itu keputusanmu, aku harap kau tak menyesal, Arini!”
Arini tersenyum miring mendengar ucapan Heru. Untuk apa Arini menyesal? Buang-buang waktu saja menyesali perpisahan dengan orang yang tidak setia?
“Menyesal? Kenapa harus menyesali perpisahan ini? Mungkin kamu yang akan menyesal, sudah menduakan orang yang setia,” ucap Arini.
“Jelas aku tidak akan menyesal! Untuk apa aku mempertahankan perempuan mandul seperti kamu!
“Aku memang mandul, tapi aku masih punya harga diri. Aku masih lebih baik dari perempuan perebut suami orang, lebih baik dari perempuan murahan macam calon istri kamu!”
“Jaga ucapanmu, Arini!”
“Kamu saja gak bisa jaga ucapanmu ke aku, kenapa aku harus jaga? Aneh!”
Setelah berdebat, mereka memasuki ruang sidang. Suasana dingin dan menegangkan di dalam ruang persidangan. Hanya ada penggugat dan tergugat, juga dua saksi di sana. Hakim membacakan keputusan, bahwa Arini dan Heru sudah resmi berpisah. Arini benar-benar lega dengan keputusan dari Hakim. Dia akhirnya bisa terlepas dari pernikahan yang sudah cacat.
Arini keluar dari ruang persidangan. Ia langsung memeluk ayahnya. Bahagia bercampur sedih. Bahagia karena dia bisa terlepas dari Heru yang sudah menyakitinya, tapi ada rasa sedih, saat mengingat janji sehidup semati yang Heru ucapkan di depan penghulu saat dulu mereka menikah. Serta kenangan indah yang sudah ia ukir selama itu bersama Heru.
Heru memilih berjalan mendahului Arini, tanpa menyapa Arini dan Ayahnya. Arini mengangkat kedua bahunya dengan mengernyitkan keningnya saat melihat Heru acuh padanya, pergi tanpa basa-basi.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Farid pada Arini.
“Ya aku baik-baik saja, Yah. Bahkan aku sangat baik. Akhirnya aku bisa melepaskan diri dari belenggu cintanya Heru, Yah,” ucap Arini.
“Kamu masih cinta dengannya?” tanya Farid.
“Cinta? Mungkin kalau cinta aku sudah tidak mencintainya, akan tetapi aku masih sering ingat kenangan dulu, Yah. Wajar kali ya yah? Kan aku lama dengan dia? Jadi kenangan itu masih melekat di hatiku,” ucap Arini.
“Namanya sudah pernah hidup bersama ya seperti itu, tapi ayah yakin kamu bisa melalui semua itu.”
Arini langsung pulang, ia sudah ingin menenangkan pikirannya yang lelah, ditambah pikirannya masih tertuju pada kenangan bersama Heru.
Sampai di rumah Arini langsung masuk ke kamarnya. Entah kenapa hatinya sakit.
Arini menangis, mengingat semuanya. Namun, ia ingat betapa sakitnya saat Heru menyakiti dirinya dengan berselingkuh, ditambah kekerasan yang Heru lakukan padanya.
“Jangan nangis Arini! Orang seperti Heru tak pantas ditangisi! Come on, Rin! Ini keputusan kamu, bukan salah kamu melakukan semua ini, ini semua kamu lakukan karena Heru yang mulai! Ayo Arini, hapus air matamu, bebaskan dirimu, kamu perempuan hebat!” ucap Arini menyemangati dirinya sendiri.
Arini menghapus air matanya, ia langsung mengambil tasnya lalu pergi. Pamit dengan ayahnya untuk pergi ke rumah Raka.
“Baru sah, Arini? Belum masa idah, jangan macam-macam!” peringatan Farid.
“Arin hanya tanya soal kerjaan, Ayah,” ucapnya.
“Jangan macam-macam! Tunggu masa idah!”
“Iya, Ayahku sayang .... Aku hanya ingin bicara soal pekerjaan, Yah. Ayah kan tahu, yayasan itu milik saudara Raka?”
“Iya-iya ... Ya sudah hati-hati. Jaga diri, jaga marwahmu sebagai perempuan. Kamu janda baru beberapa jam, Arin. Malah menemui laki-laki?”
“Ayah kan tahu aku sama Raka bagaimana?”
“Iya, Ayah percaya kamu.”
“Arini pamit ya, Yah?”
Arini mencium tangan Ayahnya. Dia langsung mengambil kunci mobilnya di rak tempat kunci, lalu pergi menemui Raka.
Sedangkan Heru, dia baru saja sampai di rumahnya. Rumah yang dulu ia tinggali dengan Arini. Ada rasa sesak saat masuk ke dalam rumahnya, tatanannya masih seperti dulu. Masih tatanan Arini. Foto-foto masih terpajang di setiap sudut ruangan. Heru tersenyum ringkih melihat semua foto-foto itu. Dadanya makin sesak, matanya berkaca-kaca melihat foto Arini terpajang di dinding ruang keluarga. Sepintas bayangan saat dulu bersama Arini kembali menyapanya. Heru duduk di Sofa yang ada di ruang keluarga, dengan pandangan yang tak lepas dari foto Arini.
“Maafkan aku, Rin. Ini salahku. Sebetulnya aku yang sangat tidak ingin kehilangan kamu. Tapi aku sadar, semakin aku menahan kamu, kamu makin tersakiti. Kamu perempuan yang baik, Rin. Aku bersaksi kamu adalah perempuan baik. Kamu bisa jahat karena orang lain yang lebih dulu menjahati kamu. Seperti aku. Maafkan aku.”
Heru menangis dengan menundukkan kepalanya. Semakin lama isak tangisnya terdengar jelas. Bahkan sampai sesenggukkan.
Heru beralih masuk ke kamar. Kamar yang dulu ia pakai dengan Arini. Kamar penuh kenangan indah dengan Arini. Rumah yang ia bangun bersama-sama kini sudah tidak ada artinya. Arini tidak mau menerima rumah itu, dia menyerahkan kuncinya pada Heru tadi saat sebelum sidang keputusan di mulai. Padahal Arini juga turut andil dalam pembangunan rumah tersebut. Arini tidak mau menerima apa-apa dari Heru, termasuk harta gono-gini. Dengan berpisah dari Heru saja Arini sudah lega.
Heru mengambil foto pernikahan mereka yang ada di atas bufet. Ia melihat Arini di dalam foto itu. Ia cium foto Arini, lalu memeluknya.
“Aku tidak bisa, Rin. Maafkan aku,” ucap Heru dengan suara serak. Ia kembali menangis dengan memeluk foto Pernikahannya dulu dengan Arini. Heru duduk di bawah dengan bersandar tempat tidur.
Tak lama Heru meratapi perpisahannya dengan Arini, ponsel Heru berdering. Terlihat nama Nuri di layar ponselnya, perempuan yang sudah hadir di dalam pernikahannya dengan Arini, bahkan sampai merusaknya seperti sekarang. Heru mengabaikan telepon dari Nuri. Namun, Nuri tak henti menelepon Heru. Heru akhirnya menyerah, dia menerima panggilan Nuri.
“Ya, ada apa?” tanya Heru datar dan dingin.
“Ada apa, ada apa! Kamu dengar gak sih aku telepon kamu hampir puluhan kali?” umpat Nuri.
“Ya dengar, kenapa?”
“Kamu tanya kenapa? Harusnya aku yang tanya, kenapa gak langsung diangkat?! Kamu di mana sih? Kamu sudah selesai sidang, kan? Gak balik kantor kamu?”
“Aku lagi di rumah, nanti balik kantornya. Kamu ada perlu apa telepon aku?”
“Kamu tanya ada perlu apa? Heru, aku ini calon istri kamu, kita sudah saatnya mengurus pernikahan kita, kamu sudah sah, kan? Atau jangan-jangan kalian rujuk? Iya kamu rujuk lagi dengan Arini si perempuan mandul itu?”
“Iya sudah sah, tapi apa harus secepat ini? Kasih tenggang waktu, Nur. Sabar,” ucapnya.
“Gak bisa dong! Aku mau secepatnya!”
“Iya, iya. Nanti nunggu Papaku pulang, kita bicarakan lagi. Sudah aku mau balik kantor!”
Heru menutup teleponnya sepihak, dan membuat Nuri geram.
“Akhh! Bisa-bisanya dia mau menunda pernikahan! Nanti keburu perut aku kelihatan! Ini saja aku sudah begah menggunakan penutup perut kalau ke kantor supaya tidak terlihat? Malah dia mau nanti-nanti! Mau nunggu apa lagi sih? Lagian Arini sudah pergi, mau menunggu apa lagi sih?” umpat Nuri kesal, sampai tak sadar ada seseorang yang menguping pembicaraan Nuri dengan orang yang diteleponnya.
si Nuri ini menjijikkan banget. sana sini mau....
mudah mudahan kena penyakit mematikan....