SPIN OF OM LEON MARRY ME ...!
Gadis dari masa lalu berhasil ia temukan dan ia jadikan ratu di istananya, hanya saja ada yang hilang menurutnya walaupun ia tidak tahu entah apa.
Lantas, seorang pegawai hotel malam itu tak sengaja ia lecehkan. Ia tidak mengenalinya tetapi ada desiran aneh saat mereka saling bertatapan.
Siapa dia?
Bagaimana cara Mahen mengendalikan dan mengenali perasaan hatinya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vicka Villya Ramadhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah seharusnya
Zoya berdiri menatap Laura sambil berkacak pinggang, begitu lama ia menunggu sahabatnya ini yang katanya hanya pergi ke toilet tetapi ia menunggu hampir setengah jam.
"Ayo pulang," ajak Zoya.
Laura menggeleng. "Aku belum bisa pulang, ada pekerjaan tambahan yang harus aku kerjakan. Kamu bisa 'kan pulang sendiri?"
Zoya menghela napas. "Baiklah, tetapi apakah kamu tidak ingin aku bantu?" tanya Zoya, padahal ia sudah sangat lelah tetapi rasanya tidak enak jika meninggalkan Laura bekerja sendiri.
Laura mengibaskan tangannya. "Tidak perlu, kamu terlihat sangat lelah. Pulanglah, aku bisa mengerjakannya sendiri," jawab Laura.
Zoya pun patuh, ia memeluk Laura sebentar lalu ia pergi. Setelah memastikan Zoya pergi, Laura pun bergegas mengambil seragamnya dan langsung naik ke lantai di mana kamar 108 berada. Laura akan siap lebih dulu di sana untuk memastikan Mahen datang.
Sementara itu di restoran hotel, Mahen sudah selesai membahas beberapa poin proposal yang hampir semua tidak ia setujui. Pekerjaan sampingannya sebagai wakil Leonardo Shan mengharuskannya menemui klien yang hendak bekerja sama.
Mahen melirik jam di tangannya dan ternyata sudah pukul sembilan. Dari pagi hingga malam pekerjaannya begitu banyak bahkan ia tak sempat pulang. Rasa kantuk juga sudah menyerangnya padahal tadi ia masih kuat untuk pulang.
"Kalau begitu kami permisi dulu Tuan Mahen. Apakah Anda ingin menginap di sini atau pulang? Anda terlihat sangat lelah," tanya Zivana.
Mahen tak menjawab hingga membuat wanita itu kikuk. Ia pun berpamitan pergi bersama dua asistennya sambil menyeringai.
'Obat kantuk itu bekerja,' gumam Zivana dalam hati. 'Sebentar lagi dia pasti akan memilih menginap di kamar favoritnya itu, pelayan itu akan datang untuk memberikan obat selanjutnya. Sayang, kamu terlalu liar sehingga aku harus menjinakkanmu dengan cara ini,' imbuhnya, senyum itu tak lepas dari bibirnya.
Mahen menggelengkan kepalanya beberapa kali, ia tidak sanggup untuk pulang sehingga ia menghubungi bagian resepsionis lewat ponselnya untuk menyiapkan kamar yang memang khusus untuknya. Tuan Joe Abraham adalah pemilik hotel ini, Mahen yang merupakan anak angkatnya tentu saja bebas memilih.
Mahen pun berjalan keluar dari restoran hotel lalu ia masuk ke dalam lift khusus. Kamar itu berada di ujung tak jauh dari lift, sekilas Mahen melihat seorang karyawan kebersihan sedang berjalan ke arah kamarnya. Saat Mahen hendak masuk, karyawan yang tak lain adalah Laura itu menghentikannya.
"Tuan, toiletnya kebetulan belum dibersihkan. Boleh saya masuk?" tanya Laura dengan gugup, di tangannya ada alat pel untuk lebih meyakinkan.
Mahen hanya mengangguk, ia butuh beristirahat. Sebenarnya ia sangat ingin membersihkan diri tetapi tidak mungkin ia menunda pekerjaan gadis yang sepertinya pernah ia kenali tetapi entah di mana.
Laura masuk ke dalam toilet yang super bersih itu. Andai Mahen yang masuk lebih dulu jelas ia akan dicurigai. Sebisa mungkin Laura mendengar siapa saja yang masuk agar ia tidak kecolongan. Bisa bahaya jika seseorang meracuni pria tampan itu.
Seperti yang Laura dengar di toilet tadi, benar saja hampir sepuluh menit berselang seseorang menekan bel kamar. Laura sengaja tidak menutup rapat pintu toilet agar ia bisa mendengar dan melihat siapa yang masuk.
Dengan malas Mahen membuka pintu kamar, ia tahu jika ia menginap sudah pasti akan ada pelayanan terbaik untuknya tanpa ia minta. Seorang wanita membawa troli berisi makanan dan minuman, Mahen hanya memintanya untuk meletakkan di dekat sofa lalu mengusir wanita itu. Tak lupa Mahen mengunci pintu kamar, ia lupa ada seseorang di toilet yang harus keluar juga.
"Sepertinya minum akan membuatku lebih tenang," gumam Mahen kemudian ia duduk di sofa dan menuangkan minuman di botol itu ke dalam gelas.
Mata Laura terbelalak, ia ingat betul perintah orang itu untuk menaruh obat ke dalam minuman hingga tanpa sadar ia berlari dan merampas gelas di tangan Mahen. Tanpa pikir panjang Laura meneguk habis minuman itu hingga membuat Mahen marah padanya.
"Apa-apaan kamu hah! Lancang!" bentak Mahen.
Laura langsung berlutut. "Maafkan saya Tuan, saya tidak bermaksud lancang tetapi saya tadi mendengar jika seseorang mencoba memberi obat pada minuman Anda. Saya curiga itu adalah racun, maka dari itu saya — oh astaga, apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku meminumnya?!" pekik Laura.
Mahen mengangkat sebelah alisnya, bibirnya berkedut melihat kelakuan gadis di hadapannya ini. Polos, cerewet, ceroboh seperti … Namira.
Mahen menggeleng keras. Namira-nya sudah berada di rumah. Lagi pula gadis di depannya ini tidak mengenalinya dan ia merasa asing.
"Oh ya? Tetapi kamu tidak langsung mati, bukan? Aku akan meminumnya untuk memastikan," ucap Mahen kemudian tanpa menuang ke gelas ia meminum langsung dari botolnya. "See, tidak terjadi apapun. Kamu salah Nona," ucap Mahen kemudian ia meletakkan kembali botol itu di meja.
Laura terdiam, ia tidak mungkin salah dengar atau pelayan tadi bukan yang seharusnya datang. Namun Laura merasa lega sebab ketakutannya tidak terjadi. Hanya saja … sekarang ia merasa tubuhnya mulai panas. Ia bergerak gelisah sambil mengipasi wajahnya dengan tangan. Mahen yang melihat itu pun merasa heran sebab kamar ini sangat sejuk.
"Ada apa denganmu?" tanya Mahen.
Laura menggeleng. "Aku hanya merasa kepanasan," jawabnya.
Mahen menggeleng, sepertinya ia sedang berhadapan dengan gadis aneh. Tetapi kini ia juga merasakan hal yang sama, tubuhnya terasa gerah seakan pendingin ruangan tidak berfungsi. Apalagi kini ia melihat Laura yang juga kepanasan justru membangkitkan sesuatu di dalam dirinya.
"Shit! Kamu benar, seseorang sudah mencampuri minuman ini dengan obat perangsang," ucap Mahen panik. Jack tidak bersamanya dan ia tahu dosis yang dicampurkan ke dalam minuman ini sangat tinggi.
Laura terdiam, ia tahu maksud dari obat tersebut dan ia tahu mengapa sekarang ia bisa seperti orang kelaparan saat melihat Mahen.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Tuan?" tanya Laura bingung.
"Kamu masih virgin?" tanya Mahen yang langsung membuat Laura tertohok.
"Harusnya sudah tidak jika ledakan itu tidak terjadi," gumam Laura namun masih didengar oleh Mahen.
"Maksud kamu?" tanya Mahen, mati-matian ia menahan dirinya, ada Namira atau Anna yang harus ia jaga perasaannya.
"Hah? Oh tidak Tuan, bukan apa-apa," kilah Laura. Ingin rasanya ia mengatakan kejadian malam itu dan berterus terang, ia juga sangat ingin mengucapkan terima kasih tetapi ia merasa ragu.
Mahen tahu ini salah tetapi jika tidak dengan melakukan ini ia bisa tersiksa sedangkan ia tidak mungkin pulang dan merusak gadis yang ia cintai. Tanpa pikir panjang Mahen menarik Laura untuk berdiri dan memeluknya.
"Aku menginginkanmu malam ini, beritahu berapa bayaran yang kamu inginkan untuk itu. Kita sama-sama dalam kesulitan tetapi jika kamu masih virgin tentu ada harga yang harus aku bayar," ucap Mahen.
Laura kesulitan menelan salivanya. Ada rasa bergejolak dalam hatinya dan juga desiran aneh serta keinginan kuat untuk memeluk Mahen sangat tidak bisa ia elakkan.
"T-tuan, lakukan saja yang sudah seharusnya. Anda sudah membayar saya mahal malam itu tetapi karena ledakan dan kejadian Anda yang hampir dibunuh seseorang semua itu tidak terjadi. Lakukan saja, Anda tidak perlu mengeluarkan biaya. Ini sudah seharusnya terjadi," ucap laura pasrah.
semangat