Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasib Lusi
Sudah empat hari Lusi dirawat di sebuah rumah sakit kecil, yang datang menjenguk hanya beberapa karyawan yang lumayan dekat dengannya. Tidak ada keluarga sama sekali yang membesuk, di situ Lusi merasa merana. Baru kali ini Lusi merasa butuh support dari keluarga. Namun, dia sadar kalau semua keluarnya sudah tidak ada. Tersisa keluarga tiri yang jahatnya minta ampun. Sampai-sampai mau menjualnya pada pria hidung belang. Yatim piatu yang tak punya keluarga kandung lagi. Tersisa manusia-manusia jahat dan suka berbuat keji padanya.
Dalam diamnya, Lusi berbicara pada dirinya sendiri.
"Jika mereka masih hidup, ini mungkin tidak akan terjadi," gumam Lusi meratapi nasibnya. Wajahnya sendu, mengingat nasib buruk yang tak kunjung berakhir.
Lusi hanya bisa meratapi nasib yang tak pernah bisa dia rubah. Ditambah lagi, bayinya berada di NICU, semakin hari biaya rumah sakit semakin besar. Selain prematur, bayi Lusi juga banyak mengalami masalah.
Sampai seorang perawat memberi tahu, kalau Lusi boleh pulang. Hanya Lusi, sementara bayinya tidak. Pulang tanpa bayi, jelas membuat Lusi semakin galau. Sementara dia tak mungkin selamanya di rumah sakit sambil menunggu bayinya.
"Besok bisa pulang ya, Bu." Perawat dengan ramah memberitahu Lusi.
Lusi cuma mengangguk. Boleh pulang harusnya senang, tapi itu sama sekali bukan kabar baik. Karena Lusi ingin jika pulang juga dengan bayinya.
Pilihan yang sulit, karena Lusi juga dalam masa pemulihan. Meskipun berat, Lusi pun keluar rumah sakit setelah dirawat semingguan. Sedangan bayi laki-laki yang kurang dari 2 kilo itu harus menetap di NICu.
Meskipun sudah bisa pulang, Lusi selalu kepikiran. Dia sering ke rumah sakit untuk melihat bayinya, walau hanya dari luar. Padahal perutnya belum sembuh sempurna, tapi karena merasa kasian pada sang bayi, Lusi merasa perlu ke rumah sakit bolak-balik. Tidak mau bayinya kesepakatan. Karena mereka hanya berdua, sekarang dunia Lusi hanya berputar pada bayi laki-laki yang begitu tampan tersebut.
Padahal anak laki-laki, tapi Lusi merasa bayi tersebut tidak mirip dengannya. Bayi itu tampan, kulitnya kemerah-merahan. Hidungnya mancung seperti hidung seseorang.
Di depan kaca transparan, Lusi menatap baby boy dari luar. Sambil berbicara sendiri, ini adalah hari kesekian Lusi datang ke rumah sakit untuk memastikan kondisi buah hatinya itu. Tidak peduli tabungan mulai susut, Lusi hanya ingin buah hatinya selamat.
"Sebentar lagi kita akan sama-sama," ucap Lusi di depan ruangan. Lusi begitu rajin ke rumah sakit, usaha dan doa tak pernah putus dia panjatkan.
Doa dan harapan Lusi terhadap bayinya itu akhirnya terkabul. 45 hari lamanya bayi itu dirawat, sekarang bisa dibawa pulang. Lusi jelas sangat senang, tapi ada konsekuensinya. Lusi kehilangan pekerjaan, karena harus keluar dari pekerjaannya itu. Demi mengurus buah hati yang perlu perhatian ekstra.
Hidup pas-pasan, Lusi mengambil pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakan di rumah. Apapun itu, dia lakukan. Dengan sisa uang yang ada, Lusi benar-benar berjuang demi melanjutkan hidup bersama buah hatinya tersebut.
Jungkir balik dia usahakan untuk menyambung hidup si kecil. Rela tidak makan demi membelikan sufor terbaik dan mahal, karena bayinya butuh asupan nutrisi dan gizi lebih, mengingat bayi tersebut lahir prematur. Membesarkan bayi sekecil itu, ternyata butuh perjuangan yang lumayan besar. Lusi pun kelihatan jauh lebih kurus. Badannya tinggal 40an kilo, dengan tinggi badan 160an, jelas Lusi terlihat seperti kulit dan tulang.
Wanita yang kini menginjak 20 tahun itu, terlihat melamun sambil menggendong baby boy. Bayi laki-laki yang bahkan hanya dia beri nama panggilan saja. Lusi kemudian melirik sebuah dompet di atas meja plastik. Hanya tersisa 80 ribu. Di ATM sudah tidak ada saldo lagi. Sementara kaleng ssu sudah kosong, waktunya beli. Jika sang bayi bisa diberikan yang murah, sudah pasti uang yang dia punya sudah cukup. Namun, bayinya begitu sensitif. Tidak bisa merek sembarang dan harus yang mahal, benar-benar bayi mahal.
"Aku harus pinjam ke mana? Minggu lalu pinjam mbak Ratih saja belu aku kembalikan." Ia menerawang, kali ini pada siapa dia akan berhutang.
Lusi bingung, harus mencari uang ke mana. Ingin bekerja lagi, tapi dia harus menitipkan bayinya ke mana? Lusi kepepet, tidak tahu jalan keluarnya.
Jika tetap tinggal di sana, di tempat yang terpencil dan jauh dari perkotaan yang banyak peluang pekerjaan, Lusi pasti akan semakin terpuruk. Akhirnya, dia nekat. Lusi menjual anting terakhir miliknya, anting yang dia pakai sejak kecil. Meksipun harganya tak seberapa, apalagi tanpa surat. Setidaknya bisa dipakai untuk ongkos naik bus ke kota. Dia tak takut ketemu Edo di kota nanti, yang dia lebih khawatirkan, anaknya mati karena kelaparan.
***
Hari pertama di ibu kota. Lusi terlunta-lunta di sebuah terminal bus. Bayinya terus saja menangis, membuat beberapa orang memperhatikannya. Anak dan ibu bayi itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang lalu lalang.
Sampai malam semakin larut, Lusi yang hanya duduk di terminal dihampiri oleh salah satu petugas. Ditanya tujuannya. Karena sedari tadi tidak naik bus, malah diam saja seperti orang bingung tak punya tujuan.
"Mbaknya mau ke mana?" tanya petugas dengan prihatin.
Lusi menelan ludah, bibirnya kering. Wajahnya pucat, kelihatan lemas, mungkin karena belum makan dari pagi.
"Sini ... Sini, kita ke sana!"
Lusi dibawa ke salah satu ruangan. Dia diintrogasi salah satu petugas, mendengar wanita muda itu tak punya tujuan, beberapa petugas di sana berdiskusi.
"Ya sudah, sekarang kamu ikut ke rumah saya. Kasian bayi kamu, dia pasti lapar juga."
Tawaran itu tak langsung diterima oleh Lusi, melihat hal itu, yang lain langsung meyakinkan.
"Pak Hadi ini orang baik, kamu ikut beliau saja."
Akhirnya Lusi pun ikut ke rumah pak Hadi, di sana ada istri pak Hadi yang lumayan kaget, karena suaminya pulang bawa wanita dan bayi. Namun, karena pak Hadi sudah menjelaskan, Lusi pun diterima. Bahkan diberikan pakaian yang layak dan anaknya diberikan ssu.
"Suamimu ke mana?" tanya istri pak Hadi dengan hati-hati. Dia menatap Lusi dari atas sampai bawah. Agak kotor, mungkin karena belum mandi dan kena debu jalanan.
Sementara itu, Lusi tak berani menjawab, hanya matanya saja yang berkaca-kaca. Suami apa? Dia belum menikah. Namun, dia memang punya satu bayi. Bayi yang dia lahirkan sendiri tanpa sosok suami atau ayah dari bayi tersebut.
Bu Hadi kemudian berbicara lagi, kesan pertama memang orangnya sepertinya ramah dan baik hati.
"Ya sudah, kamu tak perlu menjawab. Sekarang makanlah, kamu lemas sekali. Pasti lapar juga."
Lusi tak bisa bohong, dia memang kelaparan. Dia makan dengan lahap seperti orang yang kalap. Bahkan, air matanya sampai tumpah ke piring. Lusi tidak menyangka, nasibnya akan seperti ini.
terimakasih juga kak sept 😇