Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari yang Berbeda
Hari itu, matahari bersinar cerah. Zoe dan Ethan sudah terbiasa dengan rutinitas akhir pekan mereka. Setelah minggu yang penuh dengan pekerjaan, mereka biasanya akan menghabiskan waktu bersama—entah itu nongkrong di kafe, jalan-jalan, atau hanya duduk di rumah sambil nonton film. Tapi hari ini berbeda. Ada sesuatu yang menggantung di udara, meskipun mereka berdua tidak secara langsung mengakuinya.
Mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke sebuah taman besar yang jarang mereka kunjungi. Zoe yang merekomendasikan tempat ini, katanya taman itu baru saja direnovasi, dan sekarang punya berbagai spot yang "Instagrammable banget". Ethan, yang tidak terlalu tertarik dengan dunia foto-foto, hanya mengangguk. "Selama ada tempat duduk buat leyeh-leyeh, aku ikut," katanya dengan nada datar.
Zoe, seperti biasa, penuh semangat. Dia sudah mempersiapkan segala sesuatu mulai dari baju yang pas untuk foto-foto, sampai sepatu yang nyaman untuk berjalan jauh. Ethan hanya tersenyum kecil melihat Zoe yang ribet dengan outfit-nya. “Kamu mau ke taman atau fashion show, Zo?” godanya.
Zoe memutar matanya. “Duh, Eth. Ini kan biar keliatan keren di foto. Kamu nggak ngerti, ya?”
Ethan tertawa. “Ya, aku nggak paham soal itu. Tapi selama kamu happy, aku nggak masalah.”
Mereka akhirnya sampai di taman. Zoe benar, taman ini memang indah. Ada banyak pohon besar yang memberikan naungan dari teriknya matahari, jalur-jalur yang diapit oleh bunga-bunga warna-warni, dan beberapa sudut yang memang terlihat pas untuk berfoto. Beberapa orang tampak duduk santai di bangku-bangku taman, sementara yang lain berjalan-jalan santai atau bersepeda.
“Lihat kan, Eth? Aku nggak salah pilih tempat!” Zoe berkata dengan penuh percaya diri, tangannya sudah siap dengan ponsel untuk mengambil foto.
Ethan mengangguk pelan. “Iya, ini tempatnya bagus. Cuma... kayaknya banyak orang yang punya tujuan sama dengan kamu, Zo,” katanya sambil menunjuk ke arah beberapa orang yang juga sibuk berfoto di spot-spot tertentu.
Zoe tertawa. “Ya, namanya juga tempat hits. Orang-orang pasti pada pengen foto di sini.”
Mereka mulai berjalan mengelilingi taman, menikmati suasana yang tenang. Zoe, seperti biasa, penuh energi, melompat-lompat kecil dari satu spot ke spot lain, mencari angle foto yang pas. Sementara Ethan, dengan gaya santainya, mengikuti di belakang, kadang-kadang menawarkan untuk memegang tas Zoe.
Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang terasa berbeda di antara mereka. Sejak percakapan mereka beberapa hari yang lalu, ada semacam ketegangan yang tak terucap. Tidak, bukan ketegangan dalam arti negatif. Lebih seperti… perasaan yang belum selesai. Keduanya merasa ada sesuatu yang tumbuh, tapi belum ada yang mau bicara lebih jauh.
Setelah hampir satu jam berkeliling dan mengambil beberapa foto, mereka memutuskan untuk duduk di sebuah bangku taman yang agak sepi, di bawah pohon rindang. Zoe membuka galeri ponselnya, melihat-lihat hasil fotonya.
“Wah, ini bagus banget. Lihat, Eth!” katanya sambil menunjukkan salah satu foto ke Ethan.
Ethan menatap foto itu sebentar, lalu mengangguk. “Bagus, Zo. Kamu emang jago kalau soal foto.”
Zoe tertawa kecil, tapi kali ini suaranya lebih lembut. "Ya, aku udah sering latihan. Kamu nggak pernah bosen ya, ngeliatin aku foto-foto terus?"
Ethan tersenyum. “Bosen? Nggak lah. Selama kamu enjoy, aku juga enjoy.”
Zoe menoleh ke Ethan, menatapnya dengan pandangan yang sedikit lebih lama dari biasanya. "Eth, aku kadang mikir... kenapa kamu selalu ada buat aku? Maksudku, kamu kan bukan tipe yang suka keramaian, tapi kamu selalu ikut apa yang aku mau. Kenapa?"
Ethan terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin karena… aku suka ngeliat kamu senang. Aku nggak pernah ngerasa repot, Zo. Setiap kali kita jalan bareng, meskipun itu bukan hal yang biasanya aku suka, aku tetep enjoy. Karena ada kamu.”
Zoe tersenyum, tapi kali ini senyumannya lebih pelan, lebih dalam. “Seriusan, Eth?”
Ethan mengangguk. “Iya. Kamu bikin hari-hariku lebih… berwarna, lebih nggak monoton. Dulu aku selalu ngerasa hidup ini cuma rutinitas, tapi sejak ada kamu, semuanya jadi beda.”
Zoe terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ethan. Ada kehangatan yang menjalar di dalam dadanya, tapi dia juga bingung harus merespons bagaimana. Dia selalu menganggap Ethan sebagai sahabat terbaiknya, orang yang selalu ada di sampingnya dalam suka maupun duka. Tapi kali ini, perasaannya terasa lebih dalam. Mungkin Ethan juga merasakannya, tapi Zoe tidak yakin bagaimana harus memulainya.
“Eth…” Zoe mulai berbicara, tapi tiba-tiba terhenti. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Perasaannya terlalu kompleks untuk diungkapkan hanya dengan kata-kata.
Ethan menoleh, menatap Zoe dengan pandangan penuh perhatian. “Kenapa, Zo?”
Zoe hanya tersenyum kecil. "Nggak, nggak ada apa-apa. Cuma... makasih. Kamu bener-bener sahabat yang terbaik."
Mereka terdiam untuk beberapa saat, menikmati angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut di sekitar mereka. Ethan mencoba menahan keinginan untuk mengatakan lebih banyak, tapi dia juga merasa sekarang bukan waktu yang tepat. Dia tidak ingin merusak momen yang mereka miliki saat ini.
Zoe tiba-tiba berdiri, memecah keheningan. “Ayo, Eth! Kita belum selesai keliling taman ini. Masih banyak spot yang harus kita lihat!”
Ethan tertawa kecil dan mengikuti Zoe yang sudah berlari kecil ke depan. "Aku heran, kamu dapet energi dari mana, Zo."
Zoe menoleh ke belakang, mengedipkan mata sambil tersenyum lebar. “Itu rahasia!”
Mereka melanjutkan perjalanan mereka mengelilingi taman. Tapi kali ini, meskipun mereka masih bercanda dan tertawa seperti biasa, ada sesuatu yang berbeda. Hubungan mereka perlahan berubah, menjadi sesuatu yang lebih dalam. Meskipun mereka berdua belum mengatakannya secara langsung, perasaan itu sudah mulai tumbuh.
Di ujung taman, mereka menemukan sebuah jembatan kayu kecil yang membentang di atas danau. Tempat itu cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang berjalan melewati. Zoe berhenti di tengah jembatan, menatap air yang tenang di bawahnya.
“Eth, lihat. Ini tempatnya tenang banget, ya?” katanya dengan nada lembut.
Ethan berdiri di samping Zoe, memandangi air yang berkilauan terkena sinar matahari. “Iya, tenang banget. Kayaknya tempat ini cocok buat… berpikir.”
Zoe tertawa kecil. “Kamu terlalu banyak mikir, Eth. Kadang kamu perlu belajar buat nggak terlalu serius sama hidup.”
Ethan tersenyum tipis. “Mungkin kamu bener. Tapi kadang-kadang, ada hal-hal yang nggak bisa diabaikan begitu aja.”
Zoe menatap Ethan dengan pandangan penasaran. “Apa maksud kamu?”
Ethan terdiam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu, Zo. Tapi akhir-akhir ini aku ngerasa… ada yang berubah di antara kita. Kamu juga ngerasain nggak?”
Zoe menatap Ethan, terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak menyangka Ethan akan mengungkapkan hal ini lebih dulu. Tapi dia tahu, dia tidak bisa terus menghindar dari kenyataan.
“Iya, Eth. Aku juga ngerasain hal yang sama,” jawab Zoe pelan.
Mereka saling berpandangan, tapi kali ini tidak ada kata-kata yang keluar. Hanya ada perasaan yang tumbuh di antara mereka, perlahan tapi pasti. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.
Ethan menunduk sejenak, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara lagi. “Zoe, aku nggak tahu gimana cara ngungkapinnya, tapi aku rasa… perasaanku buat kamu lebih dari sekadar sahabat.”
Zoe terdiam, merasakan dadanya berdebar. Perkataan Ethan membuatnya sadar, bahwa mungkin dia juga merasa hal yang sama. Tapi Zoe selalu takut, takut merusak apa yang sudah mereka miliki.
Ethan menatap Zoe dengan penuh harap, menunggu responsnya. Tapi Zoe hanya tersenyum pelan, lalu memalingkan wajahnya ke danau lagi. “Eth, mungkin kita harus pelan-pelan aja, ya?”
Ethan mengangguk, mengerti. Mereka tidak perlu terburu-buru. Mungkin, ini adalah awal dari perjalanan yang baru, yang mereka sendiri belum tahu akan ke mana membawa mereka. Yang jelas, hari itu bukan sekadar hari biasa.