Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Wanita Pelangkah
Merebahkan tubuh di atas kasur yang sudah lapuk dan sprei yang sudah lusuh, namun nyatanya tetap mampu memberikan rasa nyaman pada badan Jamilah yang pada pegal-pegal semua. Hampir satu hari ini ia berkendara hingga bagian bokongnya terasa panas dan sedikit ngilu.
"Milah, Emak boleh masuk enggak?." Emak menunggu di luar kamar Jamilah.
"Iya, Emak masuk aja. Enggak di kunci pintunya." Jamilah masih belum merubah posisinya saat ini.
Emak membuka pintu dan melihat Jamilah yang baru duduk di pinggiran kasur.
"Pasti kamu capek banget ya hari ini ?." Emak ikut duduk di sebelah Jamilah. Emak melihat rambut yang selalu ditutupi hijab itu sudah mulai ada yang berwarna putih.
Hati Emak begitu teriris melihat dan menyaksikan sendiri kesulitan anak pertamanya dalam mendapatkan jodoh untuk teman hidupnya kelak.
"Apa kamu serius untuk mempertimbangkan Romli atau itu cara mu saja untuk menolaknya?." Jamilah tetap lah anak kecil dimata Emak, Emak membelai rambut panjang yang saat ini terurai sebab Jamilah baru selesai keramas.
"Aku harus menolaknya lagi, Mak. Aku tahu Hesti pasti tidak akan pernah mau untuk dimadu, baik sekarang atau pun nanti. Dan aku rasa wanita mana pun tidak akan ada yang mau. Terlebih-lebih sekarang Hesti sedang sakit, aku seperti tidak memiliki hati nurani saja jika sampai menerima pinangan Romli." Jawab Jamilah memberikan alasan sesuai hati dan pikirannya.
"Tapi kalau kamu menolaknya, bagaimana dengan nasib mu, Milah?." Emak sudah mulai berkaca-kaca sambil menjeda ucapannya.
"Rambut mu saja sudah ada yang mulai memutih. Apa masih ada pria yang mau menerima mu nantinya?." Kepedihan yang terdalam saat ini sedang dirasakan oleh Emak. Isak tangis itu pun pecah di kamar anaknya yang pertama. Sampai terdengar keluar. Jaka, Julia dan Bapak hanya saling pandang dengan mulut yang terkunci rapat.
Jamilah memeluk Emak yang sedang menangis terisak dengan begitu sesaknya. Jamilah ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik aja, cukup ia mengadukan semua kegelisahan dan kesaktiannya pada Gusti Alloh, seperti yang sering diajarkan oleh Bapak.
"Emak jangan khawatirkan Milah. Nanti juga kalau jodohnya udah ada, ketemu, cocok, pas, dengan sendirinya Milah akan memiliki jodoh yang terbaik. Yang Insya Alloh nantinya bisa menerima kekurangan Milah. Salah satunya rambut Milah yang sudah mulai ada yang berkilau putih." Jamilah menyematkan senyum lebar dari wajah kalemnya supaya Emak tidak menangis dan mencemaskan keadaannya lagi.
"Apa kamu kuat mendengar dan menerima omongan orang-orang kampung yang selalu menggunjingkan kamu yang tidak-tidak?."
Jamilah mengangguk, mengusap sisa-sisa air mata yang masih menempel pada pipi Emak.
"Insya Alloh, Milah kuat Mak. Milah harus kuat, harus kuat. Kan ada Emak, Bapak, Jaka dan Julia yang selalu memberi Milah kekuatan. Jadi kita sama-sama akan kuat untuk bisa menerima cibiran orang tentang Milah."
Emak melihat sosok Jamilah yang masih sama, saat pertama kali Jamilah dilangkahi oleh Jayanti. Jamilah begitu tegar, legowo, nerima, dan tetap senyum selama pernikahan Jayanti berlangsung. Dengan banyaknya pertanyaan dari tetangga dan orang-orang yang ingin tahu kenapa Jamilah mau dilangkahi.
Pun malam ini, Jamilah tetap sosok yang begitu tegar. Semoga saja mata dan pikiran Emak selalu baik terhadap anak pertamanya itu. Yang benar-benar melihat Jamilah sangat sabar, tabah dalam menanti jodoh yang digariskan Gusti Alloh.
"Iya Milah, Emak juga akan kuat seperti kamu. Supaya kamu tambah kuat ya." Emak bertekad untuk selalu menyemangati anaknya itu. Padahal yang butuh semangat saat ini adalah Emak yang benar-benar merasa hancur setelah kedatangan Romli dan keluarganya.
.
.
.
Hari Sabtu sekolah libur. Waktunya Jamilah untuk bersantai di rumah. Jarang atau bahkan hampir tidak pernah Jamilah keluar rumah saat libur sekolah. Pasti waktunya lebih banyak di pakai untuk berkegiatan di rumah.
Bertanam menjadi salah satu kebiasaan Jamilah yang cukup menghasilkan bagi Emak, jadi kalau memang sudah siap dipanen jadi Emak tidak perlu membeli bumbu dapur sebab Jamilah sudah menanamnya di depan rumah atau belakang rumah. Biasanya Jamilah akan menanam bawang daun, cabai rawit, tomat, sereh, kunyit, Jahe, lengkuas dan kencur serta daun singkong yang dibisa diolah sebagai makanan olahan atau lalapan.
Tapi ada yang berbeda dengan hari Sabtu Jamilah yang sekarang, dimana saat jam di rumahnya menunjukkan pukul sembilan pagi. Disaat semua anggota keluarga sudah dengan aktivitas utamanya yaitu sarapan. Mereka kedatangan tamu yang Jamilah pun tidak tahu akan kedatangan tamu tesebut.
Kakek Utomo, Pak Ginanjar dan Alexander lah yang datang pagi ini menjadi tamu dari Jamilah.
Usai mereka mengucapkan salam secara berjamaah, Jamilah mempersilahkan semuanya masuk ke dalam rumah yang sederhana itu.
Pak Ginanjar mewakili Pak Utomo menyampaikan keinginannya kali ini untuk memberikan bimbingan secara pribadi pada Alexander untuk mengerjakan tugas sekolah yang diberikan oleh guru lain, yaitu Ibu Wiwin.
"Insya Alloh Pak Ginanjar, Pak Utomo, akan saya bantu semaksimal mungkin." Jawab Jamilah.
"Kami mungkin menunggu diluar saja Ibu guru Alexander. Supaya Alexander lebih bisa fokus dalam mengerjakan tugasnya." Ucap Pak Utomo yang lebih senang memanggil Jamilah dengan sebutan Ibuu guru Alexander.
"Iya silahkan, Pak Utomo...Pak Ginanjar..."
Pak Ginanjar dan Pak Utomo keluar, mereka duduk di depan teras ,.ikut bergabung dengan Bapak dan Emak yang melanjutkan pekerjaan Jamilah.
Alexander dan Jamilah masih sama-sama diam, belum mulai sesi mengerjakan tugasnya. Kalau Jamilah membiarkan Alexander untuk menyesuaikan suasana saat ini di dalam rumah yang jauh lebih kecil dari rumah besar Kakeknya Alexander. Beda halnya dengan Alexander yang merasa dongkol saat ini, dimana ia yang secara dipaksa oleh Kakek Utomo untuk datang kemari mengerjakan tugas bersama Jamilah sebab di rumah bukan mengerjakan tugas malah dengan sengaja membuat kotor seisi rumah dengan tanah merah.
"Kita sudah lebih dari dua puluh menit saling diam. Terlebih kamu belum ada ingin membuka LKS atau mengerjakannya. Ibu tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin mengerjakannya. Tapi sebaiknya kamu bilang pada Kakek mu secara baik-baik supaya beliau bisa mengerti apa yang menjadi keinginan mu saat ini." Jamilah dengan lemah lembutnya mengajak bicara Alexander dari hati ke hati.
Alexander membuka LKS dan langsung mengerjakan semua soal hanya soal pembagian saja yang tidak dikerjakannya.
"Aku sudah sering bilang pada mereka kalau aku ini masih anak kecil, tapi mereka tidak mengerti. Mereka semua menganggap ku seperti orang dewasa yang sudah harus mengerti, paham dengan kondisi Daddy dan Joy." Ucap Alexander lirih, disela-sela ia mengerjakan tugasnya. Namun dengan tatapan yang tetap tertuju pada soal-soal yang ada dalam LKS.
Jamilah mendengar kalimat ini untuk yang kedua kalinya, pertama kemarin sore saat di rumah Pak Utomo dan kedua hari ini lebih tepatnya saat ini.
Terasa berbeda saat Alexander menyampaikannya langsung dengan tanpa reaksi, terkesan datar, sedikit pelan namun tegas yang sepertinya sangat menyakitkan bagi Alexander.
"Mungkin kamu tidak akan percaya, kalau ibu katakan ibu bisa merasakan apa yang sedang kamu rasakan saat ini." Alexander mengangkat wajah, menatap Jamilah dengan begitu lekat.
Jamilah mengulas senyum, "Menjadi orang yang tersisih itu memang tidak enak, tapi kita tidak bisa menyalahkan orang lain untuk menyisihkan kita. Apalagi kalau mereka memiliki alasan yang sangat kuat, jelas dan dapat dimengerti. Maka dari itu, kenapa kamu tidak mencoba mencari kesenangan dengan cara yang lebih baik lagi?. Untuk menunjukkan pada mereka kalau kamu tetap bisa pintar, berprestasi, membanggakan walau harus menjadi yang tersisih. Bukan malah membuat kerusuhan untuk mendapatkan perhatian dari mereka yang Ibu yakin kamu tidak mendapatkan apa pun. Yang ada hanya bentakan, omelan dan yang ada kamu disuruh untuk lebih mengerti lagi." Lanjutnya dengan kalimat yang begitu dalam. Namun Jamilah yakin Alexander dapat menangkap dan mengerti dari setiap kalimat yang diucapkannya.
Alexander hanya diam mendengar apa yang dikatakan oleh Jamilah.
Kurang dari satu jam, semua LKS sudah terisi penuh dengan jawaban yang sangat luar biasa setelah Jamilah mengecek semuanya, benar. Dan Mereke pun langsung pamit pulang.
Jamilah mengantar mereka sampai teras rumah.
"Emaknya Jamilah, tadi Pak kepala sekolah membawa calon suami untuk Jamilah ya?. Itu duda ya?. tadi anaknya yang kecil mirip banget." Tanya tetangga samping rumah Jamilah yang sedang rujakan dengan ibu-ibu yang lain. Mereka terlihat begitu kepo dengan urusan Jamilah, apalagi setiap kali Jamilah dekat dengan pria mana pun. Pasti mereka bilang itu calon suami Jamilah.
"Iya Neng Jamilah, sekarang mah jangan milih-milih lah jadi perempuan mah. Udah syukur ada yang mau sama kita, duda perjaka enggak jadi patokan yang penting sayang sama Neng Jamilah." Salah satu dari mereka ikut menimpali.
"Bu ibu, itu yang tadi datang kesini sama Pak kepala sekolah, wali murid dan muridnya Jamilah. Bukan calon suaminya Jamilah. Jadi saya minta tolong jangan selalu menyangkut pautkan setiap orang yang datang ke rumah saya itu calon suaminya Jamilah." Emak selalu menjadi orang pertama yang selalu pasang badan dan menjadi garda terdepan untuk Jamilah. Apalagi Emak begitu terusik dengan omongan-omongan pedas ibu-ibu yang sedang rujakan itu.
"Iya kan kita mah mikirnya yang bagus-bagus Emak Jamilah. Secara kita kan pada sama-sama tahu kalau Jamilah sedang mencari jodoh yang sudah dilangkahi adik-adiknya. Anggap saja itu doa baik dari kita semuanya yang menyayangi Jamilah."
Memang tidak akan pernah ada habisnya kalau bicara dan menjelaskan sesuatu pada mereka yang tidak mengerti.
Jamilah dan Bapak menggelengkan kepala sebagai tanda kalau Emak jangan lagi meladeni omongan mereka yang dapat membuatnya menangis.
Benar saja, sampai di dapur Emak langsung sesenggukan di depan kompor sambil merebus air untuk Bapak menyeduh kopi.
"Baru semalam kita bilang, kita kuat dan harus kuat untuk apa pun omongan tentang Milah. Maafkan Milah yang sudah menjadi beban pikiran untuk Emak dan Bapak. Tapi saat ini Milah tidak ingin menikah karena usia Milah yang sudah tua, atau karena tidak laku atau karena dilangkahi. Milah ingin menikah karena Alloh dengan caranya Alloh. Terlebih lagi bukan pria yang sedang terikat dengan wanita lain." Tutur Jamilah lemah lembut dan menenangkan. Emak buru-buru mengelap ingus yang sebentar lagi keluar dari hidung.
"Milah enggak salah apa-apa, ini mah Emak yang kurang tahan banting sama omongan para tetangga. Padahal mereka udah sering bilang begitu, jadi harusnya Emak terbiasa." Emak mengusap punggung Jamilah yang membantu Bapak menuang air panas pada cangkir yang sudah diisi kopi instan.
hhh