Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kampus
...Asta...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
"Gue kira lo teman gue, Asta." Bessie ngomel dengan nada kesel.
"Memang gue teman lo."
"Dapat nilai C? Serius?"
Dia ngecek esai gue lagi sambil mengerutkan alis. Gue gak bisa menyalahkan dia. Kita ngerjain tugas Psikologi Sosial ini bareng-bareng. Dia suka banget sama ide-ide yang gue bilang waktu itu, tapi pada akhirnya, cuma dia yang berhasil nulis semua idenya dengan baik.
Gue?
Gue cuma nulis beberapa baris doang.
Asli, ini saja sudah keajaiban buat gue gak sampai dapat nilai D.
Akhir-akhir ini, gue susah banget buat fokus atau dapat motivasi. Tiap kali gue coba cari tahu kenapa, semua selalu balik lagi ke malam sialan itu. Dan gue buru-buru buang pikiran itu.
Belum lagi yang terjadi terakhir kali gue ketemu Selma. Gue ketemu kakaknya. Terus Phyton nyuruh gue buat jauhi dia.
"Lo kenapa, sih?"
Bessie balikin kertas gue sambil menyilangkan tangan di dada. Dia nunggu jawaban.
Gue menghindari tatapannya, terus milih buat fokus ke pohon di luar jendela kafe kampus, pohon yang sudah kehilangan semua daunnya.
"Asta?" tanya dia lagi.
"Gak tahu."
Bessie mengeluh pelan terus menyeruput kopinya. "Harusnya kita ke Tera's aja, kopi di sini parah banget."
Gue jilat bibir terus melirik dia. Dia benar sih, tapi entah kenapa, gue sudah lebih dari seminggu gak mampir ke Tera's. Gue juga gak ngobrol sama Selma lagi.
Di rumah, gue lebih sering mengurung diri di kamar. Gue gak mau ketemu Vey, dan gue bahkan gak bisa menatap Dino setelah kejadian itu. Kayak gue benar-benar lagi males menghadapi apa pun sekarang.
Tapi kenapa, ya?
"Asta, lo baik-baik aja?"
Gue mengangguk. Bessie merespon dengan tatapan kucing.
"Gue tahu lo memang bukan orang yang banyak ngomong, tapi akhir-akhir ini lo makin diam. Dan..." Dia nunjuk sandwich gue yang masih utuh. "Ini makan siang ketiga yang lo tinggalin minggu ini."
"Gue cuma lagi kurang semangat, mungkin."
"Depresi?"
"Enggak. Ntar juga hilang sendiri."
"Lo kangen keluarga lo?"
Gue gak kepikiran sampai Bessie menyinggung itu. Tapi iya juga, sih. Gue kangen senyum keponakan gue. Kangen ekspresi nyebelin Antari. Kangen nasihat Ellaine. Kangen pelukan hangat kakek.
Mungkin gue bisa pulang dadakan di akhir pekan ini. Tapi gue juga gak mau bikin mereka khawatir. Kalau gue pulang, pasti mereka bakal mulai lagi nyuruh gue buat terapi.
Gue tahu gue harus bilang yang terjadi malam itu, harus cerita tentang semua yang terjadi. Tapi setiap kali gue kebayang harus ngomong itu semua, gue langsung merinding.
"Gue anggap diam lo itu tanda setuju, ya?" kata Bessie.
Hah?
Oh, iya.
Pertanyaan dia tadi.
"Kayaknya semua orang juga kangen keluarga mereka, kan?"
Bessie buka mulut mau ngomong sesuatu, tapi gue langsung kasih dia tatapan serius. Gue gak mau bahas itu. Dia mengeluh pelan.
"Ya udah, gimana urusan lo sama Selma? Lo gak pernah cerita, lo sempat ngobrol sama dia di pesta atau enggak. Tiba-tiba saja lo ngilang."
"Eh... ribet."
"Kenapa?"
"Panjang ceritanya."
Bessie memperhatikan gue, jelas kepo.
"Asta, lo benaran suka sama Selma?"
"Kenapa lo kayak ragu gitu?"
"Gak tahu. Waktu riset buat proyek kemarin, gue nemu banyak hal random." Dia berhenti sebentar, mikir. "Lo pernah dengar efek jembatan gantung? Itu istilah buat menjelaskan fenomena salah gairah."
"Belum pernah dengar."
"Kata Google, ini terjadi pas seseorang menyebrang jembatan gantung, terus melihat orang lain. Rasa takut jatuh bikin jantungnya berdebar kencang, dan dia bisa keliru nganggep perasaan itu sebagai tanda jatuh cinta."
"Terus, maksud lo?"
"Maksud gue, mungkin lo sebenarnya gak suka sama Selma. Lo cuma keliru nganggep perasaan lo karena dia yang nolongin lo malam itu. Dia yang jadi cahaya pas lo lagi di kegelapan, jadi rasa aman pas lo lagi takut... Dia orang yang ada di ujung jembatan gantung itu."
Gue mendengus.
"Bessie, tanpa maksud ngejek, tapi lo baru setahun lebih dikit kuliah psikologi, dan lo sudah mulai menganalisis gue? Lebih parah lagi, lo bilang perasaan gue gak nyata?"
"Gue gak bilang gitu, kok. Cuma observasi aja." Dia angkat bahu.
Gue senyum tipis.
"Ayo, Nona observator."
Kita keluar dari kafe, sementara Bessie terus ngoceh soal bagaimana dia bakal selalu ada kalau gue butuh bantuan buat esai. Tapi dari ujung mata, gue menangkap bayangan rambut pirang itu.
Gue langsung menoleh ke depan.
Selma.
Rambutnya bergelombang kena tiupan angin, dan di antara pepohonan kering di taman kampus, dia benar-benar mencolok... bukan cuma karena kehadirannya, tapi juga auranya, dan senyum yang dia kasih ke gue.
Jantung gue langsung ngebut.
Bessie jelas salah. Ini nyata.
"Asta!" Dia melambai sambil jalan mendekat. Pakaiannya full hitam, celana jeans gombrong dan sweater lengan panjang.
Di sebelah gue, Bessie cekikikan pelan.
"Gue lihat dulu ayamnya sudah bertelur atau belum…" katanya sambil mulai jalan menjauh.
"Hah?" Gue mengernyit, bingung.
Bessie menunjuk Selma pakai mulutnya, terus nyodorin bisikan, "Gaspol!" sebelum ninggalin gue.
Gue berdehem dikit, terus balas senyum Selma pas dia sudah berdiri di depan gue.
"Hei."
"Lama banget gak ketemu, Asta."
Dia kelihatan senang banget melihat gue sampai-sampai gue gemes pengen nyubit pipinya. Tapi gue nahan diri.
"Iya, gue agak sibuk…" Gue melihat ke bawah, ke esai dengan nilai pas-pasan di tangan gue. Selma mengikuti arah tatapan gue. "…sibuk jadi mahasiswa gagal di kampus, kayaknya."
Selma menggeleng, santai.
"Santai aja, semua orang rada belepotan di awal." Dia angkat bahu. "Semester pertama memang banyak perubahan, adaptasi sama ekspektasi, ngertiin sistem, dan segala macem. Gak usah merasa bersalah."
Energinya tuh gila, bikin suasana hati gue langsung naik. Rasanya aneh banget, jadi gue menyipit dikit dan mulai ngeledek, "Jadi lo mau bilang lo juga dapat nilai jelek pas semester awal? Wah, gue gak nyangka sih…"
Selma ketawa.
"Oh, gue selalu dapat nilai bagus." Dia nepok kepalanya sendiri. "Gue ini terlalu jenius."
"Jadi, kata-kata motivasi tadi cuma berlaku buat manusia kayak gue?"
"Lo bukan manusia biasa." Selma natap gue lurus-lurus. "Kata Phyton, lo lebih kayak dewa."
Gue merasa panas naik ke leher, dan gue yakin banget muka gue gak bisa lebih merah dari ini.
Selma langsung angkat alis.
"Lo... blushing?"
"Enggak."
Selma ketawa lagi, terus maju mendekat dengan gaya usilnya.
"Asta, si dewa matahari."
Gue ikut ketawa.
"Udahan, deh."
"Deeewaaa Matahaaari..."
"Selma." Gue kasih dia tatapan peringatan. Tapi dia gak berhenti, jadi gue maju selangkah ke arahnya.
Dia langsung mundur, tapi mukanya kelihatan jelas kalau dia lagi seneng-seneng aja.
"Oh? Dewa Mataharinya marah, nih?"
Gue maju lagi, dia mundur lagi. Tapi kali ini, dia hampir jatuh. Refleks, gue langsung menangkap pinggangnya sebelum dia kebanting.
Parfum citrusnya langsung menguar ke udara, bikin gue merasa nyaman banget. Selma pas banget di pelukan gue. Senyumnya langsung memudar, matanya sedikit gugup, pipinya ikut merah.
Beberapa detik kita diam saja.
Gue bisa melihat sesuatu berkilat di matanya. Terus, tanpa sadar, gue lihat ke bibirnya. Sedikit terbuka. Gue kepikiran, bagaimana rasanya kalau...
Tapi sebelum gue bisa mikir lebih jauh, dia buru-buru melepas diri, terus batuk kecil sebelum ngomong, "Gue... harus masuk kelas."
"Oke."
Gue senyum.
"Sampai ketemu, Asta."
"Sampai ketemu, Selma."
Dia pergi, sementara gue lanjut jalan dengan jantung yang masih ngebut.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢