Janda Kembang Pilihan CEO Duda

Hari ketiga kepergian Mentari dari rumah itu, Edgar yang sudah dipusingkan dengan kehilangan istrinya, ditambah lagi maminya yang terus mengomel, membuat ia ingin melepaskan telinganya lalu dimasukkan ke dalam lemari.

Untuk menghindari omelan maminya yang seperti radio rusak, Edgar memilih berangkat ke kantor lebih cepat. Walaupun hal itu semakin membuat maminya mengomel karena berada di meja makan sendirian.

''Gimana Jim?'' tanya Edgar.

''Belum ada laporan, Tuan.'' jawab Jimmy.

''Kau tidak salah memberikan perintah kan?''

''Tidak Tuan.'' jawab Jimmy.

''Apa Mentari tidak menyukaiku ya Jim? kurang apa aku ini? aku tampan, kaya, kenapa dia seenaknya pergi begitu aja?''

Edgar menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dengan menatap keatas.

''Apa jangan-jangan dia juga nggak mau punya anak seperti Chelle''

''Boleh saya jujur Tuan?'' tanya Jimmy.

Edgar menatap Jimmy.

''Apa selama ini kau selalu berbohong?''

''Bukan itu maksud saya Tuan, saya akan menjawab pertanyaan dari Tuan yang tadi. Hanya saja saya akan menjawab sejujurnya, bukan jawaban atas dasar tidak enak tetapi berisi ketidakjujuran.''

''Hmm, jawab cepat!''

''Ehm, anda sudah mengetahui kisah nona Mentari yang sudah terekam memori menyakitkan dihidupnya. Mungkin saja nona hanya ingin berada disisi seseorang yang benar-benar mencintainya dengan tulus, Tuan. Coba anda ingat-ingat, mungkin ada ucapan-ucapan yang membuat nona Mentari sakit hati sehingga menyimpulkan jika pernikahan kalian yang hanyalah sandiwara itu benar-benar tidak akan bisa dibuat menjadi pernikahan yang normal..'' tutur Jimmy.

Edgar mencerna penuturan Jimmy yang panjang. Ia mengingat isi surat yang ditinggalkan oleh Mentari.

''Kau belajar darimana Jim?'' selidik Edgar.

''Dari kisah anda, Tuan..'' jawab Jimmy.

''Kurang ajar!'' seru Edgar.

''Tapi, ada benarnya juga apa yang kau bilang Jim, apa aku harus berusaha mencintai Mentari?'' tanya Edgar.

''Betul Tuan, jika anda ingin pernikahan ini menjadi pernikahan terakhir dihidup anda, maka, yaaa segera upayakan untuk mencintai nona Mentari. Karena jika anda tidak gerak cepat, maka, saya yang akan maju untuk mencintainya.'' jawab Jimmy.

BRAK

Bukan lagi pena melayang, kali ini Edgar menggebrak mejanya dan langsung berdiri dengan memberikan tatapan tajam seperti ingin memangsa Jimmy hidup-hidup, ia tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Jimmy, meskipun itu hanyalah candaan.

''Maaf Tuan saya hanya becanda.'' ucap Jimmy.

''Sekali saja kau berani coba-coba mendekati apa yang sudah menjadi milikku, HABIS KAU!!'' ancam Edgar.

''Siap, Tuan..''

°°

Pria paruh baya itu turun dari pesawat, diluar bandara sudah ditunggu oleh seorang supir.

''Kamu sendiri?'' tanya tuan Erick pada supirnya.

''Iya Tuan.'' jawab supir tersebut sembari membukakan pintu mobil untuk tuan Erick.

''Sekalian ke tempat biasa dulu.''

''Baik Tuan.''

Supir tersebut mengemudikan mobil menuju suatu tempat yang selalu rutin dikunjungi oleh tuan Erick. Meskipun pada prakteknya, sang supirlah yang diperintahkan untuk turun langsung, sedangkan tuan Erick hanya menunggu didalam mobil.

Selama tuan Erick berada diluar negeri, sang supir tersebut yang selalu diberikan kepercayaan mendatangi tempat ini.

''Kamu tidak lupa dengan yang saya pesan kan?'' tanya tuan Erick.

''Tidak Tuan, semua sudah saya beli dan ada dibelakang.''

''Good job!''

Mobil berhenti ditempat yang dituju, sang supir turun seorang diri. Ia membuka belakang mobil dan menurunkan dua buah kardus besar. Setelah itu ia menutup kembali.

Security yang melihat sang supir kesulitan, langsung mendekat dan membantu membawa ke dalam.

''Selamat sore Bu Maryam..'' sapa supir tersebut.

''Sore Pak Iwan..'' sambut bu Maryam ramah.

Bertahun-tahun mereka sering bertemu dengan perihal yang selalu sama. Yang bu Maryam tau jika yang selama ini berbagi rezeki pada yayasan ini adalah pak Iwan. Karena saat mengunjungi tempat ini, tuan Erick melarang pak Iwan mengenakan pakaian dinas mengemudinya. Selain itu juga, tuan Erick tidak ingin ada yang tau jika dirinya yang memberikan sumbangan secara rutin ditempat ini.

''Maa syaa Allah.. terimakasih banyak pak Iwan, saya dan anak-anak semua sudah nggak bisa berkata-kata lagi selain berterima kasih sebanyak-banyaknya. Dan juga mendo'akan semoga pak Iwan beserta keluarga selalu diberikan kesehatan, rezeki yang lancar..'' ucap bu Maryam.

''A.. e.. aamiin Bu, aamiin..'' jawab pak Iwan sedikit gugup karena merasa tidak enak.

Sementara tuan Erick menunggu didalam mobil sembari membuka file-file yang masuk dan tersimpan di memori ponselnya. Sesekali pria paruh baya itu menatap dan memperhatikan sekeliling melihat banyak sekali anak-anak yang sedang bermain outdoor.

Saat tuan Erick hendak menundukkan kepalanya, tiba-tiba ia kembali mengangkat wajahnya setelah merasa tidak asing dengan sosok perempuan yang sedang menemani anak-anak bermain.

''GHADIRA?''