Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 05
Air mata Gisela mengalir ketika merasakan sakit yang teramat dalam. Sakit bekas tamparan itu bisa saja sembuh, tetapi tidak untuk hatinya. Satu tangan Gisela menyentuh bekas tamparan itu, sedangkan satunya lagi merem*s ujung baju yang dikenakan. Untuk sekadar menyalurkan rasa sakit yang membuat seluruh syarafnya terasa berdenyut nyeri.
"Lebih baik sekarang kamu tidur saja. Aku sedang tidak ingin marah-marah lagi. Soal wanita itu, ia hanyalah sekretaris yang membantuku ke ruangan karena aku pingsan." Abram memijat pelipis untuk mengurangi rasa pusing. Entah mengapa, sejak semalam Abram merasa tidak enak badan.
"Kamu sakit?" tanya Gisela khawatir. Ia hendak menyentuh lengan Abram, tetapi langsung ditepis oleh lelaki itu. Gisela pun hanya menunduk takut apabila Abram akan kembali menamparnya.
"Jangan pernah bersentuhan denganku kecuali aku yang menyentuhmu terlebih dahulu. Ingat itu!" Telunjuk Abram mengarah tepat di depan wajah Gisela. Wanita itu pun hanya menunduk dan mengiyakan. "Sekali saja kamu berani menyentuhku maka aku tidak akan segan-segan membuatmu tidur di bawah tanah selamanya!"
Tubuh Gisela gemetar mendengar ancaman itu. Air matanya kembali mengalir, tetapi Gisela segera mengusap dengan cepat karena Abram sudah mendelik ke arahnya. Setelah Abram sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang, Gisela dengan perlahan berjalan ke sofa dan merebahkan tubuhnya di sana. Untuk saat ini Gisela satu ranjang bersama Abram karena perintah lelaki itu.
Sampai kapan aku harus bersabar dan menerima sikap Mas Abram yang seperti ini? Sampai kapan aku harus kuat? Mama ... Papa ... aku pengen tinggal sama kalian lagi saja. Aku merindukan pelukan kalian.
Cairan bening yang sudah mengajak sungai pada akhirnya lolos begitu saja. Gisela berusaha menahan isakannya agar tidak terdengar oleh Abram. Biarlah air mata menjadi saksi seberapa terlukanya dirinya saat ini.
***
Hari ini Gisela merasakan sedikit kebebasan. Bisa pergi ke mana pun yang ia mau. Selain Abram yang bersikap tidak peduli padanya, Farah juga sedang pergi ke luar kota bersama wanita cantik yang saat itu Farah klaim sebagai calon menantu idamna. Hati Gisela sebenarnya merasa sedikit tersinggung, tetapi ia hanya bisa diam dan menerima.
"Gisel?"
Gisela berbalik saat mendengar seseorang memanggilnya. Ia terpaku saat melihat seorang lelaki yang sangat gagah. Memakai Hoodie dan celana pendek juga headset yang terpasang di salah satu telinganya. Saat tatapan mata mereka bertemu, Gisela merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Masih sama seperti dulu, seperti sepuluh tahun lalu saat mereka terakhir bertemu.
"Dirga?" Gisela mengerutkan kening untuk memperjelas penglihatannya agar ia tidak salah mengenali. Lelaki yang dipanggil Dirga itu pun menarik kedua sudut bibirnya. Menunjukkan senyuman manis yang masih mampu membuat hati Gisela merasa teduh.
"Rupanya kamu masih mengenaliku. Kupikir kamu sudah lupa." Lelaki itu terkekeh. Gisela pun berusaha tersenyum meskipun samar.
"Oh iya, kamu sedang apa di sini?" tanya Dirga basa-basi. Ia mendekatkan jaraknya dengan Gisela.
"Aku? Sedang membeli semen," jawab Gisela asal. Ia kembali berpura-pura sibuk mencari buku.
"Hahaha. Ternyata kamu masih suka bercanda, Gis." Dirga hampir saja mengacak rambut Gisela, tetapi gerakannya tertahan saat Gisela sudah memundurkan tubuhnya secara cepat. "Maaf."
"Tidak apa." Gisela tersenyum paksa. "Kamu juga masih sama seperti dulu. Suka sekali bertanya hal yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya," timpal Gisela tidak mau kalah.
"Hah! Rasanya waktu cepat sekali berlalu ya, Gis." Wajah Dirga mendadak serius dan Gisela pun mulai merasa gelisah. Ada perasaan khawatir jika Dirga membahas hal yang tidak ingin ia bahas.
"Aku harus pergi, Dir. Aku tidak bisa berlama-lama di sini." Gisela mengambil satu buku secara acak lalu berjalan menuju ke kasir. Tidak peduli meskipun Dirga terus memanggilnya.
Setelah membayar buku tersebut, Gisela pun bergegas keluar dari toko buku itu. Namun, seolah tidak gentar Dirga masih terus mengejar. Bahkan, ketika Gisela hendak masuk ke mobil, Dirga langsung mencekal tangan wanita itu.
"Lepaskan aku, Dir. Aku harus pergi." Gisela berusaha melepaskan cekalan tangan Dirga.
"Tunggu dulu, Gis. Aku masih ingin berbicara denganmu. Apakah kamu tidak merindukanku?" Tatapan Dirga begitu memelas.
Gisela pun terdiam lalu menggeleng lemah. Ia bahkan sangat menghindari tatapan Dirga. "Maafkan aku, Dir. Aku tidak mau suamiku marah."
Cekalan tangan tersebut sontak terlepas. Tatapan Dirga pun begitu tidak percaya dan teramat lekat ke arah Gisela. Seolah menelisik seluruh wajah wanita itu untuk mencari kesungguhan.
"Ka-kamu sudah menikah?" tanya Dirga untuk memperjelas semuanya. Namun, Gisela hanya mengangguk dan segera masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah kata pun. Dirga hanya berdiri terpaku di tempatnya dan terus menatap mobil yang ditumpangi Gisela perlahan menjauh dari pandangan matanya.
Kenapa kita harus bertemu lagi. Padahal aku sudah bersusah payah melupakanmu. Kenapa juga kita harus bertemu di saat aku sudah menjadi milik orang lain. Ya Tuhan, sebenarnya jalan seperti apa yang Engkau gariskan untukku?
"Kita akan ke mana, Nona?"
Gisela tersentak saat mendengar pertanyaan dari sopir pribadi keluarga Abram. Dengan segera Gisela pun menghapus air matanya sebelum lelaki itu melihatnya.
"Pulang saja, Pak. Saya ingin istirahat," jawab Gisela. Sopir itu pun hanya mengangguk dan menuruti perintah majikannya.
Selama dalam perjalanan, Gisela hanya duduk bersandar sembari memejamkan mata. Bayangan masa lalu bersama Dirga kembali terputar dalam ingatan. Membuat hati Gisela merasa tidak tenang ada rasa sakit yang menyusup masuk saat kilasan ingat itu terus menari dalam pikirannya.
Sebenarnya aku masih memiliki sisa cinta untukmu, Dir. Tapi sekarang lelaki yang harus aku cintai adalah suamiku. Aku sudah berjanji akan mencintainya sebagai balas budi.