Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan penuh keheningan dan kebisuan, akhirnya mereka sampai di kediaman Hangga.
Ralat, rumah pemberian orangtuanya.
Sebuah rumah dua tingkat bergaya minimalis di perumahan elite kota Tangerang yang sudah dua tahun ditempati pria berusia 26 tahun itu.
“Kamu mau kamar yang di atas atau kamar yang di bawah?” tawar Hangga dengan raut dingin.
“Terserah Mas Hangga saja. Saya nurut saja,” jawab Harum.
“Kalau begitu, saya pilih kamar yang di atas.”
Hangga langsung naik ke lantai dua sembari mengecek ponsel yang berada di tangannya. Kemudian ia menghentikan langkah saat menyadari Harum mengikutinya di belakang.
“Kamu mau ke mana?” Pertanyaan Hangga sontak menghentikan langkah Harum.
“Saya pilih kamar yang di atas, jadi kamu pakai kamar yang di bawah,” ujar Hangga kemudian.
“Maksud Mas Hangga, bagaimana?” Harum sungguh tidak memahami maksud suaminya itu.
Hangga berdecak menatap Harum.
“Apa kamu belum paham juga? Saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Saya tidak pernah menginginkan kamu yang menjadi istri saya. Ibu adalah alasan saya menikahi kamu. Saya tidak bisa menolak permintaan ibu. Tolong jangan menyulitkan saya. Kita tidak perlu berlaku seperti pasangan suami istri sesungguhnya. Silakan kamu tempati kamar yang itu, saya akan menempati kamar yang di atas.” Setelah mengucapkan kalimat panjang lebar yang pasti menyakitkan bagi Harum, Hangga berlalu tanpa memedulikan bagaimana reaksi perempuan yang sudah menjadi istrinya itu.
Harum tergugu mendengar pengakuan Hangga. Hatinya berdenyut sakit. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang istri selain pernyataan bahwa sang suami tidak mencintainya dan tidak menginginkannya.
Seharusnya saat Hangga salah menyebut namanya dalam ijab kabul, ia menyadari bahwa Hangga memang tidak pernah menginginkannya. Nama wanita yang disebut Hangga dalam ijab kabul pastilah wanita yang diinginkan Hangga.
Harum menelan liur penuh kepiluan. Matanya terasa panas kala menatap langkah Hangga yang terus menaiki tangga. Hatinya sakit dan perih mengetahui kenyataan bahwa Hangga tidak menginginkannya.
Setitik bulir bening jatuh tanpa dapat ditahan. Harum lekas mengusapnya. Memastikan jejak bulir bening itu hilang tidak berbekas.
*
Dua minggu sudah Harum menjalani pernikahannya. Penolakan Hangga terhadapnya, tidak serta merta membuat Harum terpuruk lalu jatuh.
Gadis berparas ayu itu sudah terbiasa didera nelangsa di tiap jenjang hidupnya. Kehilangan kedua orangtua saat berusia tujuh tahun, kehilangan kakek saat ia remaja, dan terakhir, kehilangan nenek sebagai satu-satunya anggota keluarga yang tersisa.
Semua ujian kehidupan itu menjadi imun bagi kekuatan hati Harum. Membuatnya menjadi sosok gadis yang kuat dan tidak cengeng.
Meski Hangga tidak pernah menganggap keberadaannya, Harum tetap berusaha menjalankan perannya sebagai seorang istri.
Harum memasak setiap hari meski tidak sekali pun Hangga memakannya. Jangankan menikmati masakan Harum, menyentuh bahkan melirik pun tidak.
Setiap hari ia berusaha untuk mengambil pakaian kotor Hangga, meskipun yang didapatkan adalah penolakan dan omelan dari Hangga. Suaminya itu memilih untuk membawa pakaian kotornya ke laundry.
Pagi ini, Harum melihat pakaian kotor Hangga lumayan banyak di dalam keranjang cucian. Mungkin Hangga terlalu sibuk, sehingga belum sempat membawanya ke laundry langganannya. Begitu pikir Harum.
Harum berinisiatif untuk mengambil pakaian kotor itu dan berniat mencucinya. Ia hendak memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, saat tangan kekar Hangga menarik kasar tangannya.
“Saya sudah bilang, jangan pernah mengurusi urusan saya! Saya bisa makan di luar. Saya bisa mencuci pakaian saya di laundry. Saya bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan kamu. Dan yang penting saya tidak mau berhutang budi sama kamu,” ucap Hangga kesal seraya mencekal pergelangan tangan kanan Harum dengan kuat.
Meski merasa kesakitan karena cengkeraman tangan Hangga yang terlalu kuat, Harum menahan diri untuk tidak meringis, mengaduh, apalagi menangis.
“Ini bukan soal hutang budi, Mas. Ini soal kewajiban saya sebagai seorang istri. Mas Hangga boleh tidak melakukan kewajiban Mas sebagai suami, tapi tolong jangan halangi saya untuk melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri,” sahut Harum.
“Saya tidak menginginkan kamu melakukan apa pun untuk saya. Dan saya tidak akan melakukan apa pun untuk kamu!” tegas Hangga dengan sorot mata dingin. Ia sangat kesal karena Harum seolah tidak mengindahkan tegurannya meskipun ia berkali-kali mengatakan agar tidak mengurusi dirinya.
“Tapi kita suami istri, Mas. Semua hal baik yang dilakukan dalam pernikahan adalah ibadah, ganjarannya adalah pahala. Pernikahan itu ibadah. Jangan menghalangi saya untuk beribadah,” sahut Harum dengan tegas pula.
Setelah dua minggu selalu diam, kali ini ia putuskan untuk menjawab omelan Hangga. Mungkin Hangga perlu diingatkan bahwa memperlakukan istri dengan baik adalah suatu kewajiban. Bahkan perintahnya turun langsung dari Allah dan termaktub dalam Al-Qur’an.
Hangga tertegun atas ucapan Harum. Semua yang dikatakan Harum adalah benar adanya.
Hangga merasa tertampar. Ia bergeming beberapa jenak, lalu melepaskan cekalan tangannya pada Harum.
“Biarkan saya melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri. Dan saya tidak akan menuntut Mas Hangga melakukan kewajiban Mas sebagai suami,” kata Harum lagi.
“Bagaimana saya bisa melakukan kewajiban saya sebagai suami, sementara saya tidak pernah mencintai kamu.”
Hangga tentu tahu soal kewajiban dan hak suami atau istri dalam pernikahan. Jauh di sudut hatinya pun sesungguhnya ia merasa berdosa karena memperlakukan istrinya dengan tidak baik.
Tetapi, apa yang dapat dilakukannya jika kenyataannya ia memang tidak menginginkan Harum sebagai istrinya. Akan sangat berdosa jika ia memperlakukan Harum layaknya seorang istri jika otak, hati, pikiran, bahkan fantasinya adalah untuk wanita lain yang sangat dicintainya.
“Saya tahu Mas tidak mencintai saya.” Harum menjeda ucapannya sejenak, menatap wajah tampan berlesung pipi itu. “Tetapi, menikahi orang yang dicintai adalah sekedar harapan. Sedangkan mencintai orang yang dinikahi adalah kewajiban, Mas. Seharusnya Mas Hangga tahu hal itu.”
Hangga kembali tertegun dengan ucapan Harum. Kalimat yang diucapkan Harum sungguh menohok hatinya.
Harapan Hangga adalah dapat menikahi Nata, tetapi yang terjadi malah salah satu karyawan sang ibu yang menjadi istrinya.
Ia menarik napas pelan, lalu mengembuskannya pelan pula
“Ya sudah, kalau kamu tidak keberatan, silakan cuci baju saya,” ucap Hangga akhirnya.
Harum tersenyum girang. “Dengan senang hati, Mas.”
Hangga menatap Harum sejenak kemudian berlalu meninggalkannya. Sementara Harum dengan penuh semangat mulai melakukan aktivitas mencucinya. Menyikat bagian-bagian kotor di baju lalu memasukkannya ke dalam mesin pencuci. Untuk kemeja warna putih, ia mencucinya dengan tangan.
Mesin pencuci telah disetel ke mode pencucian. Kemeja putih selesai disikat lalu direndam. Harum pergi ke dapur, hendak mencuci peralatan masak yang belum sempat dicucinya usai membuat nasi goreng subuh tadi.
Saat hendak ke dapur, ia melihat Hangga tengah duduk melamun di meja makan.
“Mas Hangga mau sarapan?” tawar Harum.
Hangga tersentak dari lamunannya. Ia menatap Harum. Tatapannya tidak sedingin biasanya.
“Mas Hangga mau sarapan?” Harum mengulang pertanyaan sebab Hangga sepertinya tidak mendengar apa yang tadi dilontarkannya.
“Boleh,” jawab Hangga tanpa ragu. Harum tersenyum cerah mendapat jawaban Hangga.
“Kamu bikin sarapan apa?” tanya Hangga.
“Emm, saya buat nasi goreng. Mas mau?” Hangga menjawab dengan anggukkan kepala.
Dengan hati riang, Harum segera menyiapkan sarapan untuk suaminya. Mencucikan pakaian dan menyiapkan sarapan untuk suami saja sudah membuatnya sangat bahagia. Sikap Hangga yang tidak sedingin biasanya membuat Harum sangat bersyukur.
Hangga terdiam setelah menyuapkan satu sendok pertamanya. Mulutnya mengunyah pelan nasi goreng seolah tengah meresapi rasanya.
“Gimana, Mas, nasi gorengnya enak?” Harum memberanikan diri bertanya.
“Enak, bahkan sangat enak,” puji Hangga.
Sayang pujian itu hanya diucapkan dalam hati.
Jujur, nasi goreng buatan Harum adalah yang terlezat yang pernah dimakannya. Tetapi, Hangga yang masih gengsi memilih menjawab dengan sebuah anggukan.
Setelahnya, Hangga melanjutkan makannya dengan lahap. Saking lahapnya, sepiring nasi goreng itu tandas dalam waktu beberapa menit saja.
Harum tersenyum senang. Melihat cara makan Hangga, ia yakin jika suaminya itu menyukai nasi goreng buatannya.
Mungkin saja cinta bersemi dari sepiring nasi goreng, bukan?
Sebab cinta tidak melulu dari mata lalu turun ke hati.
Bisa jadi cinta mulai dari perut lalu naik ke hati.
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu