Semua cintanya sudah habis untuk Leo. Pria tampan yang menjadi pujaan banyak wanita. Bagi Reca tidak ada lagi yang pantas dibanggakan dalam hidupnya kecuali Leo. Namun bagi Leo, Reca terlalu biasa dibanding dengan teman-teman yang ditemui di luar rumah.
"Kamu hoby kan ngumpulin cermin? Ngaca! Tata rambutmu, pakaianmu, sendalmu. Aku malu," ucap Leo yang berhasil membuat Reca menganga beberapa saat.
Leo yang dicintai dan dibanggakan ternyata malu memilikinya. Sejak saat itu, Reca berjanji akan bersikap seperti cermin.
"Akan aku balas semua ucapanmu, Mas." bisik Reca sambil mengepalkan tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Rusmiati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Konyol
Setelah malam mulai larut, Leo mengajak Reca untuk istirahat. Ia memastikan istrinya tidur lelap malam ini. Rasa sesal menyelimuti hatinya. Sejak itu, Leo berjanji tidak akan mengeluh pada Reca. Apapun yang terjadi, Reca tidak boleh ikut terbebani.
Melihat istrinya sudah terlelap, Leo beranjak dari ranjangnya. Ia meraih ponsel yang terletak di atas meja. Ada pesan dari Pak Mardi. Dadanya terasa sesak saat membaca pesan-pesan yang dikirim oleh bapaknya.
Pak...
Sebuah pesan dikirim Leo pada Pak Mardi. Hanya berselang satu menit, panggilan dari Pak Mardi masuk ke ponselnya. Begitulah Leo. Saat penat, gundah, lelah, Pak. Mardi adalah tempat berceritanya. Ia mencurahkan semua yang menjadi keresahan hatinya.
"Terbuka boleh, tapi jangan sampai Reca terbebani ya! Kasihan dia. Kalau uangmu kurang, bilang ke Bapak ya!" ucap Pak Mardi.
Setelah menceritakan tentang perusahaan tempatnya bekerja, Pak Mardi berhasil membuat Leo lebih tenang. Sebagai bapak yang bijak, Pak Mardi tidak menuntut Leo untuk tetap bertahan jika memang sudah tidak sanggup. Tapi jika Leo belum mendapat pekerjaan lagi, Pak Mardi meminta Leo mempertimbangkan lagi jika ingin mundur dari perusahaan.
"Harga diri laki-laki itu bekerja. Berapapun hasilnya, itu urusan Tuhan. Yang penting kamu kerja. Kalau capek, ya istirahat. Nikah itu ibadah. Ibadah itu ya banyak godaannya. Kalau cape ya istirahat. Tapi bukan berarti berhenti ya," ucap Pak Mardi.
Bukan hanya itu, Pak Mardi mengingatkan Leo tentang banyak hal. Menikah itu bukan sekedar materi saja. Kebutuhan lahir memang penting, tapi kebutuhan batin juga tak kalah penting. Ketenangan istri, perlakuan manis kepada istri, kesetiaan pada istri, itu adalah kebutuhan batin yang wajib dipenuhi.
"Kamu harus inget ya, rejeki yang kamu dapatkan itu bukan cuma milik kamu. Ada rejeki istri di sana. Jadi berapapun hasilnya, kamu harus jujur dan terbuka. Gak jujur tentang keuangan juga termasuk selingkuh loh," lanjut Pak Mardi.
"Iya Pak," jawab Leo.
Setelah selesai bercerita dengan Pak Mardi, Leo meneguk segelas air hingga tandas. Ia duduk di kursi sambil menghela napas panjang. Pernikahannya belum genap satu tahun tapi Leo merasa ujiannya sudah bertubi-tubi.
Ada rahasia yang tak berani Leo buka pada siapapun. Pak Mardi mengingatkan untuk selalu terbuka. Namun sayangnya, untuk urusan ini Leo tidak bisa. Apa yang akan dikatakan Reca saat tahu permintaan Pak Alam padanya.
Bantu aku untuk menyembuhkan Ara. Tolong nikahi dia. Aku yakin dia akan sembuh di tanganmu. Tidak lama, hanya satu tahun saja. Biarkan ia menikah meskipun jadi istri kedua.
Ucapan Pak Alam mengganggu pikirannya. Kadang ia berpikir Pak Alam sengaja membuatnya bekerja kewalahan agar menyerah. Tapi saat ini, Leo belum mendapat pekerjaan lain. Benar kata Pak Mardi, harga diri laki-laki adalah bekerja. Tapi kalau keadaan di perusahaan seperti ini, apa Pak Mardi yakin akan Membiarkan Leo masih bertahan di sana?
Permintaan apa itu? Permintaan konyol. Arghhh...
Bukan hanya tekanan pekerjaan, Leo juga merasa kurang nyaman saat bertemu dengan Pak Alam. Atasannya itu memang tidak memaksa Alam untuk menikahi anaknya yang tengah depresi. Hanya meminta tolong. Itu pun dengan sangat sopan. Tidak ada amarah saat mendapat penolakan itu. Namun Leo dapat melihat jelas kekecewaan di wajah Pak Alam.
Meskipun tawaran pernikahan itu hanya sebatas kontrak, namun Leo yakin tidak akan ada yang benar-benar bahagia. Reca pasti tidak akan terima apapun alasannya. Tidak ada wanita yang rela diduakan.
Begitupun dengan Ara, ia hanya akan jadi korban saat kontrak pernikahan itu selesai. Apalagi dengan Leo. Sejenak ia berpikir bahwa Pak Alam sudah merendahkan harga dirinya. Bagaimana bisa ia menikah lagi dengan perempuan yang tengah berada di rumah sakit jiwa.
"Ah, lama-lama aku yang gila." Leo mengacak rambutnya dengan kasar.
Tidak ada sedikitpun rasa ngantuk. Lelah memang, namun pikirannya dipenuhi dengan banyak hal. Antara harus mundur atau tetap bertahan.
"Mas," panggil Reca.
Leo yang sedang bergulat dengan kegelisahannya menoleh ke sumber suara.
"Tadi dari kamar mandi, Mas minum dulu. Ayo tidur lagi!" ajak Leo.
Beruntung gelas kosong itu masih terlihat di sana, sehingga Reca langsung percaya. Mereka pun kembali ke kamar. Namun berbeda dengan Reca yang langsung terlelap, Leo tidak bisa tidur. Meskipun matanya terpejam, Leo tidak bisa pergi menikmati mimpi indah.
Leo terlelap setelah pukul dua dini hari. Ini berakibat pada Reca yang kesulitan membangunkan Leo. Akhirnya Reca berhasil membangunkan Leo dengan bisikan manjanya.
"Katanya gak mau bikin aku kecewa, Mas. Ayo bangun! Kerja, kerja, kerja!" bisik Reca yang diiringi sebuah kecupan singkat di pipi Leo.
Leo membuka bola matanya. Sebenarnya malas sekali pergi ke kantor. Namun bisikan Reca membuat Leo harus mengumpulkan serpihan semangat yang sudah hancur berantakan.
"Mau aku buatin bekal, Mas?" tanya Reca setelah melihat Leo selesai mandi.
"Gak usah. Aku sarapan di rumah aja," jawab Leo.
Sebenarnya Leo tidak ada selera makan. Paling tidak jika ditemani istrinya, masih ada sisa semangat saat melihat wajah cantik Reca.
"Mas, kalau Mas gak kuat resign aja. Kita bisa bikin surat lamaran lagi," ucap Reca.
"Mas gak akan nyerah sayang. Mas sudah semangat empat lima. Kamu jangan berpikir ikutan kerja ya! Tugas kamu cuma ngurus rumah, aku dan bayi kita nanti." Leo mengusap perut Reca.
Ah apa ini? Perlakuan manis di pagi hari membuat Reca salting. Leo memang selalu ada aja gebrakannya. Laki-laki yang dulu dikenalnya sebagai kulkas dua pintu, sekarang semakin romantis. Entah belajar dari mana yang pasti Reca semakin merasa beruntung memiliki Leo.
"Sayang, Mas berangkat dulu ya!" ucap Leo.
Reca mengangguk dan mengantarkan Leo ke depan rumahnya. Melambaikan tangan dan memberikan senyum cantiknya untuk menambah semangat Leo. Ia segera menutup pintu rumah saat Leo sudah tak terlihat lagi.
"Hai cermin-cerminku, aku bahagia hari ini." Reca berputar-putar di depan koleksi cerminnya.
Bahagia saat Leo sudah mulai memberi kode tentang anak, membuat Reca merasa harus berbagi. Rasa bahagianya terlalu besar hingga Reca tidak bisa menampungnya sendirian.
"Cermin kelinci kesayangan, nanti kalau aku punya anak temani aku ya biar gak baby blues." Reca mengusap cermin kelinci berwarna pink.
Betapa Reca sangat berharap segera memiliki anak. Bahkan dengan ucapan Leo tadi pagi saja sudah berhasil membuatnya bahagia seharian. Padahal Leo tidak menyebutkan waktu yang pasti. Namun paling tidak, Reca kembali diyakinkan bahwa Leo tidak seperti yang dipikirkannya.
Reca memang seringkali berpikir jika Leo tidak ingin memiliki anak darinya. Sehingga ia sering cemburu saat Leo dekat dengan perempuan lain.
maaf ya
semangat