Demi menuruti permintaan terakhir dari sang Ayah, Citra rela menikah dengan seorang pria matang berumur 35 tahun yang bernama Steven Prasetyo.
Dipaksa? Tentu tidak. Citra dengan ikhlas dan senang hati menerima pernikahan itu meski selisih mereka 16 tahun. Bahkan, dia sudah jatuh cinta saat pertama kali bertemu dengannya.
Namun, sebuah fakta mengejutkan saat Citra mengetahui sebuah rahasia tentang alasan Steven menikahinya. Mungkin itu juga sebabnya mengapa sikap Steven selalu dingin dan menjaga jarak selama ini.
Sesungguhnya dia kecewa, tetapi entah mengapa semangat untuk mendapatkan cinta dari pria dewasa itu tak pernah pudar. Malah makin membara. Citra bertekad akan membuat pria yang membuatnya berdebar setiap hari itu jatuh cinta padanya. Bila perlu sampai tergila-gila.
Akankah Citra berhasil menaklukkan hati Steven? Atau justru dia menyerah dan lebih memilih meninggalkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rossy Dildara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Jangan ambil aku dulu
Steven ingat betul, jika saat di restoran dia tak pernah bicara tentang hal itu. Malah mereka mengobrol hanya sebentar.
"Kok Om diem? Kenapa nggak jawab? Apa malu?" tanya Citra sambil senyam-senyum. Steven tadi hanya menoleh sebentar dan kini fokus mengemudi.
"Malunya kenapa? Aku sendiri binggung dengan apa yang kamu bicarakan."
"Kok binggung? Aku sudah dengar dari Ayah kalau Om suka padaku sejak dulu, dan itu alasan Om ingin menikahiku, kan?" tebak Citra dengan penuh percaya diri.
'Oh, ternyata Om Danu. Tapi kenapa dia harus berbohong? Padahal nggak perlu seperti ini aku juga 'kan sudah mau menikahi Citra.'
"Om ...," panggil Citra kembali, sebab tak kunjung mendapatkan jawaban.
"Oh itu, sepertinya kamu salah paham. Aku nggak suka denganmu."
Jleb!
Seperti ada menusukkan belati di dalam dadanya. Sakit sekali.
"Apa maksud Om? Terus kenapa Om ingin menikahiku?" tanya Citra binggung dan kecewa.
"Karena aku ingin menjagamu."
Degh!
Tadi dadanya sesak, sekarang berubah menjadi berbunga-bunga. Kata 'menjaga' itu entah mengapa terdengar begitu manis dirasakan Citra. Lagi-lagi hatinya meleleh.
"Menjaga? Menjaga bagaimana? Kita 'kan nggak kenal dan katanya Om nggak suka padaku."
"Memangnya menikah harus saling suka? Nggak, kan?" Steven menoleh sekilas ke arahnya dengan kening yang berkerut. "Dan seorang suami memang tugasnya menjaga istri. Mungkin kamu nggak paham karena masih kecil, tapi nanti juga saat kita sudah menikah kamu akan mengerti," jelas Steven panjang lebar. Mungkin dengan begitu Citra akan sedikit memahami. Dia bisa saja jujur, tetapi ingat ucapan Danu.
"Apa nanti Om akan suka padaku? Saat menjagaku setelah menikah?" tanya Citra penasaran.
"Ah, sudah dulu bicaranya. Aku nggak konsen menyetir." Steven cari aman, lebih baik dia mengakhiri obrolan itu.
'Menjaga sebagai seorang suami itu seperti apa kira-kira? Apa akan seperti Ayah? Atau seperti Om Gugun?' Citra yang begitu polos terlihat bertanya-tanya pada diri sendiri. Jelas sekali di tak mengerti dengan ucapan Steven yang terdengar ambigu itu.
***
"Lho, Ayah kenapa? Kok bisa seperti ini?"
Citra tampak panik dan terkejut, saat mendapati tubuh ayahnya kejang-kejang di dalam ruang perawatan.
Di sana juga ada dua omnya yang bernama Tegar dan Tian, dan tak lama seorang dokter datang lalu meminta mereka semua untuk keluar.
"Kamu yang sabar ya, Cit." Tegar menghamburkan pelukan pada keponakannya yang kini terisak tangis di depan pintu. Sama halnya dengan Tian.
"Kamu harus ikhlas," ujar Tian.
Steven sejak tadi berdiri di samping Citra, dia hanya diam tetapi menatap tak suka pada kedua pria yang kini tengah menenangkan calon istri itu. Bukan karena cemburu, melainkan karena sikapnya yang menurutnya tak tulus.
'Cih! Dasar sok baik kalian. Pasti ini semua kerjaan kalian,' batinnya.
Ini bukan sekali terjadi, tetapi sering. Di mana ada mereka berdua, pasti kondisi Danu memburuk.
Steven sendiri tak tahu apa-apa sebenarnya, hanya saja entah mengapa setiap mengetahui kondisi buruk Danu, selalu berkaitan dengan kedatangan dua pria itu. Dan itu membuatnya curiga.
"Sebenarnya kenapa dengan Ayah, Om? Kok bisa dia kejang-kejang?" tanya Citra sambil menangis tersedu-sedu. Dia ingat saat pamit untuk pergi ke restoran, kondisi Danu terlihat baik-baik saja meskipun memang pria itu sangat lemah.
"Om juga nggak tahu. Tapi sepertinya umur Ayahmu tak akan lama lagi, Cit," ujar Tegar sambil tersenyum miring. Dia masih setia mengelus punggung Citra, sedangkan Tian mengusap air mata di pipi.
Sebenarnya hubungan antara om dan keponakan itu tak sedekat itu. Namun, disaat ayahnya dinyatakan sakit keras, barulah mereka berdua seolah merangkul Citra. Memberikan sandaran untuk menenangkan hatinya.
"Om nggak boleh bicara seperti itu." Citra menggeleng cepat. Dia makin mempererat pelukannya. Tangisnya juga makin pecah. "Ayah sebenarnya hanya membutuhkan ginjal, tapi kenapa sampai sekarang ginjal itu belum ada juga untuk Ayah? Ayah sudah terlalu lama menunggu. Kasihan dia menderita, Om."
"Om dan Om Tian sedang berusaha, tapi memang mencari ginjal yang cocok itu susah. Kamu harus ekstra sabar," ujar Tegar.
"Lebih baik kamu pulang saja. Mulai sekarang kamu tinggal dengan Om, ya? Om akan menjagamu," ujar Tian sambil menyeka air mata yang terus mengalir membasahi kedua pipi Citra.
Kata 'menjaga' itu kembali didengar olehnya, hanya saja kali ini hatinya tak meleleh. Berbeda jika Steven yang mengatakannya.
"Ah nggak." Tegar menggeleng cepat seraya melepaskan pelukan dan mengajak Citra untuk duduk di kursi tunggu. "Kamu mulai sekarang tinggal sama Om saja. Om yang akan memenuhi kebutuhanmu."
Citra menggeleng cepat. "Aku nggak mau pulang, aku mau di sini saja bersama Ayah."
Keduanya menginginkan Citra untuk tinggal di rumah mereka. Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Tetapi gadis itu tak mau, dia malah hampir setiap hari berada di rumah sakit. Menemani ayahnya.
Ceklek~
Pintu ruangan itu dibuka oleh seorang dokter pria, dan mereka yang melihatnya pun segera berdiri lalu menghampiri.
"Bagaimana keadaan Ayah, Dok? Apa dia baik-baik saja?" tanya Citra cemas. Dia ingin masuk, tetapi lengannya dicekal oleh Tian.
"Dia ingin bertemu dengan Nona dan Pak Steven, silahkan kalian masuk," ucap dokter pria itu seraya membukakan pintu.
Citra dan Steven langsung buru-buru masuk dan tak sabar ingin melihat kondisi Danu.
Baru saja Dokter itu hendak ikut masuk, tetapi dengan cepat kerah belakang jasnya ditarik kasar oleh Tegar. Tian juga menarik lengannya hingga membawa dokter ke pojok ruangan.
Keduanya menoleh ke kanan dan kiri melihat situasi. Setelah dirasa cukup aman, barulah mereka bisa mengatakan segala hal.
"Kenapa dia sadar? Apa kau nggak berikan dia obat yang aku kirim tadi sore?" tanya Tegar dengan rahang yang mengeras. Dia terlihat tak suka sekali mendengar Danu ingin bertemu Citra dan Steven. Sebab itu sudah sangat jelas jika kakak kandungnya masih hidup.
"Saya memberikannya seperti biasa kok, Pak. Tapi memang Pak Danu berhasil selamat," jawab dokter itu dengan wajah ketakutan. Kedua tangannya sampai bergetar dan dia pun tak berani menatap dua pria yang tengah melototinya dengan wajah garang.
"Kenapa tadi dia nggak kau suntik mati saja!" tandas Tian dengan penuh kekesalan.
Dokter itu menggeleng cepat. "Nggak bisa, Pak. Itu nggak boleh dilakukan."
Tegar mencengkeram kuat leher dokter itu hingga membuat matanya melotot dengan wajah merah. "Pokoknya kita nggak mau tahu. Besok saat kita kembali ... Danu harus menjadi almarhum!" ancamnya.
Setelah mengungkapkan kekesalannya, mereka pun langsung melepaskan dokter itu. Kemudian berjalan cepat meninggalkannya.
***
"Ayah! Kenapa dengan Ayah? Kenapa bisa begini?" Citra begitu histeris saat melihat seluruh tubuh Danu bergetar. Wajah Danu sangat pucat.
Steven segera mengusap pelan punggung Citra ketika gadis itu tengah membungkukkan badan untuk memeluk calon mertuanya.
"S—steven, to—long te—lepon Gu—gun. Mi—minta pa—danya untuk meng—menghubungi penghulu dan pengacara Ha—harun untuk da—tang. A—ayah Su—sudah nggak ku—at." Susah payah Danu mengatakannya. Napasnya sudah tersendat-sendat dan dia merasakan sekujur tubuhnya menegang.
Tanpa banyak bicara Steven langsung mengangguk. Dengan segera dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Asisten Gugun.
"Ka—mu ha—rus me—nikah ma—lam ini ju—juga, Sa—yang," pintanya pada Citra yang masih memeluk tubuhnya sambil menangis.
Citra mengangguk cepat. "Iya, aku akan menikah sekarang. Ayah jangan banyak bicara dulu. Aku takut." Citra meregangkan pelukannya hingga terlepas, lalu menyentuh kedua lengan Danu. Senyuman itu tergambar jelas di dalam ventilator yang terpasang pada wajah pria paruh baya itu.
'Ya Allah ... jangan ambil aku dulu sebelum Steven dan Citra menikah. Aku juga belum memberikan surat wasiatku kepada Citra," batin Danu. Perlahan air matanya luluh membasahi kedua sudut mata. Dia menangis tanpa suara.
Di depan pintu, samar-samar dia melihat seseorang yang memakai jubah hitam tengah berdiri tegak. Dia seolah menunggu dan menjemputnya untuk ikut bersamanya.
...Duh, malaikat pencabut nyawa udah nungguin 🥲😭...