Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8 : Korban Terakhir
Sepintas orang akan melihatnya hanya sebuah bukit yang penuh dengan pepohonan. Bukit bagian dari hutan, namun siapa sangka sebuah jalan masuk ke area itu, dan berakhir di sebuah pintu baja.
Di balik pintu baja itu belasan ruangan besar dibangun dan benar-benar tersembunyi jauh dari peradaban. Ruangan-ruangan itu penuh dengan perangkat teknologi mutakhir. Berderet layar monitor berkilauan dengan berbagai grafik dan data yang bergerak cepat.
Suara dengung alat-alat elektronik memenuhi udara, menciptakan atmosfer dingin dan kaku. Pemancar gelombang dengan antena terpasang di setiap sudut ruangan. Lampu indikatornya terus berkedip sepanjang waktu, tampak tak pernah berhenti bekerja.
Di salah satu ruangan yang paling mewah dan megah, cahaya dari layar monitor ukuran besar memantulkan sosok laki-laki berjubah hitam yang berdiri di tengah ruangan, matanya menatap dingin pada layar di depannya.
Puluhan orang berpakaian putih sibuk di sekitar ruangan itu, mengoperasikan alat-alat canggih, namun ada yang aneh dengan mereka. Tatapan mereka kosong, seolah tanpa jiwa, bergerak dan bekerja seperti boneka yang diatur oleh benang tak terlihat. Mereka tidak berbicara, hanya mengerjakan tugas masing-masing dalam kesunyian yang mencekam.
Termasuk seorang pria beruban yang tampak mengoperasikan komputer besar itu. Matanya kosong, seperti tak berjiwa, dan dia hanya patuh pada perintah si laki-laki berjubah hitam.
Laki-laki berjubah hitam itu tersenyum puas, bibirnya menekuk tajam membentuk seringai licik. Dengan langkah lambat namun mantap, dia mendekati si pria tua beruban di depan komputer.
Tanpa ampun, laki-laki berjubah hitam itu meraih kerah kemeja pria tua itu, menariknya dengan kasar hingga wajah mereka hampir bersentuhan.
“Kau lihat semua ini?” gumam laki-laki berjubah, suaranya rendah namun penuh kemenangan. "Aku berhasil membangun semua peralatan ini. Kekuatan pemancarnya sudah lebih kuat dari yang bisa dibayangkan sebelumnya!"
Pria tua beruban itu tak bereaksi, tatapannya tetap kosong.
Si laki-laki perjubah hitam tertawa sinis, tangannya semakin mengeratkan cengkeraman di kerah pria beruban itu. “Sudah kubilang, kenapa dulu kau tak mau bergabung denganku? Aku memberimu kesempatan, tapi kau menolaknya mentah-mentah! Heh, bodoh...”
Pria beruban itu hanya diam tanpa ekspresi. Tak ada sedikit pun kilatan emosi di matanya yang keruh. Dia seperti patung hidup, yang hanya berfungsi sebagai alat, bukan manusia.
Laki-laki berjubah hitam menghempaskan pria itu dengan kasar, cengkeramannya terlepas begitu saja. Pria tua beruban itu terhuyung sedikit tapi tetap tak mengeluarkan suara apa pun.
“Kau hanya akan mati... Tunggu saja, giliranmu akan tiba. Hahaha...” Laki-laki berjubah itu tertawa lagi, dengan tatapan penuh keangkuhan. Dia berbalik, membiarkan pria beruban itu terduduk kembali di kursinya, tanpa sedikit pun kepedulian. Baginya, pria itu sudah tak lebih dari alat yang tak berguna, menunggu ajalnya datang.
Saat dia berbalik, matanya menangkap sekelompok pelayan berpakaian putih yang sedang menggotong sosok mayat. Tanpa ekspresi, mereka membawa tubuh itu keluar dari ruangan, menuju pintu di ujung yang gelap. Tubuh itu dimasukkan ke dalam mobil hitam besar, yang langsung pergi begitu mayat tersebut terkunci dalam peti mobil.
"Kini tiba waktunya," desis laki-laki berjubah hitam itu pelan, namun penuh semangat. "Giliran pengujian alatku untuk sesuatu yang lebih besar. Populasi yang lebih besar... dan akhirnya, negara ini akan segera melihat kekuatan yang tidak pernah mereka bayangkan!"
Dia kembali menatap layar monitor di depannya. Pada salah satu tayangan siaran langsung, terlihat pemandangan dari udara—sebuah kawasan ramai yang tampak sedang dipantau dari ketinggian.
Sebuah drone dibiarkan mengitari wilayah itu, memancarkan sinyal dari jauh, mengamati setiap gerakan yang terjadi di bawahnya.
Tayangan langsung lainnya menunjukkan gambaran yang berbeda, ialah berupa penglihatan seseorang, dari sudut pandang yang jelas bukan kamera biasa. Laki-laki berjubah hitam itu berhasil menyusupkan kontrolnya langsung ke otak orang-orang di kawasan itu, mengendalikan mata mereka untuk menjadi alat pengintai yang sempurna.
"Fantastis!" serunya sambil menatap layar dengan mata berbinar. "Aku bisa melihat dunia melalui mereka... aku bisa mengontrol mereka. Segera setelah ini, tidak akan ada yang bisa lepas dari kendaliku."
Laki-laki itu melangkah mendekati salah satu layar yang menampilkan gambaran yang lebih jelas, yakni sebuah sudut jalan dengan kerumunan orang, terlihat dari perspektif orang yang sedang berjalan di antara mereka. "Ini hanya awal. Dalam beberapa jam, seluruh kota akan berada di bawah kendali peralatanku... Dan setelah itu, lebih banyak kota akan menyusul.”
Dia menekan beberapa tombol di konsol di depannya, memperbesar salah satu video yang menampilkan jalanan yang ramai.
Melalui monitor, dia bisa melihat pemandangan dari sudut pandang seorang pejalan kaki yang tatapannya terarah ke sebuah gedung besar. Tangan si pejalan kaki bergetar, dan layar tiba-tiba terputus. Laki-laki berjubah hitam itu menggeram pelan, tapi seringai di wajahnya tidak memudar.
"Tak apa, hanya sedikit gangguan... pengujianku sudah berhasil sejauh ini." Matanya menyipit, dan dia kembali menekan beberapa tombol, memunculkan peta digital yang menunjukkan beberapa titik merah di kota yang dia pantau.
"Kekuatan pemancarku harus meningkat. Ini akan menjadi uji coba terakhir sebelum aku menerapkannya ke seluruh negara bahkan… seluruh dunia.”
Tatapannya kembali ke pria-pria berpakaian putih yang terus bekerja tanpa henti. “Lanjutkan pekerjaannya,” perintahnya dengan dingin, tanpa perlu menunggu jawaban.
Mereka tidak menjawab, tapi tubuh mereka bergerak seolah mesin yang diprogram tanpa kesadaran.
Laki-laki berjubah hitam itu kemudian berjalan melewati para pelayan tanpa jiwa di sekelilingnya.
"Tak ada yang bisa menghentikanku sekarang."
Di ruangan yang sunyi itu, hanya ada dirinya, para pelayan tanpa jiwa dan bunyi alat-alat canggih yang beroperasi tanpa henti. Laki-laki berjubah hitam itu terus bergerak ke tengah ruangan luas itu.
Di tengah ruangan itu ada sebuah tangga menuju semacam panggung tinggi tempat sebuah meja kendali berkilau berdiri. Laki-laki berjubah hitam itu menaiki tangga. Begitu sampai di atas dia menghela napas panjang, seolah menikmati kepuasan yang melanda hatinya.
Di sana ia bisa melihat meja kendalinya tersimpan dalam ruangan transparan, di meja itu tersimpan sebuah alat berupa penutup kepala yang tersambung kabel.
Laki-laki berjubah hitam itu berbalik. Dari ketinggian dia memantau setiap pelayan tanpa jiwanya yang bekerja tanpa henti di ruangan besar itu. Layar-layar monitor, kabel-kabel jaringan, peta-peta digital, ribuan arus data-data. Semua orang bekerja keras. Di balik wajah-wajah kosong para pelayan yang terus bergerak dia tahu bahwa kesuksesannya sudah di ambang pintu.
“Sebentar lagi,” gumamnya, matanya berkilat dengan penuh ambisi. “Semua akan segera terwujud.”
Dia berdiri tegak di sisi panggung tinggi itu, mencengkram besi pembatas seryaa menghadap semua pelayannya, yang kini menatap kosong tanpa ekspresi.
“Kalian semua, dengarkan aku!” serunya dengan suara yang penuh kemenangan, mengisi ruangan yang sebelumnya sunyi. “Sebentar lagi, aku akan berkuasa! Aku akan menguasai negara ini! Bahkan dunia ini akan tunduk padaku! Hahaha!”
Namun, tak ada sorak-sorai atau tepuk tangan yang menyambut pidato sombongnya. Semua orang hanya diam, dengan tatapan kosong seperti boneka. Laki-laki berjubah itu merasa ada sedikit kekosongan di momen kegembiraannya. Raut wajahnya mengeras, ia menggeram dengan nada marah.
“Kenapa kalian diam? Bersoraklah! Ayo, bertepuk tangan!” perintahnya dengan suara yang tegas, penuh otoritas.
Seperti mesin yang diatur oleh program, orang-orang itu serempak mulai bertepuk tangan. Suara tepuk tangan itu terdengar dingin dan mekanis, tidak ada semangat atau emosi yang menyertainya.
Semua orang tersenyum kaku, senyuman kosong yang sama seperti tatapan mereka, tanpa jiwa, tanpa perasaan. Laki-laki berjubah hitam itu menyeringai puas, lalu berjalan mondar-mandir di atas panggung, matanya menyapu ruangan besar itu dengan penuh keangkuhan.
“Tinggal satu langkah lagi,” gumamnya. Matanya kemudian menatap tajam ke arah pria beruban yang masih berdiri kaku di antara para pelayan lainnya.
“Kau...” Laki-laki berjubah hitam itu menunjuk pria beruban tersebut dengan jemari yang gemetar karena emosi. “Kau harus dikorbankan. Tapi tidak hanya kau seorang. Cucumu, kau ingat, dengarkan aku baik-baik... dia harus bersamamu dalam pengorbanan ini.”
Ia tertawa sinis, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Ini mutlak. Energi kejeniusan kalian berdua harus disinergikan dalam satu proses! Dalam pengorbanan terakhir ini, aku akan menyerap kecerdasan, kejeniusan, dan semua pikiran kalian berdua dalam satu langkah... untuk menyempurnakan kekuatanku!"
Tepuk tangan kembali terdengar, dingin dan seragam, tanpa jeda, seperti irama mesin yang diprogram. Laki-laki berjubah hitam itu menyeringai lebih lebar. Namun, tatapannya perlahan berubah, menjadi penuh kemarahan.
“Tapi, sialnya…” suaranya menurun, penuh kebencian. “Sampai saat ini, aku belum menemukan cucumu!” Laki-laki itu menghentakkan kakinya ke lantai dengan kemarahan yang meluap. “Sial! Dimana dia? Aku harus segera menemukannya sebelum waktuku habis!”
Ia menoleh ke arah sebuah mesin besar di belakangnya. Mesin itu berdiri kokoh tepat di tengah-tengah ruangan seperti kubah itu. Mesin itu menjulang tinggi, menembus langit-langit kubah, terus ke bagian luar lebih dari seratus meter, seperti menara raksasa yang seolah ingin meraih langit. Lampu-lampu menyala, berkedip di setiap bagian mesin, bagaikan denyut jantung kehidupan sosok raksasa.
Di bawah tanah, sebuah struktur besar terhubung, tersimpan rapat di dalam bumi, merupakan sebagian besar dari mesin itu, termasuk sebuah generator yang terus mendengung memasok energi untuk sang raksasa yang selalu lapar.
Laki-laki berjubah hitam itu melirik ke sekelompok insinyur di bawahnya yang sibuk menyelesaikan penyempurnaan mesin raksasa tersebut. Mata mereka, sama seperti yang lainnya, kosong. Mereka bekerja tanpa istirahat, menyambungkan kabel, melakukan perhitungan di depan komputer, dan memastikan semua berjalan sesuai rencana.
Mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukannya. Mereka hanya bergerak, dikendalikan oleh gelombang pengendalian otak yang dipancarkan oleh sejumlah alat pemancar di setiap sudut ruangan.
“Sial!” Laki-laki itu menggeram, tinjunya mengepal kuat. “Di mana kau, korban terakhirku? Aku harus segera menemukanmu!”
Tatapannya kembali ke mesin besar di tengah ruangan itu. Hawa jahat dan gelap meliputi wajahnya. Senyum licik menghiasi bibirnya, namun sorot matanya penuh dengan kebencian dan ambisi tak terpuaskan.
“Tinggal sedikit lagi… sedikit lagi, dan negara ini, bahkan seluruh dunia akan berada di bawah kekuasaanku...” katanya pelan, penuh ambisi, sambil menatap ke arah langit-langit yang tinggi. Di atas sana, sebuah kaca lengkung besar memperlihatkan pemandangan langit.
“Aku sudah menghabiskan hampir seluruh waktuku untuk riset mendalam tentang penyempurnaan alat pengendali pikiranku ini,” katanya dengan geram, lalu menoleh ke pria tua beruban di bawahnya “dan hasil riset menyimpulkan bahwa gabungan pikiranmu dan cucumu adalah satu-satunya solusi sempurna, tak ada lagi,” simpulnya, kemudian kembali menengadah ke langit-langit kubah.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!