Tiffany, tiba-tiba dijemput oleh kedua orang tua kandungnya. Berharap ini awal kebahagiaan darinya, dimana gadis miskin yang ternyata anak dari keluarga kaya.
Namun tidak, inilah awal dari neraka baginya. Meira yang selama ini tinggal bersama keluarganya, melakukan segala cara untuk menghancurkan Tiffany.
Membuatnya dibenci oleh keluarga kandungnya, dikhianati kekasihnya. Hingga pada akhirnya, mengalami kematian, penuh kekecewaan.
"Jika dapat mengulangi waktu, aku tidak akan mengharapkan cinta kalian lagi."
***
Waktu benar-benar terulang kembali pada masa dimana dirinya baru dijemput keluarga kandungnya.
Kali ini, dirinya tidak akan mengharapkan cinta lagi.
"Kalau kamu menolakku, aku akan bunuh diri." Ucap seorang pemuda, hal yang tidak terjadi sebelum waktu terulang. Ada seseorang yang mencintainya dan mengharapkan cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KOHAPU, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Marionete
Roy hanya dapat terdiam tanpa kata mendengar kalimat dari Tiffany. Saudara kandungnya ini memang benar-benar tengil.
"Kakak..." Meira kembali terisak, sedangkan Tiffany menutup bukunya. Menyaksikan hal yang lebih menarik.
Tubuh Meira tiba-tiba lemas."Meira! Kamu tidak apa-apa?" Roy mengangkat tubuhnya meletakkan di atas tempat tidur.
Sebagai kakak yang baik, sudah seharusnya dirinya menekan tombol dekat tempat tidur pasien, agar dokter segera tiba.
Menguap beberapa kali, sejatinya drama ini benar-benar membosankan baginya, yang telah tidak mengharapkan cinta dari siapapun lagi.
Namun.
Pandangan mata Roy beralih pada Tiffany."Tidak bisakah kamu sedikit saja mengalah pada Meira!?"
Tiffany mengangkat sebelah alisnya."Bukan kakak yang tertukar saat bayi kan?"
Satu pertanyaan menusuk, membuat Roy menghela napas, berusaha bersabar. Benar! Jika dirinya yang harus tinggal di panti asuhan tanpa kasih sayang orang tua, sedangkan ada anak lain yang menggantikan posisinya, dirinya tidak akan dapat menerima segalanya dengan mudah.
"Tiffany, kamu pasti bisa kan?" Pinta Roy pada adik laknatnya.
"Kakak, tinggal lah selama 18 tahun di panti asuhan. Kamu pasti bisa!" Ucap Tiffany dengan nada serius.
"Aku serius!" Tegas Roy.
"Aku juga serius! Aku yakin kakak pasti akan bisa tinggal di panti asuhan selama 18 tahun." Tiffany membuka jus buah kemasan, kemudian meminumnya.
"Dasar adik gila!" Geram Roy.
"Dasar kakak tidak punya otak." Tiffany mengangkat salah satu alisnya.
Dua orang yang menatap ke arah lain bagaikan enggan berdebat. Tapi dalam hati Roy, entah kenapa merasa begitu dekat dengan Tiffany. Saudara yang sering bertengkar memiliki watak berbeda.
Meira mendapatkan penanganan. Sedangkan Roy masih memandang sengit pada Tiffany."Aku tidak akan memberikan uang jajan padamu."
"Memang aku dapat uang jajan darimu?" Tiffany kembali meminum jus kemasan.
"Tentu saja, setiap bulan aku transfer 9 juta ke rekeningmu." Jawab Roy tidak mau kalah.
"Kartu ATM yang diberikan ayah masih ada di tangan Meira." Kalimat dari Tiffany membuat Roy menoleh padanya.
"Tapi, Meira mengatakan sudah memberikan pada---" Kalimat Roy terhenti, kala suara lemah Meira terdengar.
"Ka...kakak..." Ucapnya, berpura-pura sadarkan diri.
Roy melangkah mendekat, wajahnya tersenyum kembali mengucapkan kalimat keramat."Kita pindah rumah sakit ya? Lalu kita lakukan operasi pemasangan ring."
Kalimat yang seketika membuat Tiffany menipiskan bibir menahan tawanya.
"Tidak, tidak perlu, jikapun harus mati, aku tidak ingin mati di meja operasi. Aku ingin mati saat berada di tengah-tengah ayah, ibu, kak Roy dan kak Tiffany..." Lirihnya pelan.
Benar-benar bagaikan menonton drama romantis, dimana pemeran utama wanita ditakdirkan mati. Terkadang Tiffany berfikir, kenapa tidak sekalian membunuh Meira saja. Tapi jika begitu, bukankah Meira tidak merasakan penderitaan yang lebih buruk dari kematian?
"Meira..." Roy menghela nafas, mengepalkan tangannya."Kakak akan mengirimmu berobat ke luar negeri."
"Mampus!" Batin Tiffany menahan tawanya.
"A...aku..." Meira menelan ludah, saat ini masih pukul 7 kurang 10 menit. Tapi hujan turun dengan lebat, disertai suara petir.
Benar-benar bingung harus bagaimana, sementara Tiffany menemukan beberapa hal yang seharusnya menjadi menyenangkan. Putri palsu yang ingin hidup mewah? Dirinya akan menarik kaki Tiffany ke dasar neraka.
Seseorang mengetuk pintu, tiba-tiba saja masuk. Ini saat yang tepat, benar-benar kebetulan yang tepat.
Beno memasuki ruang rawat dengan sekujur tubuh yang basah. Tapi tetap terlihat rupawan, mengingat tipe Meira. Sweater berwarna abu yang basah kuyup, tubuhnya menggigil, menatap wanita yang dicintainya.
"Meira..." Panggil Beno Adelio.
Sedangkan Meira mengerutkan keningnya. Apa ini bagian dari perangkap Tiffany? Dirinya menoleh dengan cepat.
Tapi.
Air mata Tiffany mengalir, terlihat cemas dengan keadaan Beno."Beno, kenapa kamu kehujanan?"
"Diam! Kamu selalu membenci Meira! Entah apa yang kamu lakukan!?" Bentak Beno.
Sedangkan Tiffany menunduk mengepalkan tangannya, seakan tersirat kekecewaan di wajahnya. Ada rasa putus asa, seperti beberapa bulan lalu, kala dirinya mendekati Beno. Mungkin satu kesimpulan yang diambil oleh Meira, Tiffany masih mencintai Beno Adelio.
"Bu...bukan begitu Beno. Kamu lupa bagaimana kita bersama? A...aku..." Tiffany menunduk."Aku memang membenci Meira."
"Tiffany! Meira menderita jantung koroner! Tidakkah kamu mengerti?" Tanya Beno lirih, perlahan dirinya melangkah mendekati Meira. Sementara tangan Tiffany yang hendak menyentuhnya, ditepis olehnya.
Tiffany hanya menunduk. Sedangkan Roy, hanya dapat menatap iba pada adik kandungnya.
"Beno..." Panggil Meira lirih, ingin membalas Tiffany. Ingin membuatnya lebih menderita lagi.
"Meira, apanya yang sakit? Jika rumah sakit ini tidak dapat---" Kalimat Beno disela.
Meira menggeleng, matanya sedikit melirik ke arah Tiffany. Ini balasan karena berani macam-macam dengannya. Tapi, dengan keberadaan Beno bukankah dapat menjadi alasan baginya agar tidak dikirim ke luar negeri.
Air mata Meira mengalir."A...aku bingung dengan perasaanku. A...aku...kak Tiffany mencintaimu." Ucapnya pelan.
"Tiffany sudah mengatakan akan menyetujui hubungan kita." Beno perlahan menggenggam jemari tangan Meira.
"Tapi kakak..." Wajah sayu yang tampak pucat pasi, siapa yang tidak iba melihatnya.
"Beno...aku...bukan begitu." Tiffany mencoba mengelak, entah apa yang ada di otaknya saat ini.
"Tiffany, kamu sudah memilih dan bertunangan dengan Martin. Meira sedang sakit, jadi mengertilah." Ucap Roy pelan menepuk bahu Tiffany. Dirinya tahu ini sulit bagi adik kandungnya. Tapi tetap saja...
Tiffany menepis tangan kakaknya berlari bagaikan benar-benar mencintai Beno. Serta sakit hati karena harus mengalah. Keluar dari ruangan, terisak.
"Meira..." Beno menggenggam jemari tangan Meira. Bagaikan ini adalah detik-detik terakhir kekasihnya.
"Aku mencintaimu, temani aku." Meira terisak, dijawab dengan anggukan kepala oleh Beno.
"Kakak, aku ingin berobat di rumah sakit ini saja. Agar Beno dapat menemaniku." Lanjutnya, ingin menyempurnakan segalanya.
Sementara Roy hanya mengangguk menurut. Tiffany pihak yang tersakiti disini, tapi hanya demi kemanusiaan dirinya tidak dapat membela adik kandungnya.
Mengepalkan tangannya, berjanji dalam hatinya untuk menebus segalanya suatu hari nanti. Ada saatnya dirinya akan memanjakan adik kandungnya."Tiffany, maaf..." Satu kata yang tersimpan dalam hatinya.
***
Seseorang melangkah menelusuri lorong, wajahnya yang cantik, tapi menyiratkan keangkuhan bagaikan ratu jahat.
Menghela napas sembari tersenyum."Sudah aku bilang, jika kamu tidak mau makan sampahku, maka akan aku suapi." Gumamnya menghela napas.
Mendorong Meira agar jatuh ke dalam pelukan Beno. Tiffany tahu, benar-benar tahu bagaimana ibu kandung Beno menyanjung putranya. Merasa Beno paling sempurna yang harus mendapatkan wanita sempurna.
Bagaimana rasanya memiliki ibu mertua demikian? Ditambah dari kalangan menengah, bukan kalangan atas.
Membuat kehidupan pernikahan adiknya bahagia dengan sampahnya adalah tujuannya. Karena itu, menjatuhkan Meira dari keluarga kaya, kemudian menginjaknya hingga hancur itulah tujuan Tiffany.
Tapi.
Gadis itu menatap ke arah hujan yang turun, seseorang duduk di kursi taman rumah sakit membiarkan tubuhnya basah. Sungguh konyol, tapi sebagian besar itu salahnya.
Karena itu Tiffany membuka payung melangkah mendekati sang pemuda. Seseorang yang menonggakkan kepalanya menatap ke arahnya.
Jemari tangan Tiffany bergerak, tertuju pada dagu Jesen."Kamu cukup tampan, kenapa terpaku pada satu wanita?" Tanyanya, tersenyum, membuat Jesen menelan ludahnya.
Tiffany memberikan payungnya pada Jesen, kemudian melangkah pergi di tengah hujan yang turun. Membuat Jesen yang tengah memegang payung, tidak dapat mengalihkan pandangannya dari punggung gadis itu.
"Dia wanita jahat." Gumam Jesen merasa tidak karuan.
Sadar diri dan berbenah.
Yakin aja ke depan pasti aman jiwa raga.
Terwakilkan oleh Tifaany..
Bila perlu pipi kanan juga kiri
Bunga bangksi masih istimewa,thor.
lanjut terus di tunggu up berikutnya 😘
semangat kak, semoga kisah tiffany bisa mengikuti jejak my kenzo 👍