Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Pria itu menghela napas sepenuh dada, ternyata berkomitmen dengan partner yang umurnya jauh di bawahnya cukup menguras emosi dan merepotkan. Tidak seperti bayangannya yang bisa diatur-atur dan bakalan nurut. Jangankan nurut, dikasih tahu saja belum mau ngerti, membuat pria itu harus menekan sabar.
Mungkin kemarin ia bercita-cita mempunyai rumah tangga impian dengan melewati bulan madu romantis nan bahagia. Nyatanya, jangankan bahagia hari itu dipenuhi dengan sebuah pengkhianatan dan luka. Wening hanya segelintir korban yang terpaksa harus diurus karena kini menjadi kewajibannya.
Awalnya memang kesal, semakin hari bertambah kesal, tapi kenapa malah tidak bisa lepas. Merasa gadis itu terlalu polos dan lugu untuk ditindas. Otaknya bahkan lebih cerdik dari si akal bulus kancil, selalu saja berhasil membuat suaminya kesal. Tapi justru itu yang membuatnya unik dan cukup menarik, gadis itu seperti punya daya magnet tersendiri.
Seno pun mulai mengenang kembali cara ngetreat cewek yang baik dan benar. Pertama-tama, mungkin pria itu harus selalu bersikap manis dengan penuh perhatian. Banyak sabar dan ngalah. Ajak jalan-jalan dan belanja. Nonton ataupun membeli barang yang tengah gadis itu inginkan.
Pria dua puluh tujuh tahun itu memasuki kamarnya dengan lesu. Kenapa jadi tidak bersemangat, padahal kan masih tidur bersebelahan kamar. Masih seatap juga, kenapa jadi rasanya aneh. Ada apa dengan Seno?
Pria itu menghela napas panjang. Aura berkuasanya tetap mendominasi. Tidak ingin membiarkan kesempatan untuk Wening tenang sedikit pun. Harus mencantumkan nama Seno menjadi prioritasnya. Tidak boleh tidak, apalagi sampai memikirkan pria lain.
"Ning!" panggil pria itu mengetuk-ngetuk pintu kamar sebelah, yang sudah diakuisisi menjadi kamar istrinya sejak hari ini.
Wening yang masih sibuk menata barang-barang di kamarnya jelas mendengar dengan baik dan cukup jeli.
"Apa Om?" sahut gadis itu tanpa membuka pintu.
"Buka dulu, aku mau ngomong!" Pria itu berseru nyaring.
"Apa sih? Aku lagi repot, Om!" cebik gadis itu sembari membuka pintu.
"Siapin ganti, aku mau mandi, siapin airnya sekalian. Terus jangan lupa ganti baju kamu yang rapih, malam ini kita makan di luar," ucap pria itu runtun.
Wening terdiam beberapa detik, dirinya yang terlalu lola menerima respon pembicaraan suaminya. Atau memang hari ini pria itu terlihat berbeda.
"Bengong lagi, hallo ... ayo Ning!" ujar pria itu mengkode istrinya.
Wening mau tidak mau harus menurut. Apalagi pepatah mutlak seorang istri harus patuh pada suami itu selalu didengung-dengungkan oleh ibunya kala bertelepon. Membuat gadis itu tentu tak bisa menyela.
Ngomong-ngomong soal ibu, kenapa Wening jadi kangen. Hampir seminggu tidak berkabar. Semenjak teleponnya rusak belum saling telepon. Mungkin nanti malam gadis itu harus menghubungi keluarganya yang belakangan mendadak sering susah sinyal.
Gadis itu langsung masuk ke kamar mengikuti suaminya. Wening ke kamar mandi menyiapkan air hangat sesuai permintaan. Lalu menyiapkan gantinya, tapi mendadak ia bingung sendiri. Pakaian untuk pergi biasanya memakai yang mana?
"Om, mau pakai baju kaya apa? Jadi ceritanya kita mau dinner gitu kah?" tanya gadis itu berkedip manja.
"Ya, bisa dibilang begitu. Kamu mau, 'kan?" tawar Seno seraya membuka kancing kemejanya.
Dengan penuh percaya diri maksimal, Seno membuka kemejanya begitu saja di depan Wening. Membuat perempuan itu langsung memalingkan muka gugup dan hendak kabur.
"Ning, mau ke mana?" ujar pria itu menarik kerah baju gadis itu hingga membuatnya tak beranjak.
"Iya Om, udah Wening siapin loh airnya. Sok mandi!" kata gadis itu dengan perasaan jedag jedug.
"Mandiin!" kata pria itu spontan.
"Hah! Hehehe, Om pasti dulu Bahasa Indonesia waktu sekolah nilainya bagus ya?" tanya gadis itu jenaka.
"Tentu saja, tapi apa hubungannya dengan mandi?"
"Ada lah Om, ngarang-ngarang aja, masak segede gini mau minta dimandiin. Nanti kalau Om berhasrat gimana?"
"Hahaha! Kecil-kecil mesum! Takut tergoda ya?" seloroh pria itu terkikik gemas.
"Bukan aku yang tergoda, tapi Om yang nggak bisa tahan lihat Wening yang aduhai ini."
"Bener juga sih, bagaimana kalau kita coba dulu. Kira-kira siapa yang bakalan tergoda," ujar Seno tersenyum penuh arti.
"Hehe. Buat anak gadis kok coba-coba, jangan berani mendekat! Wening galak Om, pokoknya kalau macam-macam aku mau ngamuk!" Wening menghindar memberi jarak.
Seno sampai terpingkal-pingkal melihat istri kecilnya yang absurd. Apa katanya ngamuk? Yang ada nangis di pojokan.
"Bagaimana kalau kita belajar tipis-tipis aja," nego pria itu mengerling.
"Maksudnya?"
"Sini aku bisikin, nanti readers yang baca pada kepo."
"Ish ... nggak mau, modus ya?"
"Mana ada modus, nggak dimodusin juga kamu udah ngeh. Sini Ning!" Pria itu bergerak merapat. Membuat Wening mundur alon-alon.
"Om, katanya mau mandi, jangan becanda terus keburu malam. Katanya ngajak dinner."
"Kamu sungguh minat dan bersemangat, baiklah tunggu aku mandi sebentar. Kamu siap-siap sana. Pakai pakaian yang sudah aku belikan di lemari."
Akhirnya Seno mengalah, beranjak ke kamar mandi dengan wajah sumringah. Sepertinya pria itu bakalan awet muda kalau terus godain bocil. Bonus senyum-senyum walau kadang hampir stress dan nyaris kesal setiap hari.
Sementara Wening sendiri membuka lemarinya. Ternyata selera pria itu cukup tinggi, Seno hampir memenuhi isi lemari itu dengan style pakaian baru yang pria itu belikan khusus untuk dirinya dengan model beragam cukup elegan.
"Dia pengertian juga, baiklah malam ini aku akan menjelma menjadi gadis dewasa," gumam Wening memilih pakaian yang paling pas.
Gadis itu tengah sibuk memoles wajahnya. Tubuhnya yang tinggi dengan berat badan proporsional tentu sangat cocok dipadukan dengan gaun hitam selutut yang cukup menawan.
Tak lupa sentuhan manja di bibirnya yang mungil tapi berisi. Alis cetar dengan arsiran tipis merata. Wening benar-benar membuat Seno terpukau beberapa detik.
"Rara!" ucap pria itu menatap takjub.
"Ish ... bukanlah! Wening Om, gimana sih! Kalau belum move on nggak usah ajak jalan, pakai acara ngajak dinner segala. Menyebalkan sekali, acara malam ini batal!" sewot gadis itu mencebik kesal.
Mendadak Wening sebal, untuk pertama kalinya Wening merasa tidak suka dianggap mirip kakaknya.
"Eh, kok ngambek sih, tadi lidahku keseleo, kamu mirip banget habisnya. Maaf deh, besok nggak lupa lagi," sesal Seno mendadak bingung.
Kenapa malam ini Wening sangat berbeda, ia seperti melihat Rara. Perempuan dewasa yang pernah memenuhi hatinya.
Wening jelas cemberut, capek-capek berdandan, malah dianggap orang lain.
"Dasar om-om rabun! Ngeselin banget sih! Hish ... kesel!" Wening membanting pintu kamar.
"Ning! Maaf, buka dong pintunya. Ayo berangkat!"
"Nggak mau, BATAL!" pekik gadis itu menyahut kesal.