Xin Lian, seorang dukun terkenal yang sebenarnya hanya bisa melihat hantu, hidup mewah dengan kebohongannya. Namun, hidupnya berubah saat seorang hantu jatuh cinta padanya dan mengikutinya. Setelah mati konyol, Xin Lian terbangun di dunia kuno, terpaksa berpura-pura menjadi dukun untuk bertahan hidup.
Kebohongannya terbongkar saat Pangeran Ketiga, seorang jenderal dingin, menangkapnya atas tuduhan penipuan. Namun, Pangeran Ketiga dikelilingi hantu-hantu gelap dan hanya bisa tidur nyenyak jika dekat dengan Xin Lian.
Terjebak dalam intrik istana, rahasia masa lalu, dan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, Xin Lian harus mencari cara untuk bertahan hidup, menjaga rahasianya, dan menghadapi dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
"Bukan hanya kebohongan yang bisa membunuh—tapi juga kebenaran yang kau ungkap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Jarak Yang Tak Terlihat
Angin malam berdesir pelan, menyusup melalui celah jendela, membuat api lentera berkedip redup. Dalam kegelapan yang temaram, hanya ada dua suara yang terdengar—napas stabil Tianlan dan hembusan napas gelisah Xin Lian.
Dia masih belum bisa tidur.
Bukan karena tempat tidurnya tidak nyaman. Bukan juga karena suasananya menyeramkan. Tapi karena pria yang sedang tertidur di sebelahnya.
Kenapa dia bisa tidur dengan begitu nyenyak, sementara aku masih berguling-guling dengan otak penuh pikiran kacau?!
Xin Lian menggigit bibirnya, menggerakkan sedikit tubuhnya agar tidak terlalu dekat dengan Tianlan. Tapi baru saja dia beringsut ke belakang—
Sebuah tangan tiba-tiba menarik pinggangnya kembali.
Xin Lian membelalak. "Tianlan?!?!"
Pria itu tidak menjawab. Dia masih menutup matanya, napasnya teratur, tapi genggamannya erat, seolah-olah dia melakukannya tanpa sadar.
Oh, brengsek.
Xin Lian menegang, napasnya tercekat. Tianlan tidak hanya menariknya lebih dekat, tapi juga mengeratkan tangannya di pinggangnya, membuat mereka nyaris tidak meninggalkan celah di antara tubuh mereka.
Jantung Xin Lian langsung berdegup kencang.
Sial. Sial. Sial.
Dia bisa merasakan detak jantung Tianlan, bisa mencium aroma samar pedang dan udara malam yang melekat pada pria itu.
"Hei, Tianlan…?" bisiknya pelan.
Tak ada jawaban.
Xin Lian menatapnya curiga. Apakah dia benar-benar tidur? Atau dia hanya pura-pura?!
Dia mencoba bergerak lagi, kali ini dengan lebih hati-hati. Namun, semakin dia berusaha menjauh, semakin erat cengkeraman Tianlan.
Apa-apaan ini?! Sejak kapan pria dingin ini tidur seperti seekor ular yang melilit?!
"Ugh…" Xin Lian menggertakkan giginya, berusaha melepaskan diri tanpa membangunkan pria itu. Tapi sia-sia.
Saat itulah dia mendengar Tianlan bergumam pelan.
"Lian…"
Xin Lian langsung membeku.
Suara Tianlan sangat pelan, nyaris seperti bisikan. Tapi nada suaranya… berbeda.
Seakan ada sesuatu yang terselip di sana.
Seakan—
Tiba-tiba, ekspresi tidur Tianlan berubah. Dahinya berkerut, napasnya sedikit berat, seolah sedang bermimpi buruk.
Xin Lian menatapnya dengan bingung. Sejak kapan pria ini bisa bereaksi seperti ini? Biasanya, dia tidur seperti batu!
Tianlan tiba-tiba menggenggam tangannya.
"Lian…" gumamnya lagi, kali ini lebih jelas.
Xin Lian menahan napas. Dia sedang memanggilku?
Ada sesuatu dalam suara itu—sesuatu yang membuat dada Xin Lian terasa aneh.
Perlahan, dia mengangkat tangannya yang bebas, menelusuri dahi Tianlan yang berkerut. Dia tidak tahu apa yang pria ini mimpikan, tapi melihatnya seperti ini… rasanya tidak biasa.
Dia jarang melihat Tianlan dalam keadaan tidak terkendali.
Biasanya, pria itu selalu kokoh, selalu tegas, selalu dingin. Tapi sekarang, dia tampak… lemah?
Tanpa sadar, jari-jari Xin Lian bergerak sendiri, menyapu alis Tianlan dengan pelan.
"Tidak kusangka, kau juga bisa bermimpi buruk," bisiknya pelan, setengah mengejek, setengah iba.
Dia mengira Tianlan tidak akan bereaksi. Tapi ternyata—
Tianlan tiba-tiba membuka matanya.
Xin Lian terkesiap.
Mata hitam itu menatap lurus ke arahnya, dalam dan kelam, seperti jurang yang tak berujung.
Xin Lian langsung menarik tangannya. "A-aku tidak melakukan apa-apa!" katanya buru-buru.
Tianlan tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapnya dalam diam, lalu tiba-tiba—
Dia menyentuh pipi Xin Lian.
"Lian…" suaranya terdengar serak.
Xin Lian membeku.
APA YANG TERJADI?! KENAPA SUASANANYA JADI SEPERTI INI?!
Jari Tianlan mengusap pipinya dengan lembut, ekspresinya masih sedikit bingung, seakan pikirannya masih setengah terjebak di dalam mimpi.
Xin Lian hampir lupa bernapas.
Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang berbicara.
Lalu, mata Tianlan kembali fokus. Kesadarannya perlahan kembali ke dunia nyata.
Detik berikutnya, dia berkedip—dan dengan cepat menarik tangannya, seolah baru sadar apa yang dia lakukan.
Keheningan menggantung di antara mereka.
Xin Lian menatapnya dengan penuh kewaspadaan. "Apa yang baru saja kau lakukan?"
Tianlan diam. Lalu, dengan wajah tanpa ekspresi, dia menjawab, "Aku tidur."
Xin Lian menyipitkan matanya. "Oh ya? Dan tidur macam apa yang melibatkan tanganmu menyentuh wajahku?"
Tianlan tidak berkedip. "Itu refleks."
Xin Lian menatapnya tanpa percaya. "Refleks kepalamu!"
Tianlan berdeham pelan, lalu membalikkan tubuhnya, memunggungi Xin Lian seolah tidak mau membahasnya lebih lanjut.
"Tidur."
Xin Lian masih menatap punggungnya dengan penuh kecurigaan.
Pria ini… kenapa dia bertingkah aneh?!
Tapi setelah beberapa detik, dia mendesah, lalu akhirnya berbaring kembali.
Namun, kali ini… dia tidak langsung tidur.
Tangannya masih bisa merasakan jejak hangat dari sentuhan Tianlan.
Dan entah kenapa, jantungnya masih berdetak lebih cepat dari biasanya.
***
Pagi datang dengan cahaya matahari yang mengintip dari celah jendela. Udara masih sejuk, embun pagi menyelimuti dedaunan di luar, tapi suasana di dalam ruangan terasa aneh.
Xin Lian membuka matanya perlahan, masih merasa sedikit mengantuk setelah malam yang panjang. Namun, begitu kesadarannya kembali sepenuhnya, dia menyadari sesuatu.
Dia tidak bisa bergerak.
Lebih tepatnya—tangannya tertahan.
Dan penyebabnya?
Tianlan.
Pria itu masih tidur, tapi tangannya dengan santai melingkar di pinggangnya. Lebih parah lagi, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Xin Lian.
Xin Lian langsung membeku.
Astaga. Astaga. Astaga.
Jantungnya berdegup kencang, bukan karena romantis, tapi karena panik. Kenapa aku masih dalam posisi ini?! Kenapa dia belum melepas tangannya?!
Perlahan, dia mencoba menggeser tubuhnya, tapi begitu dia bergerak sedikit saja—
Tianlan mengerutkan kening dan mengeratkan tangannya lagi.
"…"
Oh, sial.
Xin Lian hampir menangis frustasi. Dia tidak berani bergerak lebih jauh karena takut Tianlan terbangun. Tapi kalau dia tidak bergerak, dia akan terus terjebak dalam situasi yang tidak masuk akal ini.
Tenang, Xin Lian. Kau perempuan cerdas. Kau bisa keluar dari situasi ini tanpa membangunkannya.
Pelan-pelan, dia menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba menggeser tangannya dari cengkeraman Tianlan. Sedikit… sedikit lagi…
SRET!
Tianlan tiba-tiba membuka matanya.
Mata mereka langsung bertemu.
Keheningan yang sangat canggung menggantung di udara.
Xin Lian membatu. Tianlan juga tidak bergerak, hanya menatapnya dalam diam, seakan otaknya masih berusaha memproses situasi ini.
Lalu—
Dalam waktu yang bersamaan, mereka berdua langsung bereaksi.
Xin Lian mundur secepat mungkin.
Tianlan: Lepas tangannya dengan ekspresi tenang seakan tidak terjadi apa-apa.
Hasilnya?
Xin Lian hampir jatuh dari tempat tidur, dan Tianlan dengan tenangnya bangkit sambil merapikan pakaiannya.
"Sudah pagi," katanya datar, seolah mereka tidak baru saja berbagi momen super canggung.
Xin Lian melotot padanya. "Kau—kau tidur seperti batu, tapi bisa-bisanya melilit orang seperti ular!"
Tianlan menatapnya tanpa ekspresi. "Kau yang tidak bisa diam semalaman."
Sialan. Jadi ini salahku?!
Xin Lian hampir kehilangan kata-kata. Dia ingin membantah, tapi mengingat kejadian semalam… yah, dia memang sempat bergerak beberapa kali.
Tapi tetap saja! Itu bukan alasan bagi Tianlan untuk memeluknya seperti bantal!
Xin Lian menghela napas panjang, lalu menegakkan tubuhnya. "Aku tidak akan mendebatmu pagi ini, karena aku ingin menjaga suasana hatiku tetap baik."
Tianlan tidak menanggapi, hanya mengambil pedangnya dan berjalan keluar.
Xin Lian mendelik ke arah punggungnya. Dasar batu es tidak tahu malu.
Namun, sebelum Tianlan benar-benar pergi, dia berhenti di ambang pintu dan menoleh sedikit.
"Lian."
Xin Lian mengangkat alis. "Apa?"
Tianlan diam sejenak, lalu berkata, "Semalam… kau menyentuh wajahku."
Xin Lian langsung membatu.
Oh, tidak.
Tianlan menatapnya dengan mata penuh makna, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Xin Lian masih duduk terpaku di tempatnya, otaknya kosong.
Lalu, saat kesadarannya kembali, wajahnya memerah.
Sial! Jadi dia sadar?!