Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.
Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Tak percaya
Dalton dan Ruby tiba di kediaman Sebastian. Keduanya duduk di ruang tunggu dengan wajah penuh kekesalan. Hampir setengah jam lamanya mereka habiskan hanya untuk melewati pemeriksaan yang berlapis-lapis. Kedatangan mereka tidak terlihat seperti kunjungan keluarga, melainkan seperti kunjungan rakyat pada pejabat penting.
"Hari ini benar-benar hari yang menjengkelkan bagiku," ketus Ruby, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang megah. "Setelah bertemu dengan wanita menyebalkan bernama Evelyn, aku harus melewati pemeriksaan panjang hanya untuk bertemu paman menjijikkan kita. Aku diperlakukan seperti rakyat jelata. Bukankah ini penghinaan, Dalton?"
Dalton tidak menjawab. Ia bangkit dari sofa dan berjalan perlahan, mengamati interior rumah dengan rasa iri yang mencuat. Kediaman Sebastian jauh lebih megah daripada rumah keluarganya, dan Dalton tidak sabar membayangkan dirinya tinggal di sini jika ayahnya menjadi pewaris utama keluarga.
Dalton tersenyum lebar, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tatapannya tertuju pada sebuah lukisan besar berupa potret Samuel, kakak mendiang Sebastian, yang tergantung megah di dinding. Sosok Samuel tampak sangat mirip dengan pria bernama Xander yang baru saja mereka temui. Dilihat lebih saksama, keduanya benar-benar seperti dua wajah dari satu jiwa yang terpisah oleh generasi.
Ruby mendengus pelan, berjalan mendekati Dalton dengan langkah tergesa. Ia ikut tertegun saat matanya menangkap potret Samuel. "Astaga, Dalton. Pria bernama Xander itu benar-benar mirip dengan paman Samuel kita. Dari cara berdirinya, sorot matanya, hingga garis wajahnya."
Dalton berdecak, rahangnya mengeras. "Kau benar, Ruby. Ini tidak masuk akal, tapi aku merasa ada sesuatu yang harus kita ungkap."
Ruby menoleh dengan tatapan serius. "Dalton, aku rasa kita harus segera memberi tahu keluarga. Jika Xander memang putra Paman Samuel, kemungkinan besar rencana pengalihan kekuasaan ke ayahmu bisa terancam gagal. Kau tentu..."
Perkataan Ruby terpotong ketika pintu ruangan terbuka. Sebastian masuk bersama dua pengawal pribadi.
"Apa yang membawa kalian kemari, Dalton, Ruby?" tanya Sebastian duduk di sofa, melirik sekilas kedua keponakannya yang berada tak jauh dari fotonya. la sudah menerima pesan dari Govin mengenai kejadian di Phoenix Vanguard, termasuk kemungkinan Dalton dan Ruby yang akan mengunjungi meskipun kehadiran mereka sangat kecil.
Dalton dan Ruby saling melirik sebelum duduk di sofa.
"Entah mengapa aku menjadi rindu pada paman Samuel," ucap Ruby dengan senyum tipis yang terkesan dibuat-buat. "Aku ingin membayangkan bagaimana rasanya jika dia masih berada di rumah ini. Bagaimana menurutmu, Paman Sebastian?"
Sebastian tertawa kecil, suara tawanya terdengar dalam dan penuh kendali. "Aku juga sering memikirkannya. Rumah ini terasa terlalu sepi setelah kepergian Samuel. Sayangnya, waktu tidak bisa diulang, dan aku harus melanjutkan hidup meskipun tanpa kakakku."
Obrolan terhenti sejenak ketika dua pelayan datang membawa troli berisi makanan dan minuman. Setelah menata meja, mereka segera meninggalkan ruangan.
Sebastian meneguk teh hangatnya sebelum melanjutkan, "Aku sebenarnya berniat pindah dari rumah ini beberapa bulan lalu. Tempat ini terlalu besar untukku seorang diri. Setelah pertemuan keluarga selesai, aku akan memilih tinggal di rumah kecil dekat pantai."
Dalton berdecak dan Ruby memutar bola mata malas.
"Aku tahu kau sedang merencanakan sesuatu untuk mengadakan pertemuan hari nanti. Kau mungkin terlihat diam-diam dan pasrah dengan keadaan, tapi aku yakin kau tidak akan menyerahkan kekuasaan itu dengan mudah," ujar Dalton sambil menggebrak meja.
"Kami tahu kau orang yang sangat licik," tambah Ruby.
Dua pengawal di belakang Sebastian langsung bergerak maju, tetapi tak lama setelahnya kembali ke tempat semula saat Sebastian memberi tanda untuk mundur. Sebastian tertawa pelan.
“Kalian harus mencoba kue buatan pelayanku dan teh segarnya. Ini sangat lezat, apalagi di hari yang sangat panas ini."
Dalton dan Ruby menatap geram ke arah Sebastian, pria yang mereka anggap paman menjijikkan. Tindakannya selalu tidak terduga, mirip dengan Samuel, kakaknya. Mereka tahu, Sebastian dan Samuel memiliki kemampuan yang sama: membalikkan keadaan dan keluar sebagai pemenang dari situasi yang tampaknya mustahil.
"Kalian tampaknya sedang memikirkan sesuatu yang serius. Apa yang kalian perhatikan dari foto itu?" tanya Sebastian sambil menunjuk potret Samuel yang tergantung di dinding. Govin sudah memberitahunya bahwa Xander tidak sengaja bertemu dengan Dalton dan Ruby di suatu tempat. Sesuai dugaannya, keduanya mengerahkan orang-orang untuk mencari tahu identitas Xander. Untungnya, dia bergerak cepat untuk menghalangi tindakan keduanya.
Ruby hendak berbicara, tetapi Dalton menahan lengannya. Ia memberi isyarat agar Ruby diam.
"Siapa wanita bernama Evelyn yang kami temui di Phoenix Vanguard?" tanya Dalton tiba-tiba, menatap Sebastian dengan pandangan menyelidik. "Apa dia wanita simpananmu? Jika iya, aku ingin meminjamnya semalam. Dia bisa menemaniku tidur. Kau tentu tidak keberatan meminjamkannya untuk keponakanmu, bukan?"
"Dalton!" Ruby menjerit kecil, matanya membelalak dengan marah, meski suaranya tetap tertahan.
Sebastian tidak terlihat terganggu. Wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah sudah menduga ucapan kasar itu akan keluar dari mulut Dalton. "Evelyn adalah cucu dari seorang pria yang pernah menolongku dan Samuel saat berada dalam situasi sulit beberapa tahun lalu," jawabnya santai. "Dia kebetulan berada di sana, dan aku mengenalinya. Untuk itu, aku hanya memberinya sedikit sambutan hangat."
Dalton dan Ruby saling pandang, tertegun sesaat. Penjelasan Sebastian sesuai dengan informasi yang mereka dapatkan sebelumnya dari Sophia.
"Kalau soal permintaanmu tadi," lanjut Sebastian, sambil menyandarkan tubuhnya di sofa, "kau harus menanyakannya langsung pada Evelyn, bukan padaku. Apa kau sudah meminta Evelyn secara langsung, Dalton?"
Sebastian kembali menyesap tehnya, tatapan tajamnya tak lepas dari Dalton dan Ruby.
"Kau benar-benar menyebalkan seperti biasanya, tetapi sayangnya, sekarang kau sendirian," gerutu Dalton, mendengus kesal. Pandangannya kembali tertuju pada foto di dinding. Dari segala sisi, mendiang pamannya memiliki kemiripan yang mencolok dengan pria bernama Xander. Namun, sialnya, Xander menghilang tanpa jejak sejak pertemuan terakhir mereka.
"Pria itu... Xander," gumam Dalton pelan. "Dia benar-benar seperti tiruan Paman Samuel. Bagaimana mungkin ini hanya kebetulan?"
Dalton bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu keluar. "Aku ingin berkeliling rumah ini, memastikan aku tidak tersesat saat aku pindah ke sini."
Ruby mendengus, bangkit mengikuti Dalton. "Apa yang kau lakukan, Dalton?" tanyanya dengan nada jengkel begitu mereka berada di luar ruangan. "Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu."
Dalton tidak menjawab. Ia terus berjalan melewati lorong panjang, mengamati dengan seksama setiap lukisan, guci, dan patung yang tertata rapi di sepanjang lorong.
"Dalton, katakan sesuatu atau aku akan marah padamu," desak Ruby, bergegas menyamakan langkahnya. "Dan kenapa kau menghalangiku berbicara saat paman bodoh kita mulai membicarakan soal Evelyn?"
Dalton menghentikan langkah, menoleh sekilas ke arah Ruby. "Jika kau ingin menyelidiki pria bernama Xander itu, kita sedang berada di tempat yang tepat. Kalau dia memang ada hubungannya dengan paman kita, pasti ada petunjuk di rumah ini. Tapi pastikan kau tidak bertindak mencurigakan."
Ruby memutar bola mata, tapi diam-diam mengakui kecerdasan Dalton kali ini. Ia mengikuti Dalton, mencoba bersikap biasa, meski matanya tak henti mengawasi keadaan sekitarnya.
Beralih ke kediaman keluarga Evelyn, keluarga Voss begitu terkejut ketika Evelyn datang dengan Xander.
"Evelyn, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Avery, ibunya, seraya menarik Evelyn ke dalam pelukannya. Matanya penuh kebingungan sekaligus amarah saat melihat Xander berdiri dengan tenang di dekat mobil mewah. Meskipun penampilannya berubah drastis—rambut rapi, setelan elegan—sorot kebencian Avery pada mantan menantu yang ia anggap tak berguna masih membara.
Di sisi lain, Raven, Victor, dan beberapa pria dari keluarga Voss menatap Xander dengan tatapan iri. Baru saja mereka melihat Xander turun dari mobil mewah yang bahkan mereka sendiri tak pernah naiki.
Namun, sepupu perempuan Evelyn tampak terpesona, meski buru-buru menyembunyikan rasa kagum mereka pada sosok Xander yang gagah dan tampan.
"Apa yang kau lakukan di sini, sampah?" geram Raven, maju beberapa langkah dengan wajah penuh kemarahan. "Bagaimana mungkin kau punya keberanian untuk datang ke sini setelah diusir dari keluarga Voss?"
Xander tetap tenang, memberi isyarat pada Govin dan tiga pengawalnya untuk tidak melakukan apa-apa. "Sayang sekali, aku tidak datang untuk bertemu dengan salah satu dari kalian! Aku hanya mengantarkan Evelyn, sesuai dengan perintah yang diberikan kepadaku."
"Perintah? Apa maksudmu? Dan siapa yang memberimu perintah?" Declan, kepala keluarga Voss, muncul membelah kerumunan. Pandangannya tajam saat ia mengamati Xander dari ujung kepala hingga kaki. Ia bisa langsung menilai bahwa pakaian yang dikenakan Xander jauh lebih mewah dibandingkan miliknya sendiri.
Declan melirik para pria bertubuh besar yang berdiri di belakang Xander. Dengan sikap dan postur mereka, jelas mereka bukan sembarang orang—mereka adalah pengawal sungguhan.
"Pergilah sekarang juga! Aku tidak ingin melihatmu lagi!" usir Declan kasar. "Kau benar-benar pembual menjijikkan!"
Xander mengabaikan kemarahan Declan. Ia hanya menoleh ke arah Evelyn, lalu berjalan ke mobil, membuka pintu belakang. "Evelyn, tugasku sudah selesai," katanya tenang.
"Xander," panggil Evelyn, maju beberapa langkah meski ibunya berusaha menahan lengannya. "Te-terima kasih sudah mengantarku."
"Evelyn, apa yang kau lakukan?" jerit Avery dengan suara tinggi. "Kenapa kau harus berterima kasih pada sampah seperti dia? Apa kau lupa kalau kau akan menikah dengan Tuan Mason? Dan kita semua sudah sepakat untuk tidak berhubungan lagi dengannya!"
Xander tetap diam, memandang Evelyn sekilas. Evelyn meremas jemarinya dengan gugup, lalu berkata, "Xander sudah membantuku selama berada di gedung Phoenix Vanguard. Setidaknya, aku harus—"
"Apa yang si sampah itu lakukan di sana?" tanya Declan dengan menyampaikan tak percaya pada Xander. Ingin rasanya ia berteriak dan memukul wajah Xander. Sepanjang hidupnya, ia bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di sana.
Bagaimana mungkin Xander bisa berada disana?
Xander memegang lengan Govin yang akan maju.
"Tuan aku tidak bisa melihat ini lebih lama. Mereka sudah sangat keterlaluan dalam menghina Anda," bisik Govin.
"Tenanglah, Govin. Ini tidak akan berlangsung lama."
Evelyn melirik Xander sekilas, meremas jemarinya beberapa kali. "Xander bekerja di Phoenix Vanguard sebagai salah satu pengawal."
Semua keluarga Voss yang mendengarnya sontak terkejut. Ketidakpercayaan wajah begitu jelas di wajah mereka.
"Ba-bagaimana mungkin sampah seperti dia bisa bekerja di sana?" Avery tiba-tiba merasakan sesak di dadanya. Ini kabar yang benar-benar mustahil menurutnya.
"Ini pasti hanya akal-akalan sampah itu!" teriak Raven dengan rasa iri yang bercokol, "sampah itu hanya ingin terkesan agar dia bisa kembali dekat denganmu, Evelyn. Dia sama sekali tidak sebanding dengan Tuan Mason."
"Benar, ini pastilah sandiwaranya semata. Orang-orang itu pasti sengaja dibayar sampah itu untuk berpura-pura." Victor tentu saja tidak mempercayai ucapan itu. Xander bisa saja membayar orang-orang untuk bersandiwara. Lalu bagaimana dengan mobil mewah yang berada di depannya saat ini?
Govin, yang tak tahan lagi, akhirnya maju. "Aku adalah Govin, atasan Xander," katanya dengan nada dingin. "Saya dapat memastikan bahwa Xander benar-benar salah satu pekerja di Phoenix Vanguard. Sesuai dengan aturan yang berlaku, setiap pegawai akan mendapatkan perlindungan hukum selama dalam menjalankan tugas. Dengan kata lain, aku bisa melaporkan tindakan kalian semua pada pucuk pimpinan Phoenix Vanguard. Kalian tentu tahu apa yang bisa dilakukan oleh Phoenix Vanguard."
Kerumunan keluarga Voss terdiam. Wajah mereka kini dipenuhi ketakutan. Nama Phoenix Vanguard bukan sesuatu yang bisa mereka anggap enteng.
Evelyn buru-buru mencoba menenangkan situasi. "Sebaiknya kita kembali melanjutkan jamuan," katanya dengan suara lembut. "Xander, kau bisa pergi sekarang. Terima kasih atas bantuanmu."
Xander mengangguk tanpa kata, lalu masuk ke mobil bersama Govin. Dua mobil mewah itu melaju meninggalkan kediaman keluarga Voss. Bersamaan dengan keluarnya Xander, kendaraan yang dinaiki Selene memasuki rumah.