Dua kali gagal menikah, Davira Istari kerapkali digunjing sebagai perawan tua lantaran di usianya yang tak lagi muda, Davira belum kunjung menikah.
Berusaha untuk tidak memedulikannya, Davira tetap fokus pada karirnya sebagai guru dan penulis. Bertemu dengan anak-anak yang lucu nan menggemaskan membuatnya sedikit lupa akan masalah hidup yang menderanya. Sedangkan menulis adalah salah satu caranya mengobati traumanya akan pria dan pernikahan.
Namun, kesehariannya mendadak berubah saat bertemu Zein Al-Malik Danishwara — seorang anak didiknya yang tampan dan lucu. Suatu hari, Zein memintanya jadi Ibu. Dan kehidupannya berubah drastis saat Kavindra Al-Malik Danishwara — Ayah Zein meminangnya.
"Terimalah pinanganku! Kadang jodoh datang beserta anaknya."
•••
Mohon dengan sangat untuk tidak boomlike karya ini. Author lebih menghargai mereka yang membaca dibanding cuma kasih like tanpa baca. Sayangi jempolmu. 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MIPPP 34 — Sebuah Usaha
"Kamu yakin mau berhenti bekerja?" tanya Kavindra ketika Davira dan Zein sudah siap untuk pergi sekolah. Sejujurnya, ia tak menghendaki jika Davira memilih melepas karirnya hanya demi memenuhi hukuman ayahnya semata.
Tetapi, Davira mengangguk dengan mantap. "Iya, aku yakin, Mas. Aku ingin jadi ibu rumah tangga yang baik saja mulai dari sekarang, menemani Zein sekolah dan bermain, membantumu bersiap setiap pagi, memasak dan yang lainnya," jawabnya seraya membantu Kavindra membenahi dasinya.
"Kamu sungguh-sungguh ingin melakukan itu semuanya sendirian?" tanya Kavindra lagi merasa tak yakin. Pun ia tak mau jika Davira merasa kesulitan dengan tugas-tugas itu.
Sekali lagi, Davira mengangguk mantap setelah berhasil membenahi dasi suaminya itu. "Seratus persen yakin, lagipula tugas-tugas itu adalah tanggung jawabku, kan? Kalau aku kesulitan juga masih ada PRT dan mama yang akan membantu."
"Hm, baiklah kalau begitu. Jadi hari ini kamu benar-benar mau mengantar Zein sekolah?"
"Iya, Mas. Mau sampai kapan kamu tanya terus? Nanti telat gimana?" Davira terkekeh, sebelumnya ia mengira bahwa Kavindra adalah sosok pria yang pendiam, tetapi ternyata dugaannya itu salah.
Kavindra pun tersenyum, menyempatkan diri untuk mengecup kening Davira selagi Zein tak ada di kamar mereka. Kemudian berbalik berjalan menuju pintu.
"Mau kuantar?" tawarnya berbalik kembali menghadap Davira. "Aku masih punya cukup waktu untuk mengantarkan kalian ke sekolah."
Davira tampak berpikir sejenak, sepertinya ide yang bagus jika Zein diantar sekolah bersama dengan orangtuanya. "Emm, boleh, deh. Aku panggil Zein dulu, ya. Dia pasti senang banget kalau tahu pergi sekolah bareng papa-nya."
Sementara Davira pergi memanggil putra mereka, Kavindra bergegas ke carport untuk memilih mobil yang akan ia gunakan untuk mengantarkan istri dan anaknya sekolah.
Benar saja dugaan Davira, Zein memekik girang tatkala tahu akan diantar sekolah bersama dengan kedua orang tuanya. Berjalan ke bawah, Zein bersenandung kecil sambil digandeng Davira.
"Eh, cucu grandma mau sekolah, ya?" tanya Karina ketika mereka bersinggungan di ruang keluarga. Melihat ekspresi Zein yang sangat riang membuat Karina tak tahan untuk bertanya.
Zein menunjukkan senyum terbaiknya, "Iya, dong, hari ini Zein pergi sekolah diantar papa sama mama. Iya, kan, Ma?"
Davira mengangguk menyetujui. "Ayo cium tangan grandma dan grandpa dulu sebelum pergi sekolah," pintanya yang langsung dilaksanakan oleh Zein.
Senyum Karina tersungging lebar, senang melihat sang cucu menemukan kembali dunia dan kebahagiaannya. Berbanding terbalik dengan Kailash yang menatap Davira agak sinis.
"Kau sungguh-sungguh berhenti dari pekerjaan mengajarmu itu, kan?" tanyanya saat Karina dan Zein pergi ke depan.
Davira yang tertahan di sana, mau tak mau menaikkan pandangannya. Menatap Kailash dengan sopan, "Iya, Pa. Davira sudah mengajukan surat pengunduran diri, hari ini Davira akan resmi keluar dari Kinder School."
Kailash terlihat mengangguk beberapa kali tanpa mengalihkan pandangannya dari koran pagi yang dibacanya. "Bagus, jangan lupa jaga cucuku dengan baik. Jangan lengah seperti sebelumnya."
"Baik, Pa. Davira permisi, ya, Zein dan Mas Kavindra pasti sudah menunggu di depan," pamit Davira dengan sopan. Meski terkesan cuek, tapi Davira tahu bahwa ayah mertuanya itu adalah sosok yang perhatian.
Tanpa melihat Davira, Kailash hanya mengibaskan tangannya pelan, sebuah isyarat untuk Davira lekas bergegas pergi dari hadapannya.
"Ma, kami pergi dulu, ya." Kavindra berpamitan setelah Zein dan Davira berhasil masuk ke mobil. Tangan kecil Zein melambai-lambai, mengucap salam perpisahan pada sang nenek.
Karina balas melambai, hatinya terasa berbunga melihat keluarga kecil yang terlihat bahagia itu. "Semoga saja tidak ada hal lain yang akan mengganggu kebahagiaan mereka."
•••
Tak jauh dari Kinder School, sebuah mobil sedan hitam terparkir. Mata sang pemilik memerhatikan gerbang sekolah itu untuk memastikan orang-orang yang datang.
Sudah lama ia menunggu di sana, hanya untuk memastikan satu hal agar rencananya berhasil. Ketika melihat tiga orang turun dari mobil, gurat-gurat kekesalan begitu kentara terlihat dari wajahnya.
Urat rahangnya terkatup rapat, tangannya terkepal di balik kemudi, melihat interaksi keluarga kecil itu berhasil memicu amarahnya ke permukaan.
"Awas saja kalian, aku berjanji tidak akan pernah membiarkan keluarga kalian bahagia!" pekik Lauren menatap tajam ke arah Davira dan Kavindra yang terlihat mesra.
Kehadiran putranya di antara mereka jelas membuat Lauren kesal setengah mati. "Seharusnya aku yang berada di posisi itu! Bukannya gadis kampung sepertinya," kesal Lauren, bibirnya mencebik kesal.
Akan tetapi, meski kekesalannya terasa memuncak, tak ada yang bisa ia lakukan untuk sekarang. Mengingat ia baru saja bebas dari penjara dan masih berada dalam pengawasan.
Ia tahu betul bagaimana Kavindra bekerja, setelah apa yang ia lakukan terhadap putranya, pria itu tak mungkin merasa tenang meninggalkan istri dan anaknya begitu saja.
"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak bisa bertindak gegabah sekarang, Kavindra pasti meninggalkan beberapa pengawal untuk mengawasi anaknya."
Berdiam lama untuk berpikir, Lauren tak sadar bahwa ia juga sedang diawasi seseorang. "Benar! Aku harus merencanakan semuanya dengan matang baru bertindak," katanya sedikit mengangguk dengan penuh keyakinan.
Setelah itu, ia memilih melajukan mobilnya pergi dari sana. Meninggalkan Kinder School dengan rencana jahatnya.
•••
"Ingat pesanku, ya? Jika ada apa-apa langsung hubungi aku, oke? Tolong berhati-hati juga, aku yakin sekali perempuan jahat itu pasti akan melakukan sesuatu hal lagi," pesan Kavindra.
Wajahnya yang serius membuat Davira merasa sedikit tegang. "Iya, Mas. Aku pasti akan hati-hati," sahut Davira kemudian.
"Mama, ayo masuk. Sebentar lagi bel pasti berbunyi." Zein yang sedari tadi hanya diam, kini menggoyang-goyangkan lengan Davira, tak sabar untuk masuk ke kelas.
Melirik anak kecil itu, Davira mengangguk singkat kemudian berjongkok demi menyejajarkan pandangannya. "Iya, Zein. Sebelum kita masuk, harus bilang apa dulu sama papa?"
"Papa, hati-hati di jalan, ya. Terima kasih sudah mengantar Zein sekolah," kata Zein dengan sikap yang sopan.
Kavindra turut berjongkok, satu tangannya mengusap pipi Zein pelan. "Oke, good boy. Sekolah yang baik, ya. Jangan merepotkan Mama, oke?"
Zein mengangguk, meletakkan satu tangannya di dahi, mengikuti gaya tentara bersiap. "Oke, Papa! Siap laksanakan," kata Zein meniru aksen tentara pula.
"Aku berangkat dulu, ya. Jaga diri kalian baik-baik," kata Kavindra terakhir kalinya. Kemudian, ia melangkah memasuki mobil, tak lupa melambaikan tangan sebagai perpisahan.
Davira pun langsung mengajak Zein untuk masuk ke kelasnya setelah memberi anak kecil itu pengertian bahwa mulai dari hari ini, Davira tidak akan menjadi gurunya lagi.
Usai memastikan Zein sudah duduk di bangkunya, Davira pun pergi ke ruangan kepala sekolah untuk melakukan serangkaian acara dan proses pengunduran diri yang harus ia lakukan.
"Rasanya berat banget melepaskan profesi yang selama ini aku impikan." Davira terlihat menarik napas selama beberapa kali. "Tapi tidak apa-apa, Davira, ayo lakukan demi Zein."
Melangkahkan kakinya masuk, Davira justru terkejut melihat apa yang sudah menantinya di dalam ruangan kepala sekolahnya itu.