NOVEL INI SUDAH TAMAT.. DENGAN KISAH EPIKNYA YANG MEMBAGONGKAN..
NANTIKAN NOVEL SAYA SELANJUTNYA..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jack The Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ch 035_kerajaan aksaravheda #1
...___~V~___...
...MISI PERTAMA TIM 9...
Tiga hari setelah latihan, tim 9 diberikan misi untuk pergi ke ujung Pulau Javadipa, tepatnya menuju Kerajaan Aksarevheda. Kerajaan tersebut, meski kecil, berada di bawah perlindungan Kerajaan Majapahit dan terletak di tanah Javadhipa. Aksarevheda dikenal sebagai pusat pembuatan senjata para Fatalis, di mana banyak senjata yang digunakan oleh mereka diproduksi.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, tempat penambangan batu obsidian di Gunung Arafura, yang terletak di perbatasan lautan antara Pulau Javadhipa dan Pulau Nusa Kencana, wilayah Kerajaan Baliem, telah dijarah oleh kelompok kriminal yang menjualnya ke pasar gelap.
Di ruang kerja Laksamana Vitjendra, yang luas dan dipenuhi berkas-berkas militer Kerajaan, Tim 9 telah berkumpul lengkap. Ruangan yang penuh dengan aroma kertas dan tinta itu terasa berat, sesuai dengan tugas yang akan mereka jalani.
"Semua kelompok sudah berkumpul," kata Laksamana Vitjendra dengan suara lantang, matanya tajam memandang satu per satu anggota Tim 9. "Laksanakan misi ini dengan tuntas. Jangan terlalu terlibat dalam urusan internal kerajaan mereka. Fokuskan perhatianmu pada misi saja."
"Baik, Laksamana," jawab serentak Tim 9.
Setelah itu, mereka meninggalkan ruangan dengan langkah mantap dan segera berangkat menuju Kerajaan Aksarevheda, di ujung Pulau Javadipa sebelah timur, untuk menjalankan misi mereka.
Keberangkatan..
Mereka melesat melintasi pepohonan besar dengan lompatan ringan dan gesit. Perjalanan menuju Kerajaan Aksarevheda diperkirakan membutuhkan waktu tiga hari. Meski begitu, mereka tidak bisa terlalu santai-kewaspadaan harus tetap dijaga, karena ancaman bisa muncul kapan saja tanpa diduga.
"Hei, Nazzares! Kau sudah punya istri, bukan?" tanya Sukijan sambil melompat dari satu cabang ke cabang lainnya dengan mudah.
"Ya," jawab Nazzares singkat.
"Di umur berapa kau menikah?" Sukijan menoleh penasaran.
"Setahun yang lalu. Jadi, usia lima belas tahun aku menikah," jawab Nazzares sambil tetap fokus pada jalurnya.
"Wah, muda sekali!" komentar Arinda dari ras elf, ikut terlibat dalam percakapan.
"Jangan samakan aku denganmu, yang bisa hidup ratusan tahun. Hidup kami begitu singkat dibandingkan dengan hidupmu," balas Nazzares santai.
"Ah, maafkan aku," ujar Arinda dengan senyuman kecil, sedikit merasa bersalah.
"Iya, lihat saja Guru Ahtreya," kata Sukijan sambil menahan tawa. "Walaupun terlihat muda, sebenarnya dia sudah nenek-nenek."
Klik!
Guru Ahtreya yang mendengar itu hanya mengerutkan dahi tanpa berkomentar. Sorot matanya tajam, tetapi ia membiarkan candaan murid-muridnya berlalu begitu saja.
"Tapi ngomong-ngomong, Guru, kapan kami akan mendapatkan hewan mistis?" tanya Arinda, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Hmm... setelah kalian melewati ujian tingkat dua," jawab Guru Ahtreya singkat sambil terus melangkah.
"Yaaah... masih setahun lagi!" Sukijan mengeluh, mendramatisir rasa kecewanya.
Setelah berjalan seharian penuh, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi sungai. Udara di sana terasa sejuk, menghilangkan sedikit rasa lelah sebelum melanjutkan perjalanan hingga malam menjelang. Saat langit mulai gelap, mereka mendirikan perkemahan untuk bermalam.
Preek... preek...
Suara kayu yang terbakar memenuhi suasana hening malam di tengah hutan. Api unggun yang menyala memancarkan kehangatan, menjadi tempat mereka berkumpul sambil menikmati bekal. Percakapan ringan pun bergulir, mengiringi malam yang damai.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya mereka tiba di Kerajaan Aksarevheda. Tempat yang disebut sebagai surga para penempa senjata di tanah Javadhipa.
...___~V~___...
...KERAJAAN AKSHARADHEVA...
Mereka berjalan santai menuju gerbang utama Kerajaan Aksharadheva, disambut oleh deretan penjaga yang bersiaga dengan ketat. Prajurit-prajurit bersenjata lengkap berdiri tegak di kedua sisi, memastikan keamanan kerajaan kecil yang menjadi penghasil senjata terkenal ini.
"Dari mana kalian berasal?" tanya salah satu prajurit penjaga dengan nada formal.
"Kami utusan dari Kerajaan Majapahit," jawab Guru Ahtreya dengan tegas.
"Baik, tunjukkan bukti kalian," balas penjaga itu tanpa basa-basi.
Guru Ahtreya segera mengeluarkan kencana jenderalnya, sebuah simbol otoritas tinggi dalam kesatuan angkatan darat Kerajaan Majapahit. Melihat kencana tersebut, mata sang penjaga sedikit melebar.
"Ah, baiklah. Silakan masuk, Jenderal Ahtreya," ujar prajurit itu sambil memberi hormat. Ia kemudian memanggil beberapa penjaga lainnya. "Hei, antarkan mereka menuju istana."
Tim 9 diantar ke istana menggunakan kereta kuda. Sepanjang perjalanan, mereka menikmati pemandangan Kerajaan Aksharadheva yang damai namun tetap ramai. Berbagai ras terlihat berbaur di kota ini, menciptakan keragaman yang jarang ditemukan di tempat lain. Toko-toko yang menjual senjata seperti pedang, pisau, dan peralatan perang lainnya berjajar di sepanjang jalan, menonjolkan identitas kota sebagai pusat penempaan senjata.
"Aku ingin sekali membeli pedang," ucap Sukijan dengan nada bersemangat, "tapi aku tidak mahir menggunakan pedang. Bahkan komite Sundang Majapahit pun aku masih belum mahir mempraktikkannya."
"Yah, sebulan ini kita memang hanya berlatih gerakan dasar dan teori," sahut Arinda sambil menghela napas.
"Tenang saja," kata Nazzares dengan nada datar namun penuh keyakinan. "Seiring dengan pengalaman pertarungan, teknik bertarung kalian pasti akan meningkat." Lanjutnya sebagai seoranh fatalis yang sudah menjalani berbagai pertarungan sejak usia 12 tahun.
Arinda menoleh ke arah Nazzares, penasaran. "Memangnya kau sudah sering bertarung?"
Nazzares tersenyum kecil sebelum menjawab, "Mm... belum."
Percakapan mereka diselingi oleh gelak tawa ringan, membuat perjalanan terasa lebih singkat. Mereka terus melaju di dalam kereta hingga akhirnya tiba di istana. Meski tidak sebesar dan megah seperti Istana Kerajaan Majapahit, keindahan istana ini tetap terpancar dari desainnya yang elegan dan suasananya yang tenang.
Saat melangkah masuk, mereka memandang sekeliling dengan penuh rasa kagum. Keberadaan mereka di sini menandai awal dari misi yang harus mereka tuntaskan.
...___~V~___...
...ISTANA KERAJAAN AKSHARADHEVA...
Langkah mereka membawa mereka menuju aula singgasana Raja Dharmendra. Di depan pintu besar aula, prajurit pengawal meminta mereka menunggu sementara ia melaporkan kedatangan mereka.
TAP TAP TAP
Langkah kaki sang prajurit menggema di sepanjang lorong hingga ia tiba di hadapan singgasana. Ia berlutut dengan hormat.
"Lapor, Yang Mulia. Utusan dari Kerajaan Majapahit telah tiba," ujarnya.
Raja Dharmendra, duduk dengan tenang di atas singgasana yang dihiasi ukiran elegan khas Aksharadheva, mengangguk pelan. "Baiklah, persilakan mereka masuk."
"Baik, Yang Mulia."
Prajurit itu segera kembali dan mempersilakan Tim 9 memasuki aula singgasana. Dengan langkah mantap, mereka melangkah masuk dan segera berlutut di hadapan Raja Dharmendra.
"Hormat kami kepada Yang Mulia Raja Dharmendra," ucap Guru Ahtreya sebagai kapten tim dengan penuh takzim. "Kami membawa salam hangat dari Raja Hayam Wuruk dan datang sebagai utusan Kerajaan Majapahit untuk membantu kerajaan Anda."
Raja Dharmendra mengamati mereka dengan tatapan lembut, namun otoritatif. "Berdirilah kalian semua," perintahnya.
"Baik, Yang Mulia," jawab Guru Ahtreya, lalu berdiri bersama para muridnya.
Raja Dharmendra menarik napas dalam, tampak lelah namun tetap tegar. "Kami sangat berterima kasih atas kedatangan kalian. Situasi di tambang Gunung Arafura semakin parah. Banyak korban telah berjatuhan karena ulah kelompok kriminal itu. Bahkan beberapa dari mereka adalah seorang Fatalis. Pasukan kami kesulitan menghadapi kekuatan mereka."
Guru Ahtreya mendengarkan dengan serius. "Mohon maaf, Yang Mulia. Apakah sebelumnya sudah ada penyelidikan terkait kelompok ini? Bagaimana pola mereka dalam menyerang?"
Raja Dharmendra mengangguk pelan. "Pasukan kami telah melakukan penyelidikan. Namun, kelompok itu menggunakan batu obsidian dari tambang kami untuk membuat senjata mereka sendiri, yang kemudian dijual di pasar gelap. Lebih buruk lagi, mereka menculik banyak ras Dwarf dari wilayah kami. Kami khawatir mereka memanfaatkan para Dwarf untuk memperkuat senjata mereka."
Guru Ahtreya terkejut. Ras Dwarf adalah para ahli besi yang terkenal di seluruh dunia. Tidak ada ras lain yang mampu menandingi keahlian mereka dalam seni penempaan senjata.
Diskusi terus berlangsung, membahas detail kelompok kriminal tersebut. Raja Dharmendra menjelaskan bahwa tambang obsidian di Gunung Arafura kini sepenuhnya ditutup. Proses penambangan dihentikan karena kelompok itu selalu menyerang ketika para Dwarf sedang bekerja. Korban semakin banyak, dan situasi semakin berbahaya.
Setelah penjelasan panjang lebar, Raja Dharmendra mengakhiri pertemuan dengan memerintahkan seorang prajurit untuk mengantar Tim 9 ke kamar tamu agar mereka dapat beristirahat sebelum menyusun strategi keesokan harinya.
"Kalian ikutilah aku," kata prajurit yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Haa? Suara siapa tadi?" gumam Sukijan, kebingungan karena tidak melihat siapa pun.
Tiba-tiba, ia merasakan cubitan kecil di kakinya.
"Wah!!" Sukijan berteriak kaget saat melihat sosok kecil di depannya.
Ternyata, prajurit yang mengantar mereka adalah seorang Dwarf. Tingginya tidak sampai setengah dari tubuh Sukijan.
"Pantas saja aku tidak melihatnya. Cebol ternyata," cibir Sukijan tanpa pikir panjang.
Dwarf itu menatap Sukijan dengan tatapan tajam, namun memilih diam dan melanjutkan tugasnya. Ia mengantar mereka ke kamar tamu untuk beristirahat.
Setelah tiba di kamar mereka, Tim 9 segera mempersiapkan diri untuk istirahat. Esok hari, mereka akan menghadapi tantangan besar: menyusun strategi untuk menyelamatkan tambang dan membebaskan para Dwarf yang telah diculik. Ini akan menjadi ujian nyata bagi mereka sebagai utusan dari Kerajaan Majapahit.
Bersambung..