"Aliza suka kak diva!!"
"gue gak suka Aliza!!"
"kak diva jahat!!"
"bodo amat"
apakah seorang Aliza akan melelehkan hati seorang ketua OSIS yang terkenal dingin dan cuek itu?atau Aliza akan menyerah dengan cintanya itu?
"Aliza,kenapa ngejauh?"
"kak diva udah pacaran sama Dania"
"itu bohong sayang"
"pret"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akuadalahorang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masa lalu
"I don't like haira! I don't want there to be any haira on this earth"
Sedari tadi Aliza terus mengomel setelah insiden Haira mencoba melabraknya. Teman-teman Aliza hanya mendengarkan tanpa memotong ucapannya, tahu betul kalau Aliza sedang kesal. Kini mereka duduk di kantin. Aliza tampak tidak bersemangat setelah makan di kelas yang seharusnya membuatnya merasa lebih baik. Ia bahkan langsung menelepon Diva agar segera datang ke kantin.
Tak lama, Diva muncul bersama kakaknya dan beberapa temannya. Diva langsung duduk di dekat Aliza. Melihat wajah kesal Aliza, Diva mengusap pipi Aliza dengan lembut. Aliza merespons dengan memeluk Diva erat. Teman-teman mereka hanya diam, meski rasa iri jelas menguasai mereka.
"Kenapa, sayang? Kok kelihatannya bad mood?" tanya Diva lembut.
Alih-alih menjawab, Aliza mengambil semangkuk mi ayam miliknya dan menyuapinya ke Diva. Diva pun menerima suapan itu tanpa banyak bicara.
"Gak apa-apa, cuma lagi gak mood aja," jawab Aliza dengan senyum tipis.
Melihat itu, teman-temannya menahan tawa.
"Gak mood tapi ngomel pakai bahasa Inggris," celetuk Velyn, membuat Zia mendorongnya pelan sebagai peringatan.
"Kalau Aliza udah ngomel pakai bahasa Inggris, artinya dia benar-benar lagi gak mood, Div," timpal Nathan sambil melirik Zia yang hanya bisa diam.
"Sayang..." panggil Diva lembut, sebelum percakapan mereka terhenti oleh seseorang.
"Kak Diva," suara Haira memecah suasana. Kehadirannya membuat ekspresi Aliza semakin gelap. Diva menghela napas panjang dan menatap Haira dengan datar.
"Kak, tadi kata Abi aku disuruh pulang bareng sama Kakak," ucap Haira santai. Mata Aliza membelalak mendengar itu.
"Heh, mbek! Denger ya, pake kuping lo baik-baik! Lo sama Diva itu cuma sekedar teman. Diva itu pacar aliza, bukan pacar lo! Jangan seenaknya ngatur-ngatur Diva buat anterin lo pulang. Banyak ojek, tinggal pesan. Gak usah manja!" omel Cesya tak terima. Haira hanya menatapnya sinis.
"Itu urusan aku! Aku sama Kak Diva yang punya hubungan!" balas Haira kesal.
Aliza berdiri, matanya tajam menatap Haira. Diva buru-buru meraih tangan Aliza untuk menenangkannya.
"Ralat! Diva itu punya gue. Jangan ngaco bilang lo pacar Diva. Jangan bikin rumor gak masuk akal. Atau... gue harus buka semua kelakuan lo yang sebenarnya di depan orang-orang? Sampai-sampai lo sabotase—"
"Aliza!!"
Haira tiba-tiba berteriak sambil menutup telinganya. Orang-orang di kantin mulai memperhatikan mereka. Teman-teman Aliza bingung melihat Haira yang terlihat panik.
"Jangan ngomong itu, Aliza! Aku mohon..." pinta Haira dengan suara bergetar.
"Kalau lo gak mau semua orang tahu, jangan macam-macam sama gue, Haira! Dari dulu lo emang gak pernah berubah!" seru Aliza penuh emosi.
Semua orang kini memandang mereka dengan penasaran. Suasana semakin tegang.
"Haira." Suara seorang laki-laki kecil berkacamata, Iki, memecah keheningan.
"Iki, bawa dia pergi," perintah Diva tegas.
Tanpa banyak bicara, Iki menarik tangan Haira dan membawanya keluar kantin.
"Bubar!!" teriak Nathan lantang, mengakhiri drama itu.
Orang-orang pun akhirnya kembali ke aktivitas masing-masing, sementara Aliza duduk kembali, berusaha menenangkan dirinya.
---
Zia dan Aliza masih berada di kelas. Sementara itu, Cesya dan Velyn sudah pulang lebih dulu karena merasa tidak enak badan. Aliza menunduk sambil menangis, sementara Zia menatapnya dengan cemas. Ia tahu, Aliza tidak bermaksud membongkar rahasia Haira, hanya saja emosinya sempat terpancing.
Zia mengelus punggung Aliza perlahan.
"Gue nggak sengaja, Zi. Sekarang Haira sakit gara-gara gue," ucap Aliza sambil menangis.
Zia mengangguk pelan. "Itu pantas buat dia, Liza. Dia udah bikin lo menderita selama ini."
Aliza hanya terdiam sampai akhirnya Diva datang. Melihat Diva, Aliza langsung memeluknya dan menangis semakin kencang. Tak lama, Nathan menghampiri Zia dan duduk di dekatnya.
"Lo tau apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Nathan.
Zia hanya diam sejenak sebelum akhirnya mulai bercerita.
"Dulu, gue sama Aliza sering ikut balapan liar. Di tempat balapan, kami sering ketemu Haira di persimpangan jalan. Waktu itu kita nggak kenal, jadi ya, cuek aja. Tapi ada satu insiden besar—mobil Marissa disabotase sampai dia kritis. Katanya, ada orang yang ngelakuin itu demi sabotase diva supaya nggak deket sama siapapun.
Gue dan Aliza nggak tau apa-apa, jadi kita diem aja. Tapi suatu hari, gue lihat Haira sendiri yang lagi sabotase mobil Marissa. Masalahnya, waktu itu Haira sengaja ngejebak Aliza dan nuduh dia pelakunya. Semua orang di arena balap nyudutin Aliza, bahkan pacarnya waktu itu, Ikbal, nggak belain dia. Dari situ, Aliza berhenti balapan sampai sekarang. Makanya, sekarang kita balapan di tempat lain."
Nathan mendengarkan dengan serius, lalu bertanya lagi.
"Kenapa lo nggak pernah cerita?"
"Karena Aliza yang nyuruh gue buat diem," jawab Zia.
Nathan menghela napas. "Sekarang keadaan Haira gimana?"
Zia mengangkat bahu. "Nggak tau. Yang jelas, dia bakal libur beberapa hari karena kena serangan panik."
"Dia yang salah, tapi dia juga yang menderita. Gue bener-bener nggak ngerti," kata Zia dengan nada kesal.
"Gue juga nggak ngerti," timpal Nathan.
Tak lama, Diva menggenggam tangan Aliza dan berkata, "Ayo, kita pergi dulu."
Aliza mengangguk sambil mengambil iPad-nya, lalu berpamitan.
"Gue pergi dulu, ya," ucap Aliza.
"Iya, hati-hati," jawab Nathan.
Nathan kembali menoleh ke Zia.
"Lo bawa mobil?" tanyanya.
Zia menggeleng. "Gue bawa mobilnya Aliza. Gue sekalian anter lo pulang, deh."
Nathan tersenyum kecil. "Oke, thanks."
Zia, Aliza, dan Diva pun akhirnya meninggalkan kelas, sementara Nathan duduk di sana, merenungkan cerita yang baru saja ia dengar.
---