Asmara di dua dimensi, ternyata benar adanya.
Bukti nyata yang di alami Widuri. Perempuan berusia 19 tahun itu mengalami rentetan keanehan setiap hari. Widuri kerap kali mendengar bisikan-bisikan masa depan yang tepat sesuai peristiwa yang terjadi di depan mata.
Mimpi berulang kali yang bertemu dengan pria tampan, membawanya ke tempat yang asing namun menenangkan. Widuri asyik dengan kesendiriannya, bahkan ia selalu menanti malam hari untuk segera tidur, agar bertemu dengan sosok pria yang ia anggap kekasihnya itu.
Puncaknya, 6 bulan berturut-turut, kejadian aneh makin menggila. Sang Nenek merasakan jika Widuri sedang tidak baik-baik saja. Wanita berusia lanjut itu membawa cucunya ke dukun, dan ternyata Widuri sudah ...
Ikuti kisah Widuri bersama sosok pria nya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ALNA SELVIATA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Ajian Warisan
Tahun 1993
"Ambo' jangan tinggalkan kami," ucap anak perempuan yang sedari tadi sesenggukan.
Sudah seminggu ini Bapaknya mengalami sakit. Hidup di desa yang jauh dari akses pelayanan kesehatan membuat keluarga pasrah. Suara sesenggukan memenuhi kamar mungil itu. Walaupun belum ada kematian disana.
"Sabar Arum, Ambo' juga sudah tua. Orang yang sudah renta, rentang mengalami sakit begini,", Kata Puadi, Pamannya.
Ambo' nya hanya menatap lurus ke depan. Sesekali dia berbicara bahasa yang kurang jelas dipahami. Ambo' seolah sedang berbicara pada sosok yang tak kasat mata. Terkadang ia terdengar memanggil nama seseorang. Lalu, mengucapkan kata terima kasih berulang kali.
Rumpun keluarga yang saat ini membesuk menjadi penonton. Ada yang menanggapi biasa saja, ada pula yang terheran-heran, sebagian dari mereka paham dengan sikap Ambo' Pati.
"Kayaknya Ambo' sedang bicara dengan teman penjaganya," bisik anak pertama Ambo' Pati di telinga Arum.
"Teman penjaga apa maksudnya, Daeng?"
Lalia menarik tangan Arum untuk menepi. Di sudut ruangan itu, Lalia kembali berbisik, menjelaskan maksud ucapannya.
"Ambo' itu punya penjaga, dulu pernah bilang, katanya dia punya jin, perisai kalau perang, jin itu menangkal guna-guna, membantu Ambo' untuk menyembuhkan orang-orang sakit," jelasnya.
Arum tercengang. Dia hanya mengetahui Bapaknya sebagai sarana menyembuhkan orang sakit. Sebagai anak bungsu, Arum tidak tahu-menahu tentang hubungan Ambo' Pati dengan hal gaib.
"Lalu bagaimana, Daeng? Apa jin itu minta tumbal?"
"Tidaklah, Ambo' bukan pesugihan, ini katanya jin keturunan, tidak tahulah, mereka sedang berbincang saja kali," kata Lalia.
Ambo' Pati yang sedari tadi komat-kamit tidak jelas mendadak menangis. Tampaknya dia sedang melihat sesuatu yang membuatnya terharu. Sanak-saudara bergegas menghampirinya. Lalia juga duduk di bagian kaki, mengusap-usap kaki Ambo'nya.
"Ambo' kenapa?" tanya Arum.
Lalia, Arum, dan Pai mengelilingi Ambo' nya. Satia, istri dari Ambo' Pati datang menggenggam tangan suaminya. Ambo' Pati masih menatap lurus, kemudian mengeluarkan ucapan yang mengejutkan keluarganya.
"Jaga keturunan ku, tepati janji mu, sudah ku tepati janji ku wahai pemuda," ucap Ambo' Pati pada sesosok yang tak terlihat.
Angin yang sangat dingin berhembus di kamar Ambo' Pati. Sanak-saudara saat itu merinding kedinginan. Arum merasa hawa dingin itu menyapu punggungnya. Pandangan Ambo' Pati beralih ke anak bungsunya, Arum.
"Arum .." lirih Ambo' Pati.
Arum mendongakkan kepala menatap Ambo'nya.
"Arum, lebih lah dekat ke Ambo', mungkin ingin sampaikan sesuatu," kata Amma' Satia.
Arum perlahan mendekati Ambo'nya. Tangan yang dipenuhi keriput itu digenggam oleh Arum. Ambo' Pati berusaha berbicara ditengah dadanya yang makin sesak.
"A-arum ..Nanti jangan merasa kamu sedih, a-apa yang kamu kalani masa depan, itu sudah takdir kamu, Nak. Tapi Ambo' tetap memberi kamu penjagaan," kata Ambo' Pati.
Semua yang mendengar hanya saling pandang satu sama lain. Ucapan Ambo' Pati sulit dimengerti. Namun, Arum tidak Ambo'nya terbebani.
"Iya, Ambo' ..Jangan pikirkan saya, pikirkan kesehatan Ambo'," sahutnya.
Ambo' Pati menarik nafas panjang. Memandangi ketiga anaknya yang kurang satu.
"Mana Sapri?" tanyanya.
"Daeng Sapri belum datang, Ambo'" Jawab Lalia.
Ambo,' Pati berusaha menarik nafas lagi, mengisi rongga dadanya.
"Siapa yang mau ambil?" tanya Ambo' Pati.
Sanak saudaranya sebagian paham maksud Ambo' Pati. Termasuk istrinya, Satia. Juga Lalia dan Pai. Namun, tidak bagi Arum. Dia hanya bisa diam memandangi Ambo'nya yang memang terlihat sekarat.
"Saya tidak bisa Ambo'" Kata Lalia.
Pai yang ada disamping Lalia juga menggelengkan kepala. "Saya juga tidak mau Ambo'"
Keluarga Ambo' Pati enggan mengambil ilmu putih yang bersemayam di tubuh tua renta itu. Sementara aturannya, orang yang sedang menghadapi kematian harus melepas segala yang ada pada dirinya, termasuk ilmu putih yang ia pegang selama hidupnya. Jika tidak, seseorang yang meninggal tanpa melepas ilmu putihnya maka tubuhnya terasa berat dan diberi azab yang pedih karena pergi dengan tubuh yang tidak suci.
"Ambo' tidak tahan lagi, tolong ambillah, Nak.." Ambo' Pati mulai sesak nafas.
Arum panik melihat Ambo'nya. Sedangkan Sati yang duduk disebelah kiri hanya bisa menangis, andai saja ilmu putih dapat dialihkan ke istri, Satia pasti rela mengembang tugas itu. Namun, sayangnya ilmu putih tidak dapat diserahkan kepada seseorang yang tidak memiliki aliran darah dengan si pemberi.
"Maksud Ambo' tadi apa, Mak?" tanya Arum.
"Ambo' mu mau semua ilmu-ilmu nya di turunkan ke anak arau keluarganya, supaya tubuhnya ringan menghadapi Sang Pencipta, dia ingin berpulang dengan keadaan bersih," jelas Satia.
Arum yang tidak tahu resikonya langsung mengambil keputusan. Dia kian menggenggam erat tangan Ambo' nya.
"Saya siap Ambo'," ucapnya ikhlas.
Semua orang yang mendengar Arum terhenyak. Mereka berharap Arum bisa mengambil ilmu putih Ambo' Pati dengan sukarela.
"Iya, anakku. Seharusnya memang kau, ucapan pemuda itu memang harusnya kau," kata Ambo' Pati.
Tangan Ambo' Pati menunjuk ke lemari kayu yang sudah lapuk. Satia paham langsung beranjak membuka lemari lalu mengambil buku usang milik suaminya.
"Ini Ambo'," ucapnya menyerahkan buku coklat itu.
Ambo' Pati menyerahkan buku itu ke putrinya, Arum. Dia menjulurkan jempolnya kepada Arum, meminta putrinya itu menempelkan jempol kanannya pula.
"Ikuti saya, Nak."
Arum mengangguk tanda setuju. Jantungnya berdegup kencang. Tetapi Arum tidak bisa melihat Ambo'nya tersiksa menghadapi kematian tanpa melepaskan ilmunya.
"Saya menyerahkan warisan ilmu ku pada putriku Arum," ucap Ambo' Pati sambil menekan jempolnya kuat-kuat ke jempol Arum.
"Saya menerimanya dengan ikhlas dan mengamalkannya," kata Arum setelah diajar oleh Satia.
Setelah pelepasan ilmunya, Ambo' Pati tersenyum lebar pada sosok yang tidak terlihat. Ambo' Pati melambaikan tangan membalas lambaian sosok yang ia lihat itu. Semua keluarga yang menyaksikan itu ikut merinding. Ambo' Pati memejamkan mata lalu mengucap syahadat. Satia membimbing suaminya agar mengucap syahadat dengan benar. Di menit kemudian hembusan Ambo' Pati tidak terasa lagi oleh Satia.
"Ambo' sudah meninggal dunia," ucapnya lalu terisak tangis.
Arum histeris memeluk Ambo'nya. Para tetangga sudah berdatangan di rumah panggung Ambo' Padi.
"Satia, liat itu!" Seru adik Satia yang menunjuk ke jenazah Ambo' Padi.
Lidah Ambo' Padi menjulur keluar, di lidah yang sudah kaku itu terdapat kapas putih berbentuk satu siung bawang putih. Satia yang sudah lama diberitahu oleh suaminya meminta Arum mengambil benda di lidah Ambo'nya.
"Ambil Arum, hanya kamu yang bisa terima itu, Nak." Kata Satia.
Arum kembali mengiyakan. Dia mengambil kapas putih itu lalu disimpannya disaku.
"Seharusnya di telan, Nak. Jangan disimpan," titah Satia.
"Nanti saja, Bu. Tenggorokan ku kering," sahut Arum yang memang sejak tadi kehausan.
Satia paham lalu beralih membantu adiknya mengurus jenazah Ambo' Pati. Arum memilih keluar dari kamar Ambo'nya. Dia masuk ke kamarnya lalu menumpahkan tangis disana. Kehilangan Ambo' sama seperti kehilangan masa depan.
"Arum, boleh Daeng masuk?" tanya Lalia seraya mengetuk dinding kamar Arum.
Kala itu setiap kamar belum ada pintunya. Semua kamar hanya ditutupi oleh tirai biasa. Arum mengizinkan kakaknya masuk. Dua gadis yang bersaudara itu duduk saling berhadapan dengan mata sembab.
"Kamu sudah ambil ajian Ambo', harus kamu bisa pegang dan amalkan, berat sebenarnya tugas kamu tapi begitulah, janu harus siap-siap bantu orang yang butuh bantuan untuk diobati," ujar Lalia.
Arum yang sudah kekurangan energi hanya menjawab dengan anggukan. Sampai detik itu, Arum belum mempercayai adanya hal gaib atau semacamnya. Dia wanita yang mengedepankan logika.
Thor apa di dunia nyata ada cerita seperti ini?