Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Saat sampai di warung rujak cingur yang dia inginkan, untung saja pedagangnya masih ada namun tengah ramai oleh pembeli. Alesha terlihat sedikit kecewa, tapi dia cepat mengubah ekspresinya.
"Kita cari rujak yang lain aja," ucapnya.
Kami pun melanjutkan perjalanan, berkeliling tanpa tujuan pasti. Di sepanjang jalan, dia menunjuk warung-warung kecil yang terlihat menarik baginya. Kita akhirnya berhenti di sebuah gerobak sederhana di pinggir jalan yang menjual rujak.
"Ini aja, kelihatannya enak," ucapnya seraya turun dari motor.
Aku memesan dua porsi rujak sesuai permintaannya. Saat rujaknya disajikan, dia langsung mencicipinya dengan lahap. Wajahnya tampak puas, meskipun sesekali dia meringis karena sambalnya terlalu pedas.
"Enak ?" tanyaku seraya memperhatikan ekspresinya.
Dia mengangguk dan tersenyum.
"Banget. Tapi kayaknya pedesnya kurang. Minta tambah sambel, dong."
Aku tertawa kecil.
"Ehh, jangan pedes pedes." ucapku mengingatkan.
"Please dikit aja." pintanya memohon.
"Kamu ini aneh banget. Tadi siang masih mual, sekarang malah mau yang pedas-pedas."
"Ya, namanya juga lagi pengen," jawabnya santai.
Setelah makan, kita melanjutkan perjalanan untuk mencari es cendol. Kali ini, dia ingin berhenti di sebuah taman kecil. Kami duduk di bangku kayu seraya menikmati es cendol yang dingin. Langit mulai berubah warna menjadi oranye, dan suasana sore itu terasa begitu indah.
Alesha terlihat tenang, meski sesekali dia mengelus perutnya tanpa sadar. Aku memperhatikan gerak-geriknya dengan cermat.
"Sha, kamu beneran nggak mau ke dokter ?" tanyaku hati-hati.
Dia menatapku sejenak sebelum tersenyum tipis.
"Enggak ah." ucapnya.
"Tapi kamu mual, lemes, terus sekarang tiba-tiba pengen makanan aneh-aneh," ucapku dengan nada serius.
"Jangan jangan, kamu hamil, ya ?" tanyaku.
Pertanyaanku itu membuatnya tersentak. Dia jadi terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya tertawa kecil. Tapi tawanya terdengar gugup.
"Hamil siapa bapaknya ?" tanya alesha, aku jadi mengerutkan alis. Dia tak mengakuiku ?
"Aku lah." jawabku.
"Haha.. Enggak lah. Kita kan belum nikah." ucapnya.
"Iya tapi kita seringkan ?" tanyaku.
"Enggak, kamu gak usah khawatir. Kamu liat aja, besok aku pasti normal kok. Gak bakal mual mual lagi." ucapnya.
Aku sedikit khawatir. Jujur saja aku tak bisa percaya padanya kali ini, masih ada banyak tanda tanya di pikiranku, aku memilih untuk menikmati momen ini. Setidaknya, untuk sementara, Alesha terlihat bahagia.
***
Malam itu, suasana di antara kami terasa jauh lebih hangat. Setelah beberapa hari penuh dengan sikap dingin dan jarak yang tak terjelaskan, Alesha kembali menunjukkan sisi lembutnya. Dia berbaring di sampingku, menyandarkan kepala di dadaku seperti yang biasa dia lakukan.
Rasanya seperti menemukan kembali sesuatu yang sempat hilang.
Saat aku mencoba bangkit untuk pergi ke kamar mandi, dia meraih tanganku dengan lembut.
"Jangan pergi dulu," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Aku menatapnya dengan penuh tanya.
"Aku cuma sebentar, Sha. Ke kamar mandi aja."
Dia menggeleng kecil, genggamannya semakin erat.
"Nggak usah sekarang. Aku cuma... nggak mau sendirian."
Kalimat itu membuatku diam. Ada nada kekhawatiran yang tersirat di balik suaranya, meskipun dia berusaha menyembunyikannya. Aku akhirnya mengalah, membiarkan tubuhku kembali tenggelam di sampingnya. Tangannya tetap menggenggam tanganku, seolah takut jika aku akan benar-benar pergi.
"Ada apa, Sha ? Kamu kenapa ?" tanyaku lembut, mencoba memahami apa yang sedang dia rasakan.
Dia menghela napas panjang, matanya menatap lurus ke arah dinding.
"Aku nggak tahu, Rel. Akhir-akhir ini aku merasa... nggak jelas. Kadang aku pengen marah, tapi nggak tahu kenapa. Kadang aku capek, tapi nggak tahu apa yang bikin capek."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya.
"Kamu stres, mungkin ? Gara gara aku yang numpang terus sama kamu ya ?"
Dia menggeleng.
"Nggaklah. Tapi sekarang aku tahu satu hal. Aku ngerasa aman kalau kamu ada di sini. Jadi... jangan pergi dulu, ya." pintanya.
Hatiku mencelos mendengar kalimat itu. Aku mengangguk tanpa banyak bicara, hanya mengusap punggung tangannya dengan ibu jariku.
"Yaudah. Aku nggak akan ke mana-mana." walaupun aku kebelet sekalipun.
Dia tersenyum kecil, lalu menyandarkan wajahnya di dadaku lagi.
"Makasih, Rel. Aku nggak tahu gimana kalau nggak ada kamu."
Malam itu, kami hanya berbaring dalam diam. Alesha memejamkan matanya perlahan, napasnya mulai teratur. Tapi aku tak segera tidur. Aku tetap terjaga, memandang wajahnya yang terlihat jauh lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.
Ada sesuatu yang membuatku merasa lega, tapi juga khawatir. Perasaan campur aduk itu membuatku terus berpikir: apakah ini hanya sementara ? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang dia sembunyikan dariku ?
Namun, satu hal yang pasti, malam itu aku akan tetap di sampingnya, memastikan dia merasa aman.
Perlakuan Alesha yang berubah-ubah memang membuatku bingung. Kadang dia bersikap dingin dan irit bicara, tapi di lain waktu dia manja dan sangat membutuhkan kehadiranku. Aku merasa seperti berjalan di atas garis tipis yang tidak kuketahui arahnya. Sebenarnya, apa yang sedang dia rasakan ?
Aku mencoba menganalisis apa yang terjadi. Apakah dia sedang menghadapi sesuatu yang berat tapi enggan membicarakannya ? Atau ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku? Kadang aku berpikir, apakah aku yang terlalu khawatir, ataukah dia memang punya alasan untuk bersikap seperti itu ?
Sikap manisnya malam ini sempat membuatku lega, tapi perlakuannya yang kadang menjauh membuat rasa cemas itu kembali muncul. Apa mungkin dia memang sedang stres dengan sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak paham ? Atau... mungkin ini ada hubungannya dengan perubahan fisik yang belakangan dia alami, mual, lemas, dan perubahan emosionalnya ?
Aku merasa harus mencari tahu, tapi aku juga tahu tidak bisa memaksanya untuk berbicara. Alesha bukan tipe orang yang mudah membuka diri, terutama kalau dia merasa apa yang dia alami bisa menambah bebanku. Dia lebih suka menyimpan semuanya sendiri, meskipun aku tahu itu hanya akan membuatnya semakin tertekan.
Malam itu, sambil mengusap lembut rambutnya yang terurai di dadaku. Mungkin aku harus lebih bersabar lagi dalam memahaminya.
Konteks ku di sini bukan sebagai pasangan atau pacar, tapi hanya teman.