9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Setelah pagi penuh drama dan air mata. Kini Zonya membawa Naina untuk mengitari halaman kediaman yang ia tempati dengan menggunakan stroller bayi. Ia mengajak Naina berkeliling sembari berjemur, sebab ia tahu bahwa berjemur adalah hal yang cukup dibutuhkan untuk memperkuat tulang bayi. Selain itu, berjemur juga bisa membantu menjaga suhu tubuh bayi agar tetap stabil sehingga bayi tidak mudah rewel.
Zonya menghentikan langkahnya dan membawa stroller bayi Naina ke bawah pohon rindang yang dibawahnya terdapat kursi. Ia lantas duduk di kursi tersebut, menghadap pada stroller Naina.
"Naina... Cilup ba..." kaget Zonya, berusaha menghibur.
"Hehehe."
Naina cukup terhibur dengan gurauan Zonya. Hingga membuat bayi itu terkekeh, memamerkan deretan gusi-nya. Berkali-kali Zonya mencoba menghibur sang keponakan, membuat bayi itu terkekeh terus menerus. Tampaknya suasana hati Naina sedang baik pagi ini.
Setelah dirasa cukup untuk berjemur, akhirnya Zonya membawa Naina masuk ke rumah. Zonya mendorong stroller bayi menuju kamarnya. Namun saat melewati ruang makan, perutnya seketika berbunyi, menandakan ia tengah lapar sekarang. Ya, ia memang belum sempat memakan sarapannya tadi pagi karena Naina yang menangis. Zonya akhirnya mengurungkan niatnya menuju kamar, ia justru membawa stroller Naina menuju meja makan saat melihat masih ada sisa makanan di sana.
"Nai, Aunty makan sebentar ya, tidak apa-apa 'kan? Nai tunggu sebentar saja, oke."
Zonya mulai mengambil makannya. Sembari menyuapkan makanan ke mulut, matanya tidak lepas dari Naina yang bermain dengan mainan di tangannya. Hingga beberapa saat berlalu, terdengar Naina yang kembali menangis kencang karena mainannya yang jatuh mengenai wajahnya. Dengan gerakan cepat, Zonya langsung membawa Naina kedalam gendongannya. Ia menimang bayi itu sebentar. Setelah merasa tenang, ia kembali duduk di kursi meja makan dan meneruskan sarapannya dengan Naina yang berada dalam gendongannya.
"Kenapa, Nai mau makan juga, iya?" gurau Zonya. Berharap Naina tidak menangis lagi agar tidak kembali menghambat sarapannya. "Nai mau? Aaa—" Zonya mengarahkan sendok makannya kearah Naina, seakan benar-benar akan menyuapkannya. Namun begitu sendok tersebut akan sampai pada mulut Naina, Zonya segera melajukan tangannya seperti pesawat yang melintas. "Yah... Tidak dapat!" keluh Zonya, seakan ia ikut merasa sedih karena Naina tidak mendapatkan makanannya. Sedangkan Naina terlihat tertawa pelan, memperlihatkan gusi merahnya.
Zonya menghabiskan waktu sarapan cukup lama dari biasanya. Jika biasanya ia akan makan dengan cepat karena diburu pekerjaan. Maka kali ini ia makan lambat karena Naina yang terkadang merengek bahkan menangis saat tidak ia ajak bicara.
Huh!
Zonya menghela napas kasar setelah ia berhasil menidurkan Naina. Ia lantas memindahkan Naina ke ranjang milik bayi itu. Setelah memastikan Naina lelap dalam tidurnya, ia berjalan menuju meja rias.
"Baru satu hari jadi ibu, kenapa mukaku malah sudah terlihat sangat kusam," keluh Zonya sembari memindai wajahnya di cermin rias. "Bagaimana dengan Ibu-ibu yang anaknya sampai tiga, empat atau lima ya. Apa tidak stress?"
Zonya memilih menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Setelah itu ia memakai skincare rutin miliknya yang sebenarnya sedikit terlambat. Ya, karena waktu terbaik pemakaian skincare-nya ini adalah pagi hari, sedangkan sekarang sudah siang hari. Tapi tidak masalah, yang terpenting, ia harus menyamarkan rona kusam di wajahnya.
*
Di sisi lain, Sejak pagi tadi, Sean duduk di kursi kerjanya dengan tatapan kosong. Laki-laki itu terlihat sangat lemah. Berkali-kali helaan napas kasar terdengar darinya. Hingga beberapa saat berlalu, ia memilih ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar ia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya saat ini.
"Maaf Tuan, ini sudah waktunya pulang," ucap sekretaris Sean, mengingatkan sang atasan yang terlihat masih cukup fokus pada layar laptopnya.
"Hm, pulanglah!"
Sekretaris itu menunduk singkat, lalu izin untuk pulang lebih dulu. Sedangkan Sean kembali fokus pada pekerjaannya. Tidak ia hiraukan jam yang sudah menunjukkan waktu sore. Karena jika biasanya ia akan semangat untuk pulang tepat waktu karena ada istrinya yang menunggu kepulangannya, maka saat ini berbeda, tidak ada lagi prioritas yang harus ia utamakan.
Beberapa saat berlalu, Sean meraih ponselnya dan melihat jam yang tertera di sana. Ternyata ia sudah menghabiskan waktu lembur berjam-jam di sini. Terbukti dengan waktu saat ini yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia lantas menutup laptopnya dan menyambar jas yang ia sampirkan pada lengan kursi, setelah itu ia keluar kantor menuju mobilnya.
Mobil melaju meninggalkan perusahaan. Namun bukan untuk pulang. Karena kini, mobil itu justru menuju pada pusat keramaian kota, dimana suara dentuman musik keras terdengar dengan lampu kerlap-kerlip yang menghiasi setiap sudutnya. Ya, ia tengah berada di club sekarang.
"Hai Bro!" sapa seorang pria saat melihat Sean masuk.
"Hm."
"Kau ingin minum lagi atau mengikuti tawaranku untuk berpesta?" tanya laki-laki itu. Pesta yang ia maksud tentu saja bukanlah pesta biasa. Karena tentu saja pesta bagi penghuni club adalah bersenang-senang bersama para wanita yang menjadi primadona di sana.
"Aku tidak tertarik dengan duniamu!" Sean melangkah melintasi laki-laki itu dan duduk di sofa yang sudah terhidang berbagai minuman yang selama beberapa hari ini ia konsumsi.
"Hei Bung, ayolah. Kau hanya belum mencobanya saja. Setelah kau mencobanya, maka kau akan merasa melayang ke nirwana dan menginginkannya terus menerus," bujuk laki-laki itu lagi.
"Pergilah Mor!"
Bukannya pergi, laki-laki itu malah terkekeh dan ikut duduk bersama sahabatnya, "Dengar Sean, kau mengunjungi tempat ini untuk menghilangkan suntuk 'kan? Maka dari itu, mari kita bersenang-senang, apa salahnya? Bukankah istrimu juga sudah mati?"
"Kau!" Sean langsung mencengkram kerah kemeja laki-laki itu dengan wajah yang sudah memerah menahan amarah, "Raganya memang sudah mati, tapi perlu kau ingat, bahwa dia akan selalu ada di sini bersamaku. Jadi jaga ucapanmu, Morgan!"
"Baiklah, maafkan aku." laki-laki bernama Morgan itu mengangkat tangannya sebagai tanda ia mengalah dan Sean langsung melepas cengkramannya pada kerah leher Morgan.
"Kalau begitu nikmati minumanmu dan aku akan berpesta dulu. Bye Laki-laki aneh." ucap Morgan pada akhir kalimatnya, tentu saja dengan ucapan lirih. Sebab, ia takut jika mengatakannya dengan terang-terangan, maka Sean akan kembali menghajarnya.
Sean mengambil botol minuman diatas mejanya dan langsung menegaknya begitu saja tanpa menggunakan gelas, seolah ini adalah hal yang biasa baginya. Ia menegak minuman itu hingga tandas sembari memperhatikan orang-orang yang berjoget riang dibawah lampu disko. Sean menggelengkan kepalanya saat kesadarannya mulai menghilang, ia lantas bangkit dari duduknya hendak keluar dari sana, tapi belum saja melangkah, ia justru sudah terkapar tak berdaya di sofa.
"Haish... dasar payah!" cemooh Morgan saat melihat Sean yang sudah terkapar dengan kesadaran yang ia pastikan telah hilang sepenuhnya.