dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
semburat nafsu
Alya merebahkan diri di atas springbed empuk di kamar kantor Saka. Tubuhnya yang lelah seolah mendapatkan pelukan hangat dari kasur yang nyaman itu.
"Alhamdulillah... Akhirnya bisa istirahat juga," gumamnya lega sambil meluruskan persendian.
Matanya mulai terpejam, tetapi hati kecilnya segera berteriak mengingatkan.
"Astagfirullah, Alya! Fokus! Cari barang bukti atau hal mencurigakan!" bisiknya kepada diri sendiri.
Ia duduk kembali dengan wajah serius, matanya menyapu seluruh ruangan. "Tapi... apa yang harus dicari?" gumamnya bingung. Perasaan ragu dan frustrasi merayapi pikirannya. "Ya Allah, bantu Alya ya..."
Tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah laci di sudut meja yang terkunci rapat.
"Ini pasti ada sesuatu yang penting," gumamnya yakin. Tanpa pikir panjang, ia segera mencari kunci di sekitar ruangan. Tangannya bergerak lincah membuka lemari kecil di samping meja. Tak lama, sebuah kunci kecil berkilauan tertangkap matanya.
"Nah, ketemu!" ucapnya pelan dengan senyum kemenangan.
Dengan hati-hati, ia membuka laci tersebut. Namun, senyum di wajahnya seketika pudar saat melihat isi di dalamnya.
"Pistol?" bisiknya tercekat, jantungnya berdegup kencang. "Astaghfirullah... belati? Cambuk?" Suaranya gemetar. Napasnya terasa berat seiring tubuhnya yang mulai bergetar karena keterkejutan. Tanpa menyentuh apa pun, Alya buru-buru menutup kembali laci tersebut.
"Alya!" suara berat Saka terdengar dari luar pintu, memecah keheningan ruangan. "Udah tidur belum?" tanyanya dengan nada curiga.
Alya terhenyak. "Aduh! Gimana ini? Ya Allah... pura-pura tidur aja!" bisiknya panik.
Ia segera berbaring kembali dan menutup matanya rapat-rapat, mencoba terlihat santai meski detak jantungnya berlomba dengan waktu.
Pintu terbuka pelan, suara langkah kaki Saka mendekat. Matanya menatap Alya yang pura-pura terlelap.
"Hem... Alya, Alya," gumam Saka dengan nada yang sulit diterka, senyumnya tipis namun penuh arti.
Saka berdiri di tepi springbed, menatap Alya yang terlelap pura-pura tidur. Napasnya berat, pikirannya penuh pergolakan yang tak bisa ia abaikan.
"Sudah terlalu lama aku berpura-pura dengan perasaan ini, Alya..." gumamnya dalam hati, tatapannya penuh dilema. "Dan sekarang kau ada di depan mataku, di tempat yang tertutup seperti ini."
Saka menggerakkan tangannya, seolah ingin mendekat.
Perasaan tak terkendali membuatnya melepas dasi dan membuka kancing kemejanya perlahan. Namun, sebelum pikiran liarnya berkembang lebih jauh, suara ketukan keras di pintu membuyarkan semuanya.
Tok... tok... tok...
“Bos,” suara Viola, sekretarisnya, terdengar tegas dari luar ruangan.
Saka mengembuskan napas berat dan berdecak kesal. "Iya, nanti!" sahutnya dengan nada menahan amarah.
Dengan cepat, Saka merapikan kembali penampilannya.
Kemeja yang sempat terbuka dikancing ulang, dasi kembali terpasang rapi di lehernya.
Ekspresi serius segera menggantikan gelombang emosi yang sempat meraja.
Ia melangkah keluar dari kamar tanpa menoleh lagi ke arah Alya.
Namun, di sudut hatinya, bayangan wajah gadis itu tetap melekat, mengingatkannya pada perasaan yang tak pernah bisa ia nyatakan.
Setelah keluar dari kamar, Saka kembali ke kursi kantornya dengan ekspresi yang kembali datar dan dingin, menyembunyikan pergolakan batin yang barusan melanda.
"Masuk!" suaranya tegas tanpa emosi saat mendengar ketukan di pintu.
Viola masuk dengan langkah gemulai, seolah berusaha menarik perhatian Saka. Senyum tipis tersungging di bibirnya saat meletakkan berkas di atas meja.
"Ini, Bos. Catatan peningkatan saham bulan ini," ucapnya lembut, berharap memecahkan suasana dingin di ruangan itu.
Saka hanya mengangguk kecil tanpa menatap Viola lama-lama. "Hmmm... Ada lagi?" tanyanya singkat.
Viola tak menyerah. "Bos sudah makan belum? Saya bawa nasi goreng, dibungkus khusus buat Bos." Nada suaranya penuh usaha mencuri perhatian.
"Aku tidak lapar," jawab Saka datar, matanya masih tertuju pada berkas yang baru diserahkan.
Viola mencoba tetap tersenyum meski dinginnya tanggapan Saka membuat suasana semakin kaku. "Kalau begitu, mungkin—"
"Apaaa...ada keperluan lain selain membawa nasi goreng?" potong Saka, sorot matanya tajam dan menusuk.
Viola terdiam kikuk, kehilangan kata-kata. "O-oh, tidak ada lagi, Bos," jawabnya gugup, segera membalikkan badan untuk keluar dari ruangan.
Sementara itu, di kamar kantor Saka, Alya yang awalnya berpura-pura tidur ternyata benar-benar terlelap. Napasnya terdengar teratur, tubuhnya nyaman di atas springbed, tanpa menyadari badai emosi yang sebelumnya melanda pria yang kini memandang nasibnya di balik pintu.
baper