Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 30
TERTAHAN DI MANSION MENYEBALKAN
Sudah satu Minggu lewat, tidak ada kabar dari Nadine. April, Dita dan juga Yunita begitu khawatir serta cemas akan keadaan Nadine di negara asing tersebut, bahkan tidak ada surat nyasar dari orang tak di kenal yang mungkin saja itu Nadine. Meskipun Nadine meneleponnya, tapi adiknya itu masih belum mengatakan dengan jelas dan malah mematikan ponselnya tiba-tiba.
“Apa kamu ada kabar tentang Nadine?” tanya Yunita kepada April yang kebetulan mampir ke rumah panti. April menggeleng menandakan bahwa dia juga menunggu kabar dari Nadine.
“Kakak tidak usah terlalu cemas. Ingat, Nadine tidaklah penakut, kakak ingat' kan!” sebisa mungkin wanita bernama April itu mencoba menghibur kakak dari temannya.
Memang benar, jika di pikir kembali oleh Yunita. Adiknya itu cukup berani, tapi tetap saja dia adalah keluarga satu-satunya yang dia miliki.
...***...
Nadine masih sibuk melahap hidangan yang ada tanpa membuka suara, bahkan dia tahu dan mulai risih akan tatapan yang terus saja Alex lakukan. “Sangat tidak sopan jika terus menatap seseorang berlebihan. Apalagi seorang wanita.” Sindir Nadine dengan sikap tenang tanpa menatap wajah seseorang yang tengah dia tegur.
Semua orang yang ada di sana tentu saja menatap Nadine lalu ke Alex yang mulai berpaling panik. Sejenak Julia mengamati adiknya lalu ke Nadine yang masih sibuk dengan sarapannya.
“Tunggu sebentar.” Nadine melihat ke Julia, menghentikan kedua tangannya yang awalnya sibuk dengan makanan.
Julia tersenyum licik seakan tak terima akan teguran Nadine kepada adiknya. “Apa kamu baru saja menyindir Alex, adik ku?” Miia yang mendengarnya, hanya menggeleng sambil tersenyum miring.
“Iya.” Jawab to the poin Nadine yang sungguh di luar pikiran Julia. Biasanya seseorang akan sungkan jika di tegur, tapi Nadine tidak.
Ericsson masih diam mengamati Nadine.
“Tunggu dulu nona! Apa kau pikir.. aku terus menatap mu, begitu?” ejek Alex tak tahu diri. Nadine hanya diam memberikan tatapan santai. Dia sangat tahu cara menghadapi seseorang seperti Alex ataupun Julia.
Nadine mengangguk dengan percaya diri, “Ya.” Hal itu membuat Alex tertawa kecil namun terlihat sekali kepanikannya ketika Ericsson, Miia dan Ina menatapnya penuh kecurigaan.
“Yang benar saja!” dengusnya pelan.
“Ada banyak pria seperti mu di luaran sana. Jika kau tidak bisa menjaga sikap dan perilakumu, maka kau akan mendapat imbasnya.” Ujar Nadine kembali memegang peralatan makannya.
Alex merasa rendah mendapatkan teguran dari seorang wanita, apalagi itu adalah Nadine. Wanita baru di Mansion ErEd.
“Aku tahu kau istrinya Maxi, tapi bukan berarti kau semena-mena di sini. Dan ucapanmu barusan adalah sebuah hinaan terhadap adikku.” Sentak Julia tidak terima. Nadine tersenyum tipis. Rasanya begitu muak tinggal bersama orang-orang seperti keluarga Maxi.
Tidak ada alasan bagi Nadine takut dengan mereka, toh dia sangat benci dengan orang-orang kurang ajar. Nadine tidak akan segan untuk memberikan celotehnya.
“Kalau begitu kendalikan mata adikmu.” Sindir Miia mulai ikut campur.
“Sebaiknya kau tutup mulut saja wanita tua.” Balas Julia.
“SUDAH HENTIKAN.” Sentak Ericsson mulai naik pitam hingga ia menggebrak meja. Selalu saja ricuh di saat makan bersama, sekali saja para wanita itu tidak bertengkar mungkin Ericsson bisa menjadi tenang.
Sebelum pergi Ericsson masih mengamati Nadine dengan tajam, tidak ada ketakutan di wajah wanita itu. Setelahnya, Ericsson memilih berangkat ke kantor meninggalkan orang-orang ricuh tadi.
Julia mencoba tenang meski sesekali matanya melirik tak suka ke Nadine dan Miia.
-‘Untung kau istrinya Maxi. Jika tidak, mungkin aku akan melemparnya dengan piring.’ Batin Julia mencoba tenang.
Alex sendiri sudah tidak menatap Nadine dengan mata telanjang nya. Seharusnya pria itu harus di beri pelajaran, jika saja ada Maxi, mungkin dia sudah di bantai habis.
Wanita awet muda yang selalu memakai dress ketat berwarna itu, beranjak pergi, sedangkan adiknya masih ingin menghabiskan sarapannya. “Aku pergi dulu Ibu.” Pamit Ina ke Miia.
Kini hanya ada tiga orang di sana.
“Boleh aku bertanya sesuatu Nadine?”
Nadine tak menjawab, dia akan mendengarkan meski tanpa menatap mertuanya.
“Apa kamu masih perawan?” Seketika Nadine berhenti, rasa kesalnya kembali muncul ketika Miia bertanya hal pribadi yang seharusnya tidak boleh di tanyakan apalagi di depan Alex.
Nadine segera menoleh ke Miia yang kini juga sama-sama melihat ke arah Nadine.
“Kamu menanyakan soal pribadi. Sebaiknya tanyakan hal itu kepada putrimu terlebih dahulu.” Miia terkejut mendengar balasan menohok dari Nadine.
“Terima kasih untuk sarapannya.” Nadine beranjak pergi dengan wajah malas dan kesal. Kini dia tahu kenapa Maxi sangat tidak nyaman dan tidak suka berada di dekat keluarganya. Nadine sendiri sudah merasakannya sendiri.
-‘Mereka semua memiliki keanehan.’ Batin Nadine sekedar menebak.
Ada perasaan kesal dan marah akan ucapan Nadine mengenai Ina. Tapi di sisi lain Miia juga merasakan keanehan tentang putrinya, apakah putrinya menyembunyikan sesuatu? Akhir-akhir ini Miia merasa sikap Ina terlihat sangat mencurigakan.
.
.
.
Lagi, Nadine kembali ke kediaman yang terlihat suram, sepi tidak berwarna. Tidak ada canda tawa, maupun keharmonisan di sana. Nadine merasa bahwa dia seperti seorang tahanan di sana, tidak boleh keluar ataupun menelepon keluarganya.
Dia sudah sangat lelah ketika harus terus menangis di saat sendirian di kamar. Menghadapi orang-orang di Mansion ErEd sungguh membuatnya lelah, di tambah dengan Maxi.
“Hanya 200 hari Nadine. Kamu pasti bisa melewatinya.” Gumam Nadine menyemangati diri sendiri, meski itu sangat berat.
...***...
Menjelang siang, pria angkuh itu masih belum kembali juga dari pekerjaan ilegalnya. Nadine merasa bosan seharian hanya di rumah, apalagi para penjaga melarangnya keluar bahkan hany untuk sekedar menghirup udara segar di halaman sebesar bak lapangan tersebut. Dia benar-benar di penjara oleh si Maxi.
Di ruang tamu, Nadine duduk bersandar dengan wajah lesu. Pikirannya kembali ke kakaknya serta temannya, tak hanya itu, dia juga menerima banyak email masuk dari para penerbit untuk beberapa bukunya. Kenapa dia harus terjebak di sini?
.
.
.
Memasuki jam malam. Nadine baru saja bangun tidur, rupanya ia ketiduran di kamar saat tengah melamun seharian tanpa melakukan aktivitas apapun. Kini perutnya kroncongan, cacing-cacing di dalam sudah mulai kelaparan.
Plakk!
Kedua mata Nadine membelalak kaget, baru melangkah menuju ruang makan saja sudah di kagetkan dengan pemandangan yang sungguh membuatnya geleng kepala. Maxi baru saja memberikan tamparan keras di bagian pipi kiri seorang pelayan wanita! Terlebih lagi yang membuat Nadine mulai resah adalah, sang pelayan rupa-rupanya sosok wanita muda yang sudah meminjamkan ponselnya ke Nadine.
“Siapa yang menyuruhmu hm?” suara dingin itu sungguh mencengkam bahkan pelayan tadi menangis menahan panas di pipinya. Hanya terdengar suara tangis, bahkan para pelayan serta penjaga di area sana sudah pergi meninggalkan tempat atas perintah dari bos mereka.
Nadine melihat betapa marahnya Maxi kepada pelayan yang sudah menolongnya.
Tangan kanan Maxi menjambak kuat dan kasar rambut pelayan tadi sehingga wanita itu kesakitan memegang rambutnya. “Sudah aku katakan, jika melanggar maka taruhannya adalah nyawa.”
“HENTIKAN!” Sentak Nadine dengan nada tinggi sehingga Maxi yang mengenalinya masih enggan melepaskan cengkeramannya di rambut sang pelayan. Nadine berjalan tergesa-gesa, mendekati Maxi.
“Aku bilang hentikan.” Ucap gadis itu.
“Kamu tahu apa yang sudah dia lakukan?” rahang Maxi mengeras, tatapannya tajam menuju ke arah lain. Dengan tubuh gemetar, nafas Nadine naik turun, sejenak menatap pelayan yang masih menangis berharap bantuan darinya.
“Lepaskan dia. Dia tidak bersalah, tapi aku.” Ucap Nadine memilih mengaku, toh lebih baik mati daripada hidup terkurung di Mansion menyebalkan dengan orang-orang yang sama menyebalkan.
...°°°...
HAI! HAI! HAI!!!!!!!! ADA SESUATU YANG INGIN SAYA SAMPAIKAN. SAYA AKAN UPDATE 3 BAB BESOK, ASALKAN BERI DUKUNGAN UNTUK CERITA INI SUPAYA SAYA BERTAMBAH SEMANGAT NULISNYA.
Jujur, akhir-akhir ini saya sangat di landa gelisah nih, ingin menyenangkan hati dengan melihat dukungan dari kalian untuk my story.
Okay, tidak ada paksaan. hanya tinggalkan jejak
VOTE ☑️
Komen☑️
Rate ☑️
Like☑️
Favorit ☑️
Semoga cerita di atas menghibur kalian!!
Thanks and See ya ^•^
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..