NovelToon NovelToon
Alter Ego Si Lemah

Alter Ego Si Lemah

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti
Popularitas:579
Nilai: 5
Nama Author: Musoka

Apakah benar jika seorang gadis yang sangat cantik akan terus mendapatkan pujian dan disukai, dikagumi, serta disegani oleh banyak orang?

walaupun itu benar, apakah mungkin dia tidak memiliki satu pun orang yang membencinya?

Dan jika dia memiliki satu orang yang tidak suka dengan dirinya, apakah yang akan terjadi di masa depan nanti? apakah dia masih dapat tersenyum atau justru tidak dapat melakukan itu sama sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kata maaf

Happy reading guys:)

•••

“Jadi, kamu mau ngomongin apa, Jar?” tanya Renata, duduk di salah satu meja yang berada di dalam ruangan OSIS.

Fajar berjalan menuju meja pribadinya, mengambil laptop dari dalam tas. Ia membuka laptop itu, mencari sebuah rekaman CCTV yang telah dirinya dapatkan selama mencari informasi terkait kejadian kemarin malam.

Setelah mendapatkan rekaman CCTV itu, Fajar menghadapkan laptop ke arah depan agar dapat dilihat oleh Angelina, Karina, dan Vanessa.

“Coba kalian lihat,” perintah Fajar, mengangkat kepala, melihat ketiga gadis yang berada di depannya.

Angelina, Karina, dan Renata melihat rekaman CCTV di dalam laptop milik Fajar. Kening ketiga gadis itu sontak mengerut, saat mendapati beberapa orang mengenakan pakaian serba hitam membawa tubuh Vanessa ke dalam ruangan gudang.

Kedua tangan Karina sontak mengepal sempurna, saat melihat tubuh sang sahabat diseret dan beberapa kali dipukul oleh beberapa orang itu.

Karina di dalam hati bersumpah, akan membalas sepuluh kali lipat dari perbuatan yang telah mereka lakukan kepada Vanessa.

“Mereka siapa, Jar?” tanya Renata, setelah selesai melihat rekaman CCTV di dalam laptop milik Fajar.

Fajar menutup mata seraya menggelengkan kepala. “Aku belum tau, Ren. Bahkan, Pak Aan sama Pak Prap yang jaga kemarin malam gak ada dapatin tanda-tanda mereka. Kata mereka berdua, di sekolah ini kemarin malam cuma ada kalian berlima, dan gak ada orang lain.”

“Gimana bisa, Kak? Gimana bisa sekolah yang selalu digembor-gemborkan memiliki tingkat keamanan yang baik kecolongan kayak gini?” gumam Angelina, menundukkan kepala dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Mendengar gumaman Angelina, membuat Fajar merasa sangat bersalah, karena tidak bisa menepati salah satu motto yang selalu dirinya katakan saat mempromosikan sekolah ini.

“Maaf,” kata Fajar, dengan kedua tangan yang telah mengepal sempurna, merasa sangat geram dengan dirinya sendiri.

“Kak, apa kata maaf bisa buat Vanessa gak ngerasain sakit? Apa kata maaf bisa buat Vanessa sekolah hari ini? Dan apa kata maaf bisa buat Vanessa kembali sadar?” Tubuh Angelina bergetar dengan begitu hebat, ia mengangkat kepala, air mata telah membasahi wajahnya.

Fajar hanya bisa diam saat mendengar semua pertanyaan Angelina. Ia bingung harus menjawab apa, yang bisa dirinya lakukan sekarang hanyalah membiarkan gadis itu meluapkan semua emosi.

“Kak, jawab? Apa kata maaf bisa buat semua itu bakal kejadian?” Angelina mengepalkan kedua tangan, menatap sendu ke arah Fajar.

“Nggak,” jawab Fajar pelan, seraya menggelengkan kepala.

Angelina berdecih saat mendengar jawaban Fajar. Ia kembali menunduk, air mata semakin gencar keluar dari kedua indera penglihatannya.

“Kak, apa sekolah bakal tanggung jawab dari kejadian ini?” tanya Karina, yang sedari tadi hanya diam.

Fajar menggelengkan kepala. “Gue gak tau, Kar. Kepala sekolah belum ada ngasih kabar, tapi sebisa mungkin bakal gue desak kalau sampai sekolah gak mau tanggung jawab.”

Mendengar perkataan dari Fajar, membuat emosi Angelina semakin menguap. Ia menggenggam lengan Karina, membawa sang sahabat keluar dari dalam ruangan OSIS, meninggalkan Fajar dan Renata yang hanya bisa diam seraya menatap kepergian dirinya.

Setelah kepergian Angelina dan Karina, Renata mengalihkan pandangan ke arah Fajar, berjalan mendekati cowok itu, lalu menggenggam tangan kanan sang sahabat.

“Jar, kamu gak papa?” tanya Renata pelan.

“Aku sekarang udah jadi pembohong besar, Kar.” Fajar menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya dari Renata.

“Hei, kenapa kamu ngomong gitu? Kamu itu bukan seorang pembohong, Jar.” Renata mengelus lembut punggung tangan Fajar.

“Gak, Ren. Aku bener-bener sudah jadi pembohong karena selalu bilang kalo sekolah ini punya sistem keamanan yang paling baik. Tapi, kenyataannya gak gitu.” Fajar menutup mata, cairan bening perlahan-lahan mulai keluar dari dalam indera penglihatannya. “Maafin aku, Ren, maafin aku.”

Tatapan Renata berubah menjadi sendu setelah mendengar perkataan Fajar. Ia melepaskan genggaman tangannya, menangkup wajah Fajar agar menatap dirinya.

“Jar, dengerin aku, kamu jangan terlalu merasa bersalah kayak gini, ini semua bukan kesalahan kamu. Kalaupun harus ada yang disalahkan, orangnya itu bukan kamu, karena kamu gak tau apa-apa soal ini. Dan satu lagi, aku janji sama kamu, aku bakal bantu kamu buat nyelesain masalah ini, aku bakal bantu kamu sampai nemuin orang yang udah bikin salah satu adek kelas kesayangan aku kayak gini, aku janji itu sama kamu.” Renata menghapus air mata Fajar yang telah turun membasahi kedua pipi. “Jadi, please, ya, Jar. Kamu jangan kayak gini lagi.”

Fajar melepaskan tangan Renata dari wajahnya, lalu bergerak memeluk erat tubuh gadis itu. “Makasih, Ren. Makasih banget.”

Renata tersenyum tipis, membalas pelukan Fajar, mengelus lembut rambut dan punggung lebar milik cowok itu.

•••

“Ngel, kita mau ke mana?” tanya Karina, mengikuti langkah kaki Angelina yang berjalan dengan sangat cepat menyusuri koridor.

Angelina hanya diam, wajahnya telah dipenuhi oleh air mata. Gadis itu kini hanya berfokus akan satu hal, yaitu menghampiri seseorang yang sangat memiliki pengaruh besar di sekolah ini.

Para siswa-siswi yang berpapasan dengan Angelina dan Karina berusaha menyapa kedua gadis itu. Namun, sapaan mereka diabaikan. Mereka semua terheran-heran, karena biasanya Angelina selalu membalas sapaan yang diberikan.

“Kak Angel lagi kenapa, ya? tatapannya ngeri banget, ditambah dia kelihatan lagi nangis,” tanya salah satu siswi yang barusan menyapa Angelina.

“Kelihatannya dia lagi sedih, Rin. Wajar, sih, soalnya kak Vanessa diperlakukan kayak gitu sama orang yang gak dikenal,” jawab siswi lainnya, menoleh ke arah belakang, melihat punggung Angelina dan Karina yang perlahan-lahan mulai menghilang dari pengelihatannya.

“Semoga orang-orang yang udah buat kak Vanessa terluka bisa cepet ketahuan dan ketangkap. Dan kalo bisa, mereka juga harus ngerasain apa yang udah kak Vanessa rasakan.”

“Semoga aja, ya, Rin.”

Meninggalkan dua orang siswi yang sedang mengobrol itu, kini di depan ruangan guru SMA Garuda Sakti terlihat Angelina dan Karina yang sedang berdiri diam, menatap lurus ke arah pintu ruangan.

“Ngel, kita mau ngapain ke sini?” tanya Karina, bingung sebab Angelina membawa dirinya ke depan ruangan guru.

“Ada orang yang harus kita temuin, Kar.” Angelina membuka pintu ruang guru, memasuki ruangan itu dengan tangan masih menggandeng lengan Karina.

Setelah berada di dalam, Angelina dan Karina berjalan menuju sebuah ruangan yang terpisah dari meja-meja guru lain.

Kehadiran kedua gadis itu, membuat beberapa guru yang sedang berada di dalam sontak menatap ke arah mereka. Beberapa guru itu sedikit melebarkan mata, melihat wajah Angelina yang sudah sangat merah dengan air mata terus keluar.

“Angel, Karin, kalian berdua lagi nyari siapa?” tanya seorang guru perempuan, berjalan mendekati Angelina dan Karina.

Angelina mengabaikan pertanyaan dari guru itu, terus berjalan menuju tempat tujuannya. Sedangkan Karina, ia menggelengkan kepala, memberikan sebuah kode kepada guru yang merupakan wali kelasnya dengan masih terus mengikuti langkah kaki sang sahabat.

Langkah kaki Angelina berhenti, tepat di depan pintu ruangan yang bertuliskan ‘Ruang Kepala Sekolah’.

Genggaman Angelina di lengan Karina semakin menguat. Gadis itu beberapa kali menarik napas dalam-dalam, sebelum mengetuk dan membuka pintu dari ruang kepada sekolah.

Pintu ruangan terbuka, kedua mata Angelina mengamati sekeliling, tidak mendapati tanda-tanda dari seseorang yang sedang dirinya cari.

“Angel, kamu lagi nyari kepala sekolah?” tanya kembali guru perempuan itu, seraya berjalan mendekati tempat Angelina dan Karina berada.

Angelina berbalik badan, menatap wajah guru itu dengan tatapan yang sangat sulit untuk diartikan. “Dia di mana?”

Melihat tatapan mata Angelina, guru perempuan itu melebarkan mata dengan mulut sedikit terbuka.

“Dia di mana, Bu? Bu Tanti, jawab.” Angelina melepaskan genggaman pada lengan Karina, berjalan mendekati guru perempuan itu dan menggenggam tangan kanannya.

“Dia siapa, Ngel? Kamu lagi nyari siapa? Kepala sekolah?” Bu Tanti membalas genggaman tangan Angelina, memegang wajah gadis itu, lalu menghapus air mata yang masih terus mengalir di pipi Angelina.

Angelina sedikit menganggukkan kepala. “Iya, dia di mana, Bu?”

Bu Tanti menggelengkan kepala, masih terus menghapus air mata Angelina yang belum juga berhenti. “Ibu gak tau, Ngel. Ibu belum ada ketemu kepala sekolah hari ini. Kemungkinan, kepala sekolah masih belum datang, Ngel.”

Angelina berdecih, menggigit bibir bawah, genggaman pada tangan Bu Tanti semakin dirinya eratkan. “Bisa-bisanya dia belum datang. Padahal, ada kejadian yang sangat mengerikan.”

Karina yang sedari tadi hanya diam mengembuskan napas panjang. Ia berjalan mendekati Angelina, mengelus lembut punggung sang sahabat. “Angel, sabar. Jangan kebawa sama emosi lu.”

Angelina menoleh, melihat wajah Karina yang telah berubah menjadi sedikit lemas. “Gak bisa, Kar. Gue gak bisa sabar di saat sahabat kita lagi ngerasain sakit, tapi orang yang selalu bilang kalau sekolah ini aman malah sampai sekarang belum datang juga.”

“Ngel, sa—”

Angelina kembali melihat Bu Tanti, memotong Karina yang kembali bersuara. “Bu, apa dia mau lari dari tanggung jawab? Apa dia gak mau ambil tindakan dari kasus ini? Dan apa dia kerja sama, sama pelaku yang udah bikin Vanessa gak sadarkan diri?”

Mendengar cecaran pertanyaan dari Angelina, membuat tatapan Ibu Tanti berubah menjadi sendu, merasa sangat sedih setiap kali mengingat kejadian yang menimpa salah satu siswinya.

“Bu, jawab?” Air mata Angelina semakin gencar turun membasahi pipi, pikiran akan keadaan Vanessa saat ini tiba-tiba kembali memenuhi isi kepalanya.

“Saya gak akan lari.”

To be continued :)

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!