Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Detektif yang ada di sana terdiam, saling memandang. Mereka tahu bahwa Pinky bukan gadis biasa. Kehidupan yang berat dan pengabaian dari ayah kandungnya telah meninggalkan bekas luka yang mendalam di hati gadis itu.
Detektif Meels, yang biasanya sering berdebat dengan Pinky, mendapati dirinya tergerak oleh kisah gadis itu. Ia menatap Pinky dengan sorot mata penuh empati, sesuatu yang jarang terlihat darinya.
"Pinky," ujar Meels dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, "apakah kau benar-benar yakin ingin menuntut ayahmu sendiri? Ini bukan langkah yang mudah."
Pinky menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca, namun sorot tekad di dalamnya tetap kuat. "Dia bukan ayahku lagi, Detektif," jawabnya dengan nada yang tegas meski sedikit bergetar. "Sejak dia mengatakan aku bukan anaknya, sejak dia mengakui hanya Jenny yang menjadi anaknya, aku tahu dia sudah meninggalkan aku."
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. "Saat aku dibully di sekolah, aku memohon bantuannya, tapi dia tidak mau datang. Karena aku miskin, Bahkan guruku tidak peduli dengan aduanku. Mereka malah mengejekku, mengatakan aku anak tanpa ayah. Tapi mereka tidak tahu kebenarannya... bahwa ayahku sibuk dengan selingkuhannya, meninggalkan aku sendirian! Apakah pria seperti ini masih layak menjadi ayahku?"
Meels menelan ludah, mencoba menenangkan emosinya sendiri. "Kalau ini yang benar-benar kau inginkan, kami akan memprosesnya untukmu. Sebagai seorang ayah, meninggalkan anaknya yang baru berusia tiga tahun adalah sebuah kesalahan besar. Terlebih lagi, melarikan diri dari tanggung jawab melindungi anaknya adalah hal yang tak termaafkan."
"Detektif, ini masalah keluarga!" Mark, ayah Pinky, tiba-tiba menyela dengan nada marah. "Polisi tidak berhak ikut campur!"
Meels menatapnya tajam. "Siapa bilang polisi tidak berhak, jika Anda telah menelantarkan anak Anda sendiri? Selain itu, kekasih Anda, Ny. Sania, juga perlu diselidiki atas keterlibatannya dalam kasus penculikan Pinky," balasnya tegas, suaranya penuh wibawa.
"Ini semua fitnah!" Sania mendesis, mencoba membela diri. "Aku tidak sebodoh itu melakukan kesalahan di tempatku sendiri. Semua ini adalah ulahnya! Anakku menjadi korban karena rencana jahatnya juga!"
"Detektif, seperti yang aku katakan sebelumnya," Pinky menyela dengan suara yang lebih pelan namun terisi dengan emosi, "Saat aku dibawa ke toilet, tanganku diikat. Ketika aku sadar, aku sudah berada di lift. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berada di sana. Setelah sadar, aku langsung kabur... demi keselamatanku sendiri."
Meels menatap Pinky dengan penuh perhatian, matanya menunjukkan empati yang mendalam. "Kami akan mengusut kasus ini hingga tuntas," katanya pelan. "Dan kami akan memastikan keadilan ditegakkan, tak peduli betapa sulitnya jalan ini."
Pinky menatap Meels, untuk pertama kalinya merasa bahwa seseorang benar-benar peduli padanya. "Terima kasih, Detektif," ucapnya.
Tidak lama kemudian, seorang rekan Meels melangkah masuk ke ruangan itu dengan wajah serius, membawa berkas di tangannya. Ia langsung menghadap Meels dan memberikan laporan singkat.
"Aku sudah mendapatkan hasilnya," ucap detektif muda itu dengan nada formal. "Rekaman yang tersebar adalah asli, bukan hasil rekayasa."
Pernyataan itu membuat suasana ruangan menjadi tegang. Semua mata tertuju pada Sania, yang kini tampak gelisah. Meels berdiri dari kursinya dengan ekspresi penuh determinasi.
"Tahan Sania," ucapnya tegas, sambil menunjuk ke arah wanita itu. "Dia diduga sebagai tersangka yang merencanakan penculikan terhadap Pinky dan berusaha melakukan pelecehan terhadapnya. Namun, dalam rencana itu, putrinya sendiri menjadi korban."
Detektif Ryan segera mendekati Sania, dengan cekatan memborgol kedua tangannya. Sania yang merasa terpojok mulai berteriak dengan penuh kemarahan.
"Hei! Anak aku yang menjadi korban! Kenapa malah menahan aku?!" serunya, berusaha memberontak, tetapi borgol di tangannya tidak memberinya banyak pilihan.
Mark, yang sejak tadi diam di ruangan itu, tampak kaget dan mulai bergerak ke arah Sania. Namun sebelum ia sempat berbicara, Meels menghentikannya dengan tatapan tajam.
"Sania...!" Mark memanggil nama istrinya dengan nada penuh kebingungan. Namun, ia tidak bisa melanjutkan, karena Meels segera memotong.
"Tuan Mark," ujar Meels dengan suara lantang, membuat semua orang di ruangan terdiam. "Anda juga akan dihadirkan di persidangan. Mengenai rencana tersangka, kami akan mengusutnya lebih jauh. Jika nantinya ditemukan bahwa Anda terlibat, maka Anda akan dijatuhi hukuman berlapis."
Mark membeku di tempat. Wajahnya yang tadinya memerah karena marah kini berubah pucat. Ia mencoba menyangkal, tetapi kata-kata tidak keluar dari mulutnya.
Pinky yang menyaksikan semua itu dari sudut ruangan hanya bisa memandang dengan campuran emosi—antara marah, lega, dan terluka. Ia menggenggam kedua tangannya erat, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Sania, sementara itu, terus berteriak dengan penuh emosi. "Aku tidak bersalah!"
Meels menatap Sania dengan dingin. "Jika Anda memang tidak bersalah, pengadilan yang akan memutuskannya. Tapi untuk sekarang, Anda akan kami bawa ke tahanan untuk pemeriksaan lebih lanjut."
Mark menghampiri Pinky dengan langkah berat, wajahnya menunjukkan campuran amarah dan keputusasaan. Ia menatap putrinya yang kini berdiri tegak di depannya, bukan lagi gadis kecil yang dulu ia abaikan.
"Apakah kau sudah puas?" tanyanya dengan nada tajam, meskipun ada getaran kecil di suaranya. "Ini hasil yang kau inginkan, bukan?"
Pinky mendongak, menatap Mark dengan mata penuh luka yang selama ini ia sembunyikan. "Sejak awal," katanya dengan suara yang dingin namun tegas, "kau seharusnya bisa mengawasi selingkuhanmu dan anak kebanggaanmu itu. Bukankah dia adalah segalanya bagimu? Kalau begitu, pergilah. Temui dia dan luangkan lebih banyak waktumu bersamanya. Karena kalau kau di penjara, dia akan menjadi sebatang kara."
Mark tertegun mendengar ucapan itu. Rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya, tetapi egonya tetap bertahan. "Kau benar-benar telah berubah, Pinky," ucapnya pelan, matanya mencoba mencari sisa kelembutan di wajah putrinya. "Kau bukan lagi anak tiga tahun yang manis dan menggemaskan."
Pinky menyeringai pahit. "Kau juga bukan ayahku lagi," balasnya tanpa ragu. "Sejak hari kau memilih selingkuhanmu dan meninggalkan aku dan Mama, aku berhenti menganggapmu sebagai ayahku. Dan kalau aku tidak menuntutmu dan kekasihmu sekarang, suatu saat aku akan menjadi korban selingkuhanmu lagi."
"Mama sudah menderita cukup lama. Sudah waktunya aku berdiri dan membalas semua perbuatan kalian. Aku tidak akan diam lagi. Aku akan melindungi mama dari penjahat. Satu hal lagi, segera cari pengacara dan menceraikan mamaku. Agar dia bisa hidup tanpa tekanan!" kata Pinky dengan tegas