.
.
.
Queen Adena Sasikirana Arundati,
seorang gadis cantik hidup di desa, tidak ada yang tau identitas sebenarnya kecuali sang ibu kandungnya saja (Dewi mustika), misteri kisah Dewi itu disimpan serapat-rapatnya.
mereka bahagia hidup di desa terpencil, berteman dengan binatang buas dan bergaul dengan alam.
suatu hari terjadi masalah yang membuat Nana harus ke Kota dan tujuan utama Nana adalah mencari tau siapa Papa kandungnya, Nana tidak suka konspirasi yang membuat hidup Mamanya menderita, mudah bagi gadis itu menemukan identitas Ayah kandungnya.
gadis yang tangguh, siapa Pria yang tidak akan jatuh hati padanya? Tuan Muda Arkatama jatuh cinta pada Gadis itu terlebih lagi saat tau identitas gadis tersembunyi di desa itu.
Nana kembali ingin membalas orang yang berani menyakiti hati Mamanya, Nana adalah gadis Ceria dan periang tapi jika dirinya sudah diusik, dendam !! Nana gadis yang sangat pendendam hingga bertekad untuk membalas perbuatan orang yang menyakiti ibu nya.
.
.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sucii Amidasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aduan
.
.
.
Nana menyembunyikan wajahnya tapi tidak bisa, ia menarik lengan Vano dan meminta Vano melepaskan Jasnya.
terpaksa Vano melepaskan Jasnya dan menutupi sebagian wajah Nana yang tampak tidak nyaman di lihat para pelayan itu yang begitu penasaran dengannya.
"sudah bukan? sana pergi..! jangan menggangguku". usir Vano
"baik Tuan Muda". jawab para Pelayan wanita berbalik namun sesekali mereka memutar kepala penasaran melihat Nana karna wajah Nana tidak bisa mereka lihat.
Vano berdiri dan memastikan sendiri Ruangannya telah terkunci, "sudah aman Nana..! sekarang makanlah".
"benarkah? ". tanya Nana
Vano memastikan kebenarannya hingga Nana lega dan meletakkan jas Vano di pangkuannya lalu mengangkat topinya supaya pandangannya tidak terhambat saat melihat banyaknya menu makanan yang ditata rapi dimeja.
"makanlah! ". kekeh Vano berjalan ke arah kursinya dan duduk disana sambil tersenyum menatap Nana yang terlihat kebingungan.
"eeeh...? ". Vano yang sedang makan tertegun melihat Nana mencuci tangan dan makan dengan tangannya itu.
"kenapa? ". tanya Nana dengan polos saat tangannya dicegah menyentuh makanan.
"aku ajari kamu makan dengan garpu ya? ". kekeh Vano
Nana memperhatikan cara Vano makan, ia pun mengangguk lalu mengambil makanan yang sudah dipotong-potong Vano.
Vano tertawa melihat kecurangan Nana, walaupun Nana sangat cantik tak bisa dipungkiri Nana berasal dari desa tentu cara makan mereka di Kota tidak bisa disamakan dengan cara makan Nana saat dikampung.
"aku sudah lapar, oh ya..? apa kamu dekat dengan Papaku? ". tanya Nana serius sambil mengunyah makanannya dengan tangan
Vano menggeleng kepalanya pasrah melihat Nana makan dengan tangan, Nana mudah mempelajari sesuatu tapi sepertinya Nana sudah kelaparan hingga tidak sabar lagi makan dengan garpu.
"iya.. aku kenal, kenapa? ". tanya Vano balik.
"kamu yakin dia papamu? ". tanya Vano setelah tersadar akan sesuatu.
"hmm.. aku yakin Dia memang papaku". jawab Nana
"oh ya? mana buktinya?". tanya Vano memancing seolah pura-pura tidak tau siapa Ayah kandung Nana sekarang hanya sekedar menebak-nebak saja.
"aku sudah mendapatkan sampel DNA nya dan besok aku akan mendapatkan hasilnya". jawab Nana
Vano terbatuk-batuk seketika sedangkan Nana hanya menatapnya saja tenang dengan mulut yang fokus mengunyah.
"a.. apa? kamu bertemu dengannya? ". tanya Vano memastikan
"iya". jawab Nana santai
Vano menganga lebar, "lalu bagaimana responnya? ". tanya Vano serius.
"apalagi? dia syok melihatku tapi setelah itu dia mengikutiku untung saja aku menemukan pria yang sedang bermesraan dengan Perempuan lain dan aku menampar pria itu".
"a.. apa? kau seenaknya menampar Pria lain, apa dia melihat wajahmu? ". tanya Vano
"tidak..! yang melihatku hanya Papaku saja". jawab Nana membuat Vano memijit pelipisnya seketika.
"aku tidak kenal siapa Pria itu tapi aku rasa dia orang yang cukup berada karna baju formalnya dari bahan yang sama dengan milikmu". racau Nana sambil mengambil satu gelas minuman dengan kedua tangannya.
Vano melirik hal itu pun tersenyum, "kenapa kamu suka memegang gelas kaca dengan kedua tanganmu? ".
"suka-suka ku dong". jawab Nana mendengus
.
.
di Kamar Vano melempar handuk kecil yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.
"Jika Tuan Yardan sudah melihat Wajah Nana pasti dia sudah tau ada yang tak biasa dengan Nana, tapi siapa Pria yang ditampar Nana? ". gumam Vano. .
.
sedangkan di tempat lain
Yardan membuka semua album foto Keluarga besarnya dari generasi pertama dan itu memang benar wajah gadis yang ia lihat tadi adalah wajah yang sama dengan Neneknya saat masih muda.
"dan? ". panggil Emma
Yardan menutup album foto itu dan menyimpannya di lemarinya dan tak lupa dikunci olehnya didepan Emma seolah menunjukkan pada Emma bahwa lemari itu miliknya tidak ada orang yang boleh menyentuh miliknya walaupun bisa dipegang Emma tapi Emma tidak bisa membuka lemari itu.
"kenapa? ". tanya Yardan
Emma yang tersadar pun berkata, "Mamah dan Papah datang..! mereka ingin bicara dengan mu Dan, kenapa kamu begitu dingin pada Anakmu sendiri".
"ckkk...! kau bicara apa lagi pada mamahku?". decak Yardan
"Dan..? apa segitu bencinya kamu padaku? aku ini istrimu, kita sudah menikah hampir 20 tahun tapi kenapa sifatmu masih sama? apa salahku? ". Emma berkaca-kaca menatap Yardan.
"berhentilah bermain trik denganku..! kau bisa mencuci otak kedua orangtuaku itu sudah kemenangan besar bagimu". ucap Yardan dengan dingin lalu meninggalkan Emma.
Emma memejamkan matanya dan menghapus air matanya menatap benci ke arah pintu kamarnya dimana Yardan sudah pergi.
"kau tidak akan bersatu dengan wanita yang kau cintai Yardan..! aku sudah berapa kali mengatakan dia sudah mati tapi kau masih berusaha mencari taunya". gumam Emma tersenyum sinis.
Emma berlagak menyedihkan lalu keluar dari kamarnya menuju Ruang tamu, ia mendengar percakapan Yardan yang dimarahi oleh Sarah.
"apa kamu masih dingin pada putri kandungmu sendiri Yardan? dia darah dagingmu..! hanya karna tidak mau sekolah bisnis kamu membencinya hah? ayah macam apa kau ini?". marah Nyonya Sarah ibu kandung Yardan.
Aman mengelus-ngelus kepala Celinne yang menunduk seolah sedang merenungi nasib.
"jangan atur aku Mah..! berapa kali aku bilang dia adalah Putri tunggal keluarga Wijaya, jika bukan dia yang meneruskan Perusahaanku lalu siapa? apa dia akan lepas tanggung jawab setelah menikah dengan Devano? itu hal yang paling bodoh...!". Yardan
"apa bedanya? Devano dan Celinne akan menjadi pasangan suami istri lalu apa yang menjadi milik Celinne dan Devano akan menjadi milik mereka berdua kan? tidak lucu kamu memaksanya untuk belajar bisnis". marah Sarah
"sudah mah? aku muak dengan situasi ini, jika dia tidak mau sekolah bisnis itu sudah membuktikan dia bukan putri kandungku". ujar Yardan serius lalu meninggalkan Sarah yang berteriak memarahinya.
Emma tertegun dengan perkataan Yardan, sedangkan Celinne menangis memeluk Amansyah yang merupakan Kakeknya.
"dasar kejam...! hanya karna kamu pembisnis bukan berarti anakmu harus pembisnis kan? apa otakmu hanya ada bisnis dan bisnis? Celinne putrimu bukan budak caturmu". teriak Sarah dengan amarah yang menggebu-gebu
Emma mendekati Sarah dan menenangkan mertuanya itu, "tenang Mah..! mamah jangan memarahi Yardan lagi, aku juga tidak mengerti kenapa Celinne suka jadi modeling dari pada menjadi pembisnis, wajar saja Yardan marah karna hanya Celinne satu-satunya harapannya Mah".
"diamlah Emma..! kenapa kamu terlalu baik padanya? dia meragukan anaknya sendiri dan kamu malah membelanya? ". marah Sarah ke Emma
Emma hanya menunduk sedih sedangkan Aman berusaha menenangkan Celinne.
"sabar ya nak..! sabar ya? papamu sedang marah, dia tidak bermaksud mengatakan hal itu". bujuk Aman
"Maafkan Celinne Kek..! Celin tidak tau kenapa bisa lemah dipelajaran bisnis, Celin tidak suka menghitung Kek..! Celin benar-benar tidak suka hiks.. hiks.. " isak Celinne
"tidak apa sayang..! lama kelamaan Papamu akan sadar kalau dia tidak bisa memaksa mu untuk belajar bisnis, jika kamu tidak suka jangan dipaksa sayang..! biar Nenek yang mengomeli Papamu itu". Sarah berkata
.
.
.
tapi lanjut