Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2: Keadaan yang Menyiksa
Felicia sedang berdiri di dapur besar rumah Pak Rangga, tengah mempersiapkan makan siang untuk tuannya. Tangan-tangannya sibuk memotong sayuran, namun pikirannya melayang. Setiap gerakan dan tindakan yang dia lakukan selalu diawasi, baik oleh asisten pribadi Pak Rangga maupun oleh beberapa staf rumah tangga yang selalu hadir di setiap ruangan. Felicia merasa seperti tidak bisa bebas.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Felicia menoleh dan melihat Asisten Rumah Tangga, Ibu Sari, berdiri di pintu dapur.
“Ibu Sari?” Felicia menyapanya dengan canggung.
Ibu Sari menatapnya dengan serius. "Felicia, pastikan semuanya sesuai dengan keinginan Pak Rangga. Dia suka makanannya dalam porsi yang pas, jangan sampai terlalu banyak atau terlalu sedikit. Juga, pastikan rasanya sesuai standar."
Felicia mengangguk pelan. "Tentu, Ibu. Saya akan pastikan."
“Bagus.” Ibu Sari menatapnya sejenak, lalu berbicara lebih lembut. “Jangan lupa, Pak Rangga sangat memperhatikan kualitas segala sesuatu di rumah ini. Jangan sampai ada yang terlewat.”
Felicia merasa seolah setiap tindakannya sedang dinilai. "Saya akan berhati-hati, Bu."
Begitu Ibu Sari pergi, Felicia kembali ke pekerjaannya, meski perasaan tak nyaman tetap mengganggu. Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar lagi. Kali ini, Pak Rangga sendiri yang memasuki dapur, berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.
"Felicia," Pak Rangga menyapa dengan suara yang dalam, "Sudah siap makanannya?"
Felicia terkejut melihatnya tiba-tiba datang. "S-sudah, Pak Rangga. Hanya tinggal beberapa menit lagi."
Pak Rangga melangkah masuk, mendekati meja makan dan memeriksa beberapa bahan makanan yang ada di dapur. "Kau sudah cukup lama bekerja di sini, bukan? Apa kau merasa nyaman?"
Felicia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati. "Saya… saya sudah terbiasa, Pak."
Pak Rangga memperhatikan reaksinya, seolah sedang mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata. "Kau tahu, Felicia, aku tidak suka ketidakpastian. Aku ingin semuanya berjalan sesuai keinginanku. Jangan sampai ada kesalahan."
"Baik, Pak. Saya akan pastikan semuanya sesuai yang diinginkan," jawab Felicia, suaranya terdengar sedikit cemas meski dia berusaha untuk tetap tenang.
Pak Rangga tidak langsung meninggalkan dapur. Sebaliknya, dia berjalan menuju lemari pendingin dan memeriksa beberapa bahan makanan. "Aku suka semuanya teratur. Dan aku harap kau bisa menjaga ketertiban ini di rumah. Pekerjaanmu di sini bukan hanya untuk urusan makanan, Felicia. Ada banyak hal yang harus kau tangani."
Felicia menelan ludah, sedikit tertekan dengan kenyataan bahwa tanggung jawabnya semakin bertambah. "Tentu saja, Pak Rangga. Saya akan melakukannya."
Pak Rangga berbalik dan menatapnya langsung. "Aku harap begitu. Jangan membuatku kecewa."
Ketika Pak Rangga berbalik untuk pergi, Felicia merasa seperti sebuah beban yang tak terlihat menambah berat di bahunya. Dia kembali fokus pada makan siang yang sedang disiapkan, namun tak bisa menghindari perasaan terperangkap yang semakin mengganggunya.
Beberapa saat kemudian, Pak Rangga kembali masuk ke ruang makan dan duduk di meja panjang yang menghadap ke jendela besar. Felicia menyiapkan makanan dan mendekatinya dengan hati-hati, berusaha menjaga sikap profesional.
"Saya sudah menyiapkan semua, Pak. Makanannya sudah siap," katanya sambil menyajikan hidangan di atas meja.
Pak Rangga menatap hidangan itu sejenak, lalu mengangkat pandangannya ke wajah Felicia. "Kau selalu tampak khawatir. Apa kau tidak bisa sedikit lebih santai?" katanya dengan nada yang sedikit mengejutkan.
Felicia merasa gugup. "Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, Pak."
"Baik," kata Pak Rangga dengan anggukan kecil, "Tapi jangan terlalu terbebani dengan pekerjaanmu. Kau masih punya banyak waktu untuk beradaptasi di sini."
Felicia mengangguk, mencoba memahami maksudnya. "Terima kasih, Pak."
Pak Rangga kembali menatap hidangan, lalu berkata, "Kau tahu, Felicia, rumah ini adalah dunia yang berbeda. Di sini, semuanya memiliki aturan. Dan kamu harus mengikutinya."
"Saya mengerti, Pak Rangga," jawab Felicia, suara rendah. Meskipun dia berusaha menjaga sikap, hatinya merasa semakin tertekan.
Pak Rangga menoleh ke arahnya lagi, matanya tajam. "Jangan berpikir kamu bisa keluar begitu saja. Kamu di sini untuk bekerja, dan kamu harus menyelesaikan semua tugas dengan sempurna."
Felicia mengangguk cepat. "Saya akan berusaha, Pak."
Pak Rangga menatapnya sejenak, seolah mengamati ekspresinya, sebelum akhirnya menyahut, "Baiklah, Felicia. Jangan sampai ada yang mengecewakan aku."
Setelah itu, Pak Rangga mulai makan dengan tenang, sementara Felicia tetap berdiri di samping meja, tak tahu apakah dia harus berbicara lebih banyak atau diam saja. Namun, meskipun kata-kata itu terucap, hatinya merasa semakin terperangkap dalam rumah ini—sebuah dunia di mana setiap gerakan dan keputusan kecilnya diawasi dan diatur.