Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 35
Nadira baru saja selesai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya semalam, mbah Sani semakin ketakutan dan berpamitan pulang setelah mendengar hal itu, kini tinggallah Nadira bersama keluarga yang memilih berkumpul di depan televisi.
Wijaya menyingkirkan sofa dan menggelar karpet di lantai, setelah itu melapisinya dengan dua kasur lantai yang diletakkan sejajar. Tak lupa bantal dan selimut, Nadira beristirahat disana sambil menonton kartun dua kembar botak favoritnya.
Sukma meliburkan tokonya, ia memilih menemani putrinya bersama nenek Ratih dan juga Wijaya. Jam dinding menunjukkan pukul 1 siang, mereka melaksanakan sholat berjamaah dengan Wijaya sebagai imamnya, hanya Nadira yang masih berhalangan duduk menyaksikan keluarganya sholat.
Setelah itu terdengar ketukan pintu, Nadira berniat memeriksa siapa yang datang, gadis itu mengintip dari celah gorden yang tersingkap, dan menemukan Rendra berdiri di depan rumah.
“Astaga, ngapain kak Rendra kesini?” gumamnya lirih, Nadira mendekati lemari tua yang terdapat cermin di pintunya, melihat sendiri penampilannya yang acak-acakan. Rambut dicepol sembarang dengan lingkaran mata yang menghitam, bibir pucat dan sedikit sisa air liur menghiasi ujungnya. Dia memang tidak mandi, karena malas.
“Siapa Nduk? kenapa tidak dibukakan pintu?” kata Sukma yang berjalan mendekat sembari mengangkat mukena yang masih melekat di tubuhnya, tangannya terulur berusaha membuka pintu. Tapi Nadira segera menarik tangan sang ibu sambil terus menggeleng. “Kenapa?” ucap Sukma lagi.
“Jangan dulu Bu,” jawab Nadira panik.
“Lah memangnya kenapa to? siapa yang datang kok ibu nggak boleh buka pintu?”
“Tunggu dulu Ibu, tunggu sebentar!” Nadira berjalan mundur menuju kamar mandi, sambil terus mewanti-wanti ibunya agar tak membuka pintu. Ia lantas mencuci muka dan kembali berlari ke ruang tamu. “Tunggu ya, jangan dibuka. Pak lek jangan dibuka dulu!” ucapnya sengit kala Wijaya datang mendekati ibunya.
“Kenapa itu anak?” Sukma menggelengkan kepala heran, tapi faktanya semua orang menuruti keinginan Nadira.
Tak lama kemudian, gadis itu kembali dengan tampilan terbaiknya. Pakaian dan hijab rapi, juga sedikit make up terpoles di wajah ayunya. Wijaya yang baru saja mengintip dari jendela pun akhirnya mengerti kekhawatiran Nadira yang berlebihan, lelaki itu lantas menjitak kepala keponakannya lantaran gemas. Dan Nadira yang duduk di ruang tamu sambil berpura-pura membaca buku hanya cemberut karena ulah sang paman.
“Sudah boleh dibuka nih?” tanya Sukma yang dibalas anggukan kepala putrinya. Wanita itu lantas membuka pintu dan menemukan Rendra berdiri disana, ia memahami apa yang terjadi.
“Assalamualaikum, Bu. Kang Jaya nya ada?”
“Oh Nak Rendra, waalaikumsalam… mari silahkan masuk, Jaya ada kok.” Sukma mempersilahkan Rendra duduk di sofa, tepat di depan putrinya yang masih bertingkah konyol. Sungguh Sukma merasa malu, ingin rasanya menelan bulat-bulat gadis itu yang tengah membaca buku dengan posisi terbalik.
“Tunggu ya, ibu panggilkan Jaya dulu,” ucap Sukma menyusul Wijaya yang sedang mengantar nenek Ratih ke dapur. Ya, suasana rumah mereka memang terasa lebih mencekam meskipun siang, jadi sesuai pesan kyai Usman mereka tak akan membiarkan siapapun sendirian dalam rumah itu.
"Nadira, kamu baik-baik saja kan? aku sudah dengar semua dari kyai.”
“Oh, kak Rendra… se-sejak kapan kak Rendra datang, ah maaf aku terlalu asyik membaca buku jadi tidak sadar kalau ada tamu. Oh iya, kabarku baik kok,” jawab Nadira berdalih.
Seulas senyum tercetak di wajah lelaki itu, ia melirik buku yang ditunjuk gadis di depannya dalam keadaan terbalik. “Kamu hebat ya, nggak pusing baca buku seperti itu?” Rendra menunjuk buku di tangan Nadira.
Nadira yang kebingungan lantas mengikuti arah telunjuk Rendra dan menyadari kegagalannya untuk terlihat anggun dan cerdas di mata Rendra, yang ada ia justru terlihat bodoh dengan membaca buku terbalik seperti ini.
“Ah, ternyata terbalik,” ucap Nadira lirih, gadis itu sangat malu. Ingin sekali rasanya lenyap dari pandangan Rendra saat ini juga.
Beruntung Wijaya datang di waktu yang tepat, lelaki itu menyapa Rendra dan duduk di sampingnya. Keduanya terlibat percakapan ringan, ternyata Rendra datang hanya untuk mengabarkan jika pesanan telur minggu depan naik dua kali lipat, karena akan ada acara santunan di pesantren.
Untuk hal semacam ini bukankah harusnya kak Rendra cukup kirim pesan aja? kenapa harus repot-repot datang? gumam Nadira dalam hati. Namun, rupanya hal itu juga menjadi pertanyaan Wijaya selanjutnya.
“Kenapa nggak kirim pesan seperti biasa saja Ren? kamu jadi repot kesini.”
“Ah nggak apa-apa Kang, memang sengaja karena ingin tahu keadaan Nadira juga,” kata Rendra kembali melirik Nadira. Saat itu juga pipi gadis itu mendadak terasa panas, dalam hatinya menjerit bahagia mengetahui Rendra mengkhawatirkannya.
“Oh, dia udah enakan kok. Lukanya juga udah dikasih salep sama mbak Sukma,” jawab Wijaya menatap keponakannya yang tersipu. “Eh, kenapa wajahmu merah gini? kamu demam Nadira?” Wijaya menempelkan punggung tangan di kening keponakannya itu.
“Na-Nadira nggak apa-apa kok Pak lek,” jawab Nadira gagap, menepis pelan tangan pak leknya lantas pergi menyusul ibu dan neneknya di depan televisi.
Sebenarnya bukan tanpa alasan dia salah tingkah begini, selain fakta Rendra mengkhawatirkannya, tatapan mata lelaki itu padanya terasa lembut dan juga tajam di waktu bersamaan, seolah menusuk jantung dan mengaduk-aduk hatinya menjadi berantakan.
Nadira tak sanggup berlama-lama disana, ia bisa saja menghambur dalam pelukan lelaki itu dan menempel bagai cicak disana. Jadi, Nadira khawatir berbuat bodoh dan memilih pergi meninggalkan Rendra dan pak leknya.
***
Saat saat menegangkan yang ditunggu sejak pagi tiba juga, kyai Usman datang bersama ketiga santrinya, Indra, Rendra dan Dafa. Mereka berkumpul di ruang tamu bersama keluarga nenek Ratih, berbincang sambil menunggu tepat tengah malam. Karena menurut kyai Usman saat itulah waktu yang tepat untuk mengusir makhluk-makhluk itu.
“Jadi, menurut kyai jin di rumah ini sangat banyak?” tanya Wijaya mewakili keluarganya.
“Iya Mas Jaya, bahkan menurut mata batin saya, mereka ini memiliki dendam kuat pada keluarga Mas, dan nenek Ratih.”
“Ta-tapi kenapa Kyai? apa salah kami?” kali ini Sukma mengajukan pertanyaan, ia merasa aneh jika jin-jin itu marah, sedangkan keluarganya tak pernah menyakiti mereka. Memasang pagar gaib pun hanya bertujuan melindungi keluarga saja.
“Itulah, coba mbak Sukma dan yang lain pikirkan. Kira-kira 3 bulan kebelakang adakah dari kalian yang melakukan sesuatu yang mungkin menyinggung mereka?”
Semua orang tampak berpikir keras, Nadira pun seolah tak peduli akan kehadiran Rendra di tengah-tengah ruangan, ia lebih fokus menghadapi rasa takut yang membuatnya merinding itu.
“Sepertinya tidak ada, Kyai. Tapi, kalau boleh kyai contohkan hal seperti apa yang mungkin menyinggung dan menyakiti mereka Kyai? yang ada justru kita yang ketakutan hanya dengan mendengar suaranya,” celoteh Sukma lagi.
Kyai Usman mengangguk mengerti, terdiam cukup lama dan kemudian kembali berkata, “terkadang, kita bisa tidak sengaja menyakiti mereka. Makanya kalau orang tua jaman dulu selalu menekankan untuk berdoa dimanapun kita berada, dan meminta izin kepada penghuni tempat.
“Ah, mendengar ini saya jadi teringat sesuatu Kyai,” ucap nenek Ratih tiba-tiba. Di tengah ketegangan itu, semua orang pun menatapnya, menunggu dengan cemas hal besar apa yang akan diceritakan oleh sang nenek.
.
Tbc